Komik Sunda untuk Akrabkan Bahasa Ibu

Posted: 13 Maret 2008 in BUDAYA JAWA-SUNDA, BUDAYA NUSANTARA, SUKU SUNDA
Tag:

Bandung, Kompas – Sulitnya mengajarkan bahasa Sunda pada anak-anak sekolah menginspirasi dua anak muda untuk mengakrabkan bahasa Sunda melalui komik Sunda. Hanya dengan biaya Rp 120.000 mereka menerbitkan 100 eksemplar komik Sunda untuk segmen remaja dan mahasiswa.

Aditya Gunawan (23), cerpenis Sunda sekaligus mahasiswa Jurusan Sastra Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang sedang praktik mengajar di SD Isola, mengaku kesulitan mengajarkan bahasa Sunda sesuai materi di buku panduan. Siswa-siswanya menilai bahasa Sunda tidak menarik dan sulit.

“Sebab, materinya tidak akrab dengan kondisi zaman sekarang. Misalnya saja tentang wawacan yang berisi pupuh. Itu kan tradisi menulis pada zaman Mataram. Untuk sekadar tahu bisa saja, tapi sulit untuk dipahami anak SD,” kata Aditya, Kamis (12/10), sebelum peluncuran komik berjudul Kolor Totol-Totol.

Sejak akhir September, ia dan komikus, Agung Gumbira (27)-yang juga alumnus Jurusan Seni Rupa, dan mengajar di SD yang sama- berkolaborasi memproduksi komik Sunda agar bahasa Sunda diakrabi generasi muda.

“Saat ini banyak generasi muda Sunda tidak lagi menganggap bahasa Sunda sebagai bahasa ibu, tetapi bahasa asing,” kata Aditya.

Untuk mengenalkan bahasa Sunda, Aditya menyisipkan perbendaharaan kata Sunda yang sudah jarang dipakai. Misalnya, dalam komik disebutkan kata persani atau magnet. “Dengan melihat gambarnya, orang akan mudah belajar bahasa Sunda,” ujar Aditya.

Komik tersebut bertutur tentang tokoh superhero yang konyol dan lugu. Munculnya tokoh tersebut merupakan sindiran terhadap budaya instan yang kini ada di masyarakat.

Pengerjaan komik dilakukan dua minggu, dengan biaya Rp 120.000. Mereka mengerjakan dengan teknik sederhana. Komikus, Agung Gumbira (27), menggambar dengan media kertas HVS dan tinta dan hasilnya difotokopi. Satu eksemplar menghabiskan biaya sekitar Rp 1.200. Keduanya menjual komik tersebut ke distro dan sekolah-sekolah seharga Rp 2.000 per eksemplar.

“Kami ingin mempertahankan bahasa Sunda sekaligus memberi tawaran baru pada generasi muda. Komik tidak hanya komik Jepang. Sunda juga punya komik,” ujarnya.

Komik ini merupakan judul pertama dari sekitar 10 judul yang akan diterbitkan. “Untuk saat ini kami menerbitkan sendiri. Setelah seluruh serial terwujud, kami akan menerbitkannya menjadi buku yang lebih serius,” kata Agung.

Sebelum diluncurkan, keduanya melakukan uji coba dengan meminta beberapa remaja membacanya. “Ada yang tidak mengerti bahasa Sunda. Tapi karena penasaran melihat visualisasinya, ia penasaran akan isinya, dan meminta temannya menerjemahkan,” kata Aditya.

Wulandari (21), mahasiswa Jurusan Sastra UPI, mengatakan, “Bagus kalau makin banyak komik berbahasa Sunda. Saat ini makin banyak orang yang tidak bisa berbahasa Sunda karena tidak mengerti, dan mempelajarinya sulit. Kalau komik, sifatnya ringan dan menghibur sehingga bisa menolong anak-anak”. (ynt)

Komentar
  1. mama madara berkata:

    Pak ini tagnya masa Seburuk-buruknya budaya sendiri, lestarikan dan biarlah berkembang sehingga dinikmat anak cucu kita?
    Budaya itu kan semuanya baik selama berasaskan norma-norma dan tidak merugikan diri sendiri/orang lain..
    Jika ternyata ada hal buruk dari budaya, itu karena melanggar norma sehingga memang jangan dilestarikan.
    Budaya itu ciptaan manusia, dapat juga dimodifikasi/disesuaikan supaya akhirnya tetap baik sehingga patut dijaga/dilestarikan.
    Hatur nuhun.

    Suka

  2. Ahmad Elqorni berkata:

    Itu khan kalimat kiasan bu, artinya jelek-jelek juga budaya milik sendiri, bukan budaya orang lain, ya jelas biudaya yang jelek jangan dipelihara..semua budaya yang baik justru yang harus dijaga dan dipelihara oleh kita…hatur nuhun juga atas koreksinya.

    Suka

Tinggalkan komentar