Villa Isola, Bangkitkan Kenangan

Posted: 17 September 2009 in KRONIK BUDAYA, Tempo doeloe
Tag:


Bandoeng O, wonderstad, dat zegt toch iedereen, een stad vol pracht en praal, altijd even schoon en rein, kortom, een plaats bij uitnemendheid, Bandoeng, heer lijke staad. (Rara Sulastri-1933)

SEBUAH lagu sanjungan dalam bahasa Belanda, yang terdapat dalam buku Wadjah Bandoeng Tempo Doeloe karya Haryato Kunto, menggambarkan betapa jaya dan indahnya Kota Bandung (baca: Bandung Utara) pada masa kolonial. Keindahan Kota Bandung saat itu tidak hanya ditunjang oleh kondisi alamnya, tetapi juga faktor man made.

Terinspirasi lagu tersebut, Balai Kepurbakalaan, Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi mengadakan ekspedisi situs-situs purbakala di Jabar, salah satunya ke Gedung Isola atau Villa Isola. Kini vila tersebut telah menjadi Gedung Rektorat Universitas Pendidikan IndoGedung Isola-UPInesia (UPI) Bandung. Karena sudah menjadi kantor tempat kerja Rektor UPI, peserta ekspedisi pun tidak bisa menyusuri dan menikmati seluk-beluk gedung yang indah ini.

Gedung atau vila ini dibangun pada 1930 dan didesain oleh C.P Wolff Schoemaker, seorang arsitek Belanda berkebangsaan Jerman. Ada puluhan gedung yang berhasil dibangun di Kota Bandung pada masa penjajahan Hindia Belanda menggunakan jasa arsitek Wolff Schoemaker. Semua gedung karya Schoemaker ini mempunyai ciri khas masing-masing dan monumental sehingga siapa pun yang melihat pasti akan teringat Kota Bandung.

Pada awal abad ke-20, Kota Bandung pernah menjadi laboratorium arsitektur para arsitek di Hindia Belanda. Kontribusi mereka berupa karya arsitektur dengan langgam masing-masing turut membentuk citra Kota Bandung, salah satunya adalah Villa Isola yang didesain C.P. Wolff Schoemaker. Bangunan vila ini didirikan tahun 1933 dan merupakan pembangkit memori sebagian besar masyarakat akan Kota Bandung. Setiap melihat gambar Villa Isola, ingatan masyarakat pasti tertuju pada Kota Bandung. Salah satu peran karya arsitektur dalam membangkitkan kenangan masnyarakat terhadap suatu tempat, yakni makna kulutral yang dimiliki bangunan tersebut. Selain itu, juga sejarah, estetika, dan ilmu pengetahuan.

Karya arsitek monumental Schoemaker pada Villa Isola ini, terletak dari bentuk bangunan yang tidak lazim. Jika dilihat dari kejahuan, Villa Isola mirip sebuah kapal pesiar yang dilengkapi dengan berbagai ruangan, termasuk ruangan bawah tanah.

Karena tidak lazim inilah, Villa Isola menjadi pembangkit kenangan masyarakat yang melihatnya. Hal ini terlihat jelas saat melintasi Jln. Setiabudhi yang menghubungkan Kota Bandung dengan Lembang. Semakin dekat dengan bangunan, akan makin terasa adanya pengolahan tapak (lahan) yang sesuai bentuk bangunan. Kedua unsur tersebut, bangunan dan lahan, membentuk kesatuan. Hal-hal di ataslah yang menjadi alasan mengapa bangunan ini dapat dikategorikan sebagai karya arsitektur monumental.

Peletakan massa

Dalam meletakkan massa Villa Isola, Schoemaker menggunakan sumbu imajiner utara-selatan dengan arah utara menghadap Gunung Tangkubanparahu dan arah selatan menghadap Kota Bandung. Penggunaan sumbu utara-selatan berorientasi pada sesuatu yang sakral (gunung atau laut), yang merupakan orientasi kosmis masyarakat di Pulau Jawa. Hal yang sama diterapkan dalam pengolahan tapak Technische Hoogheschool te Bandoeng (Institut Teknologi Bandung/ITB) yang berorientasi pada Gunung Tangkubanparahu dan Kota Yogyakarta pada Gunung Merapi.

Villa Isola terletak di antara dua taman yang memiliki ketinggian berbeda. Namun sayang, kedua taman tersebu kurang terawat, terutama taman yang barada di bagian selatan yang lebih rendah dan dibiarkan hancur. Padahal di bagian ini, terdapat sebuah kolam yang berbentuk oval (setengah lingkaran). Pada masa jayanya, kolam ini sering dijadikan tempat berjemur pemilik Villa Isola sambil melihat pemandangan Kota Bandung jauh ke selatan. Namun sisa-sisa taman selatan ini masih bisa disaksikan, yakni anak tangga setengah lingkaran berpusat pada bangunan vila.

Sedangkan taman di utara didesain dengan menghadirkan nuansa Eropa di dalamnya. Hal ini diperkuat dengan kolam berbentuk persegi dengan patung marmer di tengahnya (sudah hilang). Pada taman ini terdapat jalur yang merupakan as yang membagi taman menjadi dua bagian simetris. Mendekati bagian utara bangunan, akan terlihat tangga berbentuk setengah lingkaran yang titik pusatnya berada pada bangunan.

Kedua taman yang memiliki perbedaan ketinggian dihubungkan dengan dua tangga melingkar pada sisi barat dan timur bangunan. Pengolahan taman dengan menggunakan bentuk melingkar yang berpusat pada bangunan yang juga memiliki bentuk melingkar, menjadikan bangunan menyatu dengan lahan di sekitarnya.

Fasad dan ruang

Fasad bangunan Villa Isola diperkaya dengan garis-garis lengkung horizontal. Hal ini merupakan ciri arsitektur Timur yang banyak terdapat pada candi di Jawa dan India. Pada saat-saat tertentu, garis dan bidang memberi efek bayangan dramatis pada bangunan.

Seperti kebanyakan karya Schoemaker, Villa Isola memiliki bentuk simetris. Suatu bentuk berkesan formal dan berwibawa. Pintu utama terdapat pada bagian tengah bangunan, menghadap ke utara. Pintu ini dilindungi sebuah kanopi berupa dak beton berbentuk melengkung yang ditopang satu tiang pada ujungnya.

Pembagian ruang dalam bangunan mengikuti tipologi rumah tinggal di Eropa, mengingat pemilik pertama bangunan ini seorang Belanda bernama D.W. Berrety. Lantai pertama terdiri atas sebuah lobi dengan tangga melingkar ke atas di kedua sisi dan sebuah ruang keluarga. Di antara dinding tangga dulunya terdapat sebuah gambar perahu layar (kini telah hilang).

Pada ruang keluarga terdapat jendela melengkung berukuran besar yang memungkinkan orang melihat pemandangan Kota Bandung di dataran lebih rendah. Di lantai ini juga terdapat toilet berbentuk bundar. Semuanya sudah tidak bisa dinikmati karena telah menjadi kantor staf rektorat.

Lantai kedua bangunan berisi kamar tidur yang dihubungkan dengan koridor yang membentang pada arah barat dan timur mirip sebuah dek kapal. Pada kedua ujung koridor terdapat dua buah teras terbuka. Penggunaan koridor merupakan suatu penyelesaian yang baik pada bangunan di iklim tropis karena berfungsi sebagai isolator termal sehingga udara dalam ruangan terasa sejuk. Kamar tidur utama didesain menghadap ke arah selatan.

Kamar ini dilengkapi dengan balkon melingkar yang dilindungi tritisan dari fiber dan disangga balok-balok baja. Pada lantai ketiga bangunan terdapat kamar tidur tamu dan ruang rekreasi. Beberapa dari ruangan tersebut telah berubah sesuai fungsi barunya.

Jika sisi utara bangunan terdiri atas tiga lantai, isi selatan bangunan terdiri atas empat lantai. Hal ini terjadi karena perbedaan ketinggian lahan. Lantai dasar pada sisi selatan bangunan berfungsi sebagai daerah servis. Hal ini menarik untuk suatu bangunan tempat tinggal pada masa itu yang umumnya memiliki daerah servis terpisah dari bangunan utama. Seperti pintu masuk utara, pintu masuk selatan berhadapan langsung dengan taman.

Pengolahan lahan, taman, dan elemen-elemennya turut mendukung keunikan Villa Isola, terutama dari segi bentuk. Semuanya itu menyuarakan satu bentuk: bundar!

Fenomena di Kota Bandung, di mana tidak sedikit bangunan tua yang merupakan bagian dari sejarah perkembangan kota diabaikan, bahkan dihancurkan, tentulah bukan suatu fenomena yang baik. Tidak sedikit karya arsitektur di Kota Bandung yang memiliki nilai monumental. (kiki kurnia/ “GM”/berbagai sumber)**

Komentar
  1. molinbangunan berkata:

    Kita memang harus belajar dari Sejarah.
    Apalagi di Kota Bandung, tidak sedikit bangunan tua bagian dari Sejarah perkembangan Kota Bandung.

    Salam Sukses
    http://cariuang.tk

    Suka

  2. Bex berkata:

    Mas ijin copy fotonya ya… untuk penungjuk gedung bisa cek ke:http://theangelfactory.blogspot.com/2010/05/lokasi-foto-gratis-versi-saya.html. Trimakasih banyak!

    Suka

Tinggalkan komentar