ETIKA JAWA

Posted: 27 Februari 2023 in BUDAYA NUSANTARA, SUKU JAWA-MADURA
  1. Pendahuluan
  2. Apa Itu “Orang Jawa”?

Pertama, buku ini tidak mengenai seluruh masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Sebagaimana akan dijelaskan dalam pasal II, di antara para pemakai bahasa Jawa dapat dibedakan antara mereka yang secara sadar mau hidup sebagai orang Islam, dan mereka, di samping orang Kristen dan orang Jawa bukan Islam lain, yang walaupun menamakan diri beragama Islam, namun dalam orientasi budaya lebih ditentukan oleh warisan pra-Islam. Kepustakaan antropologis sering bicara tentang orang Jawa-santri dan orang Jawa-abangan. Walaupun kedua golongan itu merupakan orang Jawa sungguh-sungguh, namun dalam buku ini, dibatasi pada orang Jawa dengan orientasi Jawa pra-Islam. Dengan ini tidak mau dikatakan bahwa orang Jawa-Islam tidak menunjukkan banyak dari ciri-ciri yang akan disebut sebagai khas Jawa, melainkan dalam mencari ciri-ciri Jawa itu kami hanya mempergunakan bahan-bahan tentang orang Jawa dengan orientasi dasar pra-Islam.

Namun, kesulitan terbesar dalam penentuan “orang Jawa” bersifat metodologis: apakah ada “si orang Jawa” itu? Lebih dari dua puluh tahun lamanya saya hidup di Jawa dan bersama orang asli Jawa, namun mereka berbeda satu sama lain, semua mempunyai individualitasnya yang kuat, tidak ada yang “khas tipe Jawa”: ada yang polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan ada yang kasar, ada yang berterus-terang dan ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya dan ada yang bekerja fanatik, ada yang tidak berani bertindak sendirian dan ada yang tidak banyak perduli akan sikap kelompoknya. Celaka lagi, sifat-sifat itu juga saya temukan pada orang di Jerman di lingkungan kebudayaan lain. Penelitian-penelitian para ahli pun tidak banyak membantu. Clifford dan Hildred Geertz mengadakan penelitian di sebelah timur Kediri, Koentjaraningrat di daerah Kebumen, Niels Mulder di Yogyakarta, Soetrisno menulis apa yang diharapkan agar dikagumi pada orang Jawa, dan Ben Anderson membaca kepustakaan Jawa; dan seterusnya dan seterusnya.

Oleh karena itu berikut ini saya tidak mencoba untuk mengumpulkan semua data moral masyarakat Jawa dan menyusun suatu sistem etika yang mau dianggap nyata-nyata berlaku di antara semua atau kebanyakan orang Jawa. Sistem homogen semacam itu tidak ada, sebagaimana juga si “orang Jawa” tidak ada. Maka dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk merumuskan suatu saringan deduktif dari paham-paham dan sikap-sikap moral dalam masyarakat Jawa dewasa ini, atau 30 tahuh yang lalu, atau di Jawa “pra-modern”, untuk kemudian menamakannya “etika Jawa”. Saya sama sekali tidak akan mengatakan sesuatu mengenai eksistensi suatu etika Jawa sekarang, atau di salah satu zaman lampau. Melainkan saya memakai cara lain. Dari data yang saya temukan di pelbagai sumber – yang mempunyai bobot dan jangkauan bicara yang cukup berbeda-beda – serta berdasarkan gambaran intuitif saya sendiri, saya mengkonstruksi- kan suatu pula “orang Jawa” dan “masyarakat Jawa” merupakan konstruksi teoretis penulis.

  • Apa Itu “Etika”?

Sesudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan “orang Jawa”, maka perlu sekadar dijelaskan apa yang dimaksud dengan “etika” dan bagaimana metode analisis kami. Kata “etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.

 Namun dalam buku ini kata etika saya pergunakan dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya”; jadi di mana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil? Kami dengan sengaja tidak menentukan dengan lebih tepat apa yang dimaksud dengan “berhasil”: kenikmatan sebanyak-banyaknya, pengakuan oleh masyarakat, pemenuhan kehendak Tuhan, kebahagia- an, kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kewajiban mutlak, dan sebagainya, atau apa saja.

Maka kepustakaan mengenai masyarakat Jawa saya teliti untuk mencari “fakta-fakta moral”. Dalam “fakta moral” termasuk semua sebuah masyarakat yang memuat jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana hidup manusia dapat berhasil, fakta-fakta yang menyajikan petunjuk-petunjuk paling dasariah kepada individu, atau kelompok- kelompok mengenai bagaimana mereka hendaknya mewujudkan kehidupan mereka.

Dalam data-data itu, saya berusaha untuk mencari rasionalitasnya, untuk menemukan sebuah struktur. Saya susun atau saya konstruksi- kan data-data itu sedemikian rupa, sehingga tanpa dipaksa-paksa, menunjukkan keteraturannya. Dengan demikian fakta-fakta moral itu dapat dipahami. Kita tidak hanya tahu bahwa begitulah paham-paham “etika Jawa”, kita juga mengetahui mengapa paham-paham begitu rupanya. Dari satu pihak, saya berusaha untuk mengemukakan kaitan-kaitan logis-normatif yang terdapat di antara pendapat- pendapat moral supaya anggapan-anggapan moral yang paling fundamental dapat tercapa

i.

B. Pengantar ke dalam Masyarakat Jawa

  1. Pulau Jawa

Bersama dengan Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, Jawa termasuk apa yang sering disebut Kepulauan Sunda Besar yang merupakan sebagian dari kepulauan Indonesia. Arsipel Indonesia merupakan kompleks kepulauan terbesar di dunia. Arsipel itu terdiri atas lebih dari 13.000 pulau yang mengisi ruang antara dataran Asia Tenggara, Filipina, dan Australia serta menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia. Bagaikan sabuk, pulau-pulau itu mengelilingi khatulistiwa. Secara politik Pulau Jawa termasuk Republik Indonesia. Republik Indonesia terbentang dari ujung barat laut Pulau Sumatra sampai ke selatan Irian Jaya sepanjang kurang lebih 5.400 kilometer, sedangkan lebar utara-selatan kurang lebih 1.900 kilometer. Bahasa nasionalnya, bahasa Indonesia, merupakan perkembangan dari bahasa Melayu dan sebagai bahasa ibu di daerah hanya dipergunakan oleh satu-dua juta orang Indonesia. Semua orang Indonesia lain memakai salah satu dari lebih dari 250 bahasa daerah yang berbeda-beda sebagai bahasa ibu. Kebanyakan bahasa itu termasuk keluarga besar bahasa-bahasa Austronesia. ‘

Pulau Jawa kurang lebih sepanjang 1.100 kilometer dan rata-rata selebar 120 kilometer dan terletak antara derajat garis lintang selatan ke-5 dan ke-8. Dengan 132.187 kilometer persegi (termasuk Madura), Jawa memuat kurang dari tujuh persen dari tanah seluruh Indonesia. Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah yang agak kering khususnya di sebelah selatan pulau, dan cukup banyak gunung berapi yang masih aktif, lima belas di antaranya mencapai ketinggian lebih dari 3.000 meter. Iklim Pulau Jawa adalah tropis. Di dataran rendah suhu rata-rata berkisar antara 26 dan 27 derajat Celcius dan perbedaan antara suhu rata-rata bulanan tertinggi dan terendah itu kurang dari satu derajat. Pada umumnya termometer tidak naik di atas 33 derajat pada siang hari, dan tidak turun di bawah 22 derajat pada malam hari. Kelembaban udara rata-rata bergeser antara 85 persen dalam bulan yang paling basah, dan 73 persen dalam bulan yang paling kering. Makin tinggi makin cepat iklim menjadi moderat dan sangat nyaman.

  • Masyarakat Jawa

Semula Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda. Penduduk-penduduk asli Ibukota Jakarta (sekarang hanya kurang lebih sepuluh persen dari seluruh penduduk Jakarta yang lebih dari enam setengah juta orang itu) bicara dalam suatu dialek bahasa Melayu yang disebut Melayu-Betawi. Di bagian tengah dan selatan Jawa Barat dipakai bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian utara dan timur sudah lama dihuni oleh imigran-imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa mereka. Di bagian Jawa lainnya orang bicara dalam bahasa Jawa. Namun bahasa Jawa yang dipergunakan di dataran-dataran rendah pesisir utara Jawa Barat, dari Banten Barat sampai ke Cirebon, cukup berbeda dari bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Di zaman sekarang banyak orang Jawa hidup di pulau-pulau lain sebagai pegawai, anggota ABRI, ahli teknik, guru, tetapi juga sebagai transmigran; untuk sebagian besar mereka tetap mempertahankan bahasa dan adat-istiadat mereka. Zaman sekarang kira-kira terdapat 68 juta orang Jawa.”

            Dalam wilayah kebudayaan Jawa sendiri dibedakan lagi antara para penduduk pesisir utara di mana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, daerah-daerah Jawa pedalaman, sering juga disebut “kejawen”, yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dan di samping dua karesidenan ini juga termasuk Karesidenan Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang.

Orang Jawa dibedakan dari kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia oleh latar belakang sejarah yang berbeda, oleh bahasa, dan kebudayaan mereka.

Kebanyakan orang Jawa hidup sebagai petani daerah dataran rendah mereka bercocok tanam padi, di daerah pegunungan mereka menanam ketela dan palawija. Sebagian besar Pulau Jawa bersifat agraris, penduduknya masih hidup di desa-desa. Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah gedeg atau kayu sendiri terdiri atas beberapa kamar, dengan lumbung padi kecil dan kandang, di mana barangkali terdapat seekor kerbau, beberapa ekor kambing, dan ayam. Rumah itu dikelilingi oleh semacam kebun yang biasanya tidak begitu terawat, di mana pohon kelapa dan berbagai tumbuhan sayuran tumbuh bercampur-aduk hasil-hasilnya melengkapi menu makanan sebagian besar terdiri dari nasi atau ketela.

Kecuali dua kota pelabuhan, Surabaya dan Semarang, yang semakin menjadi pusat perdagangan dan industri, perkembangan kota-kota sebagian besar terbatas pada pusat-pusat pemerintahan dan administra- tif, tempat administrasi propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Di kota-kota inilah dulu tinggal sebagian besar dari elite administratif lama, pedagang-pedagang, dan profesi-profesi baru yang berkembang sesudah Perang Dunia II. Yogyakarta dan Surakarta disebut kota kerajaan karena merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan dan pada zaman sekarang tetap menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.

  • Ringkasan Sejarah Jawa
  • Zaman Pra sejarah

Prasejarah Kiranya kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina Selatan mulai membanjiri Asia Tenggara, disusul oleh beberapa gelombang lagi selama dua ribu tahun berikut. Orang Jawa dianggap keturunan dari orang-orang Melayu gelombang berikut itu. Orang Melayu itu hidup dari pertanian, mereka sudah kenal persawahan. Dengan demikian bentuk organisasi desa mereka sudah relatif tinggi. Garis-garis besar organisasi sosial itu dapat direkonstruksikan dan bertahan sampai sekarang. sekelompok rumah, kadang-kadang ada kandang ternak, dan 39 Desa diketuai oleh kepala desa. Suatu desa terdiri dari dikelilingi oleh sawah, ladang, dan empang-empang, akhirnya oleh hutan dan tanah yang tidak ditanami. Tanah garapan semula merupakan milik desa. Apabila anggota desa membuka tanah melalui pekerjaannya sendiri, ia pribadi berhak atas penghasilannya, tetapi tidak bisa menguasai tanah tanpa izin seluruh desa. Semua warga desa bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan bersama: di masa paceklik orang berkewajiban untuk saling membantu; suatu kejahatan yang dilakukan di wilayah desa menjadi tanggung jawab seluruh desa apabila pelaku tidak bisa diketemukan (bahkan penguasa Belanda tidak berhasil untuk menggantikan paham itu dengan prinsip tanggung jawab individual). Sampai sekarang pemerintah tidak berdaya terhadap desa tanpa kerja sama kepala desa.

Keagamaan orang-orang desa ditentukan oleh kepercayaan bahwa apa saja yang ada berhayat dan berjiwa, bahwa kekuatan-kekuatan alam merupakan ungkapan kekuatan-kekuatan rohani; lagi pula oleh kepercayaan terhadap eksistensi jiwa pribadi manusia yang sesudah kematiannya tetap tinggal di dekat desa dan tetap memperhatikan kehidupannya. Penghormatan terhadap nenek moyang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan desa.” Sumber-sumber sejarah dalam arti yang sebenarnya mengenai Indonesia Purba terdiri dari beberapa potongan tulisan pada batu dan logam (prasasti), dari abad V Masehi, begitu pula dari laporan-laporan Cina mulai dari abad VII, namun data-data geografisnya tidak mudah dapat diartikan.

  • Kerajaan kerajan jawa tengah pertama

Pada abad ke VIII terlihat perubahan-perubahan besar dalam struktur politik Kepulauan Indonesia yang mungkin sekali di rangsang oleh hubungan-hubungan religius dan perdagangan dengan daerah Benggala. * Di antara pangeran-pangeran lokal muncul raja-raja yang lebih kuat yang dapat memperluas kekuasaan mereka atas wilayah yang lebih luas. Sanjaya, raja Mataram di wilayah Yogyakarta sekarang, memperluas kedaulatannya ke seluruh Jawa Tengah dan barangkali juga sebagian Sumatra dan Bali. Dari zaman itulah berasal monumen-monumen bangunan Jawa Tengah besar yang pertama,” yaitu candi-candi Siwais di dataran tinggi Dieng. Tidak lama kemudian Jawa Tengah jatuh ke bawah kekuasaan Dinasti Syailendra dari Sumatra yang menganut agama Budha yang sebenarnya tidak perlu kita sebut di sini kecuali karena selama kekuasaan mereka yang hanya berlangsung selama kira-kira enam puluh tahun di sebelah barat Yogyakarta sekarang didirikan stupa Budha terbesar di dunia, yaitu candi Borobudur.

            Candi borobudur dibangun mneurut tradisi jawa Kuno sebagai candi yang berteras dan melambangkan alam raya. Teras-teras paling bawah dihiasi dengan ukiran-ukiran dari alam kepercayaan Budhisme Mahayana. Si peziarah yang sambil merenung-renung naik dari teras ke teras, akhirnya di teras-teras tertinggi memasuki wilayah tanpa gambar yang melambangkan pencapaian terang batin dan kebudhaan. “Dengan demikian Borobudur merupakan mandala raksasa dalam batu, suatu lingkaran mistik yang di samping fungsi simbolisnya, sekaligus memiliki kekuatan nyata yang dapat menghasilkan bagi kaum beriman apa yang dilambangkan itu”.” Mungkin juga bahwa candi Borobudur sekaligus masih mempunyai maksud lain, yaitu menjadi makam monumental bagi Raja Syailendra yang berkuasa. Kalau begitu maka candi Borobudur merupakan kesaksian pertama bagi kemampuan kebudayaan Jawa yang mengambil alih agama-agama asing untuk diabdikan dari dalam bagi kepentingan-kepentingannya sendiri, artinya untuk menjawakannya. Tendensi jawanisasi juga nampak dalam penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa kuno dan dalam perkembangan huruf-huruf Jawa yang mulai pada waktu itu.”

Dalam abad IX, Jawa Tengah kembali menganut agama Siwa. Penguasa-penguasanya menamakan diri Raja Mataram. Bangunan terbesar dari zaman itu ialah kompleks candi Larajonggrang di Prambanan dekat Yogyakarta yang terdiri dari tiga candi utama yang diperuntukkan bagi dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu yang berhadapan dengan tiga candi yang lebih kecil; keseluruhannya dikelilingi oleh . candi kecil. Ukiran-ukiran candi Siwa diambil dari kisah Ramayana. Juga candi Larajonggrang sekaligus dimaksud sebagai candi pemakaman bagi raja-raja Mataram. Kecuali itu mungkin juga bahwa kompleks candi-candi itu memenuhi fungsi suatu candi kerajaan. Kedua kemungkinan itu akan merupakan tanda khas tentang ciri Jawa Hinduisme pada waktu itu.

Dalam abad X, Jawa Tengah secara mendadak hilang dari peta politik. Titik berat politik Pulau Jawa berpindah ke Timur, ke lembah Sungai Brantas. Apa yang menjadi alasan bagi perpindahan mendadak itu tidak kita ketahui. Yang pasti ialah bahwa Sindok, raja Jawa Timur yang pertama, tetap memakai gelar Raja Mataram.

  • Kerajaan-kerajaan Jawa Timur

Pertama Sesudah tahun seribu, seluruh Jawa Timur dipersatukan dalam suatu kerajaan oleh Raja Airlangga (1019-1049). Pusat kerajaannya ialah kota Kediri, Jawa Timur, yang kemudian dalam sejarah Jawa selalu memainkan lawan terhadap kekuasaan yang ada. Tentang Airlangga diceritakan bahwa sebelum mencapai kekuasaan, ia bertahun-tahun lamanya mengembara di hutan untuk mencapai ke- saktian. Maka tidak mengherankan bahwa pada zaman pemerintah- annya diciptakan Arjuna Wiwaha Kakawin, saduran Jawa dari suatu ceritera dari Mahabarata India di mana Arjuna harus bertapa di hutan bertahun-tahun lamanya untuk mencapai kekuatan batin. Paralelisme antara Arjuna dan Airlangga menyolok. Seni sastra di kraton-kraton Jawa bukan suatu peristiwa literaris saja, melainkan merupakan kegiatan penuh kekuatan gaib: dengan tindakan penulisan apa yang ditulis itu menjadi realitas. Dalam si penyair menceriterakan tindakan-tindakan besar Arjuna, Raja Airlangga bertambah kesaktiannya.

Mulai zaman itu Jawa Timur diolah secara intensif dan semakin padat penduduknya. Sebagai kekuatan dagang, Jawa Timur berhasil mengungguli Sriwijaya di Sumatra dalam persaingan dagang. Tuban dan kota-kota lain di pantai Utara Jawa berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang semakin jaya, yang mempunyai hubungan dengan seluruh Kepulauan Indonesia. Ternate di daerah Maluku mengakui kekuasaan Kediri, begitu juga Bali.

Di antara raja-raja Kediri yang termasyur adalah Jayabaya yang memerintah antara tahun 1135 sampai 1157. Di bawah beliau pujangga kraton, Mpu Sedah, menerjemahkan sebagian dari Epos India Mahabarata ke dalam bahasa Jawa dengan nama Baratayuda. Karya ini sampai sekarang merupakan sumber utama bagi wayang Jawa. Jauh kemudian, dalam abad XVIII, Raja Jayabaya dipergunakan sebagai pemaklum ramalan-ramalan Ratu Adil yang meramalkan bahwa Pulau Jawa akan mengalami masa kekacauan, tetapi akhirnya akan dibawa ke kebesaran baru oleh Sang Ratu Adil Herucakra. Ramalan-ramalan ini dalam abad XIX mempunyai pengaruh besar atas kesadaran politik di Jawa dan berulang-ulang terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil di bawah pemimpin-pemimpin yang menganggap diri sebagai Ratu Adil. Juga pemberontakan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta yang melibatkan pihak Belanda dalam suatu perang dari 1825-1830 yang hanya dengan susah payah dan melalui tipu-muslihat dapat mereka akhiri, didorong oleh harapan-harapan akan Ratu Adil.

Suatu usaha raja Kediri yang terakhir pada tahun 1222 untuk menempatkan para pendeta ke bawah kontrol langsung dari raja, gagal; ia jatuh dan diganti oleh suatu dinasti Jawa Timur baru yang berkedudukan di Singasari dekat Malang. Raja terbesar dinasti itu adalah raja yang terakhir, Pangeran Kertanagara yang berkuasa dari tahun 1268-1292. Ia dipandang sebagai penuh kekuatan-kekuatan gaib yang luar biasa. Dikatakan, bahwa untuk menambah kesaktiannya berhadapan dengan ancaman pemimpin Mongol, Kublai Khan, maka pada umur 21 tahun ia menjalani suatu upacara pentahbisan gaib. Dikatakan juga, bahwa ia dapat memperluas kekuasaannya sampai daratan Asia, suatu anggapan yang oleh kebanyakan ahli sejarah dipandang dengan skeptis. Yang pasti ialah bahwa ia memperlakukan para utusan Kublai Khan yang menuntut agar ia tunduk pada Kublai Khan, dengan cara menghina.

  • Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit, kerajaan yang paling berkuasa dalam sejarah Jawa, lahir dalam lindungan angin serangan tentara Mongol. Pangeran Wijaya-anak mantu Kertanagara-berhasil memperoleh bantuan Mongol untuk melawan Kediri. Sesudah tentara Mongol merusakkan kota Kediri, Pangeran Wijaya menjauhkan diri dari mereka, dan melibatkan mereka dalam suatu perang gerilya sehingga mereka untuk selamanya meninggalkan Tanah Jawa. Sebagai pembebas dari kaum Mongol, Pangeran Wijaya mendirikan dinasti Majapahit pada tahun 1293. Wijaya memulai kembali politik ekspansi Kertanagara. Walaupun beberapa pangeran yang telah tunduk pada Singasari berontak terhadap Majapahit, namun Wijaya berhasil untuk terus memperluas wilayahnya. Di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Gajah Mada yang dari tahun menjadi patih kerajaan, Majapahit mencapai peluasannya yang paling besar walaupun para ahli tidak sependapat mengenai luas wilayah yang nyata-nyata dikuasai Majapahit; namun pada umumnya diterima bahwa Majapahit menguasai seluruh Tanah Jawa dan Bali, begitu pula kekuasaannya diakui oleh kerajaan-kerajaan, pesisir terpenting di Kepulauan Indonesia.

Sementara itu, situasi keagamaan di Jawa berkembang terus. Perbedaan antara Budhisme dan Siwaisme praktis hilang. Agama resmi merupakan suatu bentuk sinkretisme tantrik, agama Siwa-Budha. Semua jalan ke arah penebusan pada prinsipnya dianggap sama.” Juga bentuk-bentuk ibadat Siwaisme dan Budhisme berjalan secara berdampingan, “orang bijaksana memahami bahwa (Siwaisme dan Budhisme) hanya merupakan ungkapan sama, yang pada hakikatnya identik.

Sekaligus ide-ide Jawa asli semakin kuat muncul kembali, tetapi bukan dengan melawan melainkan dengan melalui bentuk-bentuk India. Suatu contoh khas adalah ceritera tentang kakak-beradik Gagang Aking (“jerami kering”) dan Bubuksyah (“pemakan banyak”) yang sekarang pun, katanya, masih diketahui orang. mencari ilmu tertinggi, kedua-duanya menarik diri ke pegunungan. “Yang satu mengikuti aturan agama Siwa: ia bertapa dan bersemadi, tidak makan daging dan makanan najis lainnya. Yang satunya adalah penganut agama Budha. Baginya tidak ada larangan-larangan: ia makan dan minum sampai jauh malam; ia menangkap dan membunuh binatang. Dewa tertinggi mengutus seekor harimau putih untuk menguji mereka dan untuk meneliti kemajuan mereka dalam usaha mencapai kesempurnaan. Sang harimau minta makanan dari kakak-beradik itu, tetapi hanya mau menerima daging manusia. Gagang Aking berusaha mengelak dengan menunjuk pada kekurusannya; menurut dia, kakaknya jauh lebih cocok untuk menjadi makanan. Adiknya, penganut agama Budha, bersedia untuk itu. Sesudah kesediaannya dicoba secukupnya, harimau membawa Bubuksyah di atas punggungnya ke surga yang tertinggi. Gagang Aking memang boleh ikut dengan berpegang pada buntut harimau, tetapi di surga harus puas dengan tempat yang jauh lebih rendah”.59 Dalam kisah tentang kesatuan kedua kutub Siwaisme dan Budhisme itu, barangkali muncul kembali suatu mitos suku Indonesia Kuno. Menurut mitos itu suku terbelah dalam dua bagian. Kedua bagian saling bersaing, tetapi sekaligus bersatu secara tak terpisahkan. Menurut artian dimana kisah yang berat sebelah ke arah Budhisme itu, Siwais terpahat dalam ukiran batu (pada salah satu candi kompleks Penataran dari abad XIV) sebenarnya merupakan punden suku, “suatu pusat kebudayaan yang mewakili seluruh masyarakat dan dengan demikian merangkum kedua belah bagiannya”. Bahwa di zaman Majapahit unsur-unsur Indonesia Kuno.semakin muncul kelihatan juga dalam arsitektur candi-candi dan dalam ukiran-ukiran batu, dan nampak juga karena banyak patung dewa zaman Singasari dan Majapahit merupakan apa yang disebut patung.

C.Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup

Dalam pasal-pasal sebelumnya kami telah berusaha untuk menggaris- kan struktur etika Jawa. Dalam pasal ini pelbagai segi etika itu mau diutarakan secara khusus dengan tujuan untuk menangkap ciri khas teoretis etika Jawa dengan lebih tajam. Untuk itu hasil-hasil penelitian sampai sekarang kami tempatkan dalam kerangka suatu analisis filosofis.

Mari kita mulai dengan merangkum sekali lagi hasil penelitian kita sampai sekarang. Kita bertolak dari pengandaian bahwa orang Jawa secara prinsipil diharapkan untuk menjaga keselarasan sosial. Itu dilakukannya dengan mencegah timbulnya konflik-konflik dan dengan menghormati kedudukan dan pangkat semua pihak dalam masyarakat. Tuntutan itu dapat dimengerti pada latar belakang suatu anggapan bahwa keselarasan dalam masyarakat berhubungan erat dengan keselarasan kosmis: kedua-duanya saling mengandaikan. Dari keselarasan kosmos tergantung keselamatanku sendiri. Maka untuk menjamin keselamatannya manusia harus melakukan apa yang bisa dilakukan dan itu berarti, ia tidak mengganggu gugat keselarasan masyarakat. Namun keselarasan itu baru sempurna apabila diimbangi dan ditunjang oleh keselarasan batin. Demi tujuan itu manusia harus mengontrol hawa napsunya dan dalam batinnya mengembangkan sikap sepi ing pamrih. Berdasarkan sikap itu manusia dapat dengan tenang dan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya oleh pangkat dan nasibnya (ramé ing gawé). Dengan sikap itu manusia mencapai suatu keadaan psikis yang disebut slamet, yaitu ketenangan batin, ketenteraman dan rasa aman. Dengan demikian keselarasan dalam alam luar sesuai dengan keadaan slamet dalam batin manusia.

Oleh karena itu pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat. Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing pamrih berarti menerima tempatnya sendiri, dan memenuhi kewajiban berarti melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya dalam kosmos. Maka tuntutan moral kongkret secara hakiki bersifat relatif karena ditentukan oleh tempat masing-masing individu. Setiap individu harus melakukan kewajiban-kewajiban khas yang ditentukan baginya oleh kedudukan- nya dalam masyarakat dan oleh nasibnya.

Akan tetapi supaya individu dapat bersikap sesuai dengan tempat kosmisnya, diandaikan bahwa ia mengetahui kewajiban-kewajiban yang mengalir daripadanya. Pengetahuan itu pertama-tama diperoleh- nya dari empat sumber lahiriah, yaitu tuntutan adat-istiadat, tata krama, hirarki dan kerukunan. Namun itu tidak cukup. Bahwa manusia memahami ia memang harus hidup sesuai dengan kewajiban-kewajiban itu, jadi agar ia, begitu dapat kita katakan, harus bersikap moral, hanya dapat diketahuinya dari batinnya sendiri. Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam råså. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin bersatu ia dengan kekuatan- kekuatan İlahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.

  1. Etika dan Pengertian

Rasa adalah kategori pengertian. Rasa pertama-tama berkembang dalam suasana keluarga inti yang secara ideal bebas dari tekanan dan paksaan, dalam lingkungan keluarga luas dan di antara para tetangga. Di sini orang Jawa mengembangkan kepercayaan dasar ke dalam kelompoknya, di sini berkembang padanya kepekaannya untuk reaksi-reaksi sesamanya, di sini ia mulai mengenal rasa takut terhadap dunia luar yang berbahaya, di sini tumbuhlah di dalamnya sikap-sikap moral dasar seperti kejujuran, kesediaan untuk menolong dan rasa keadilan, di sini ia membatinkan perintah dasar untuk mencegah konflik-konflik sebagai sesuatu yang positif dan belajar untuk memahami struktur hirarkis masyarakat. Dalam proses pertumbuhan ini sikap hidupnya sejak semula distrukturasikan menurut kategori tempat: ia mengalami perbedaan antara dalam (kepercayaan, kehangatan, keakraban, keamanan) dan luar (rasa hormat, malu, sungkan, jarak, bahaya-bahaya); ia belajar untuk membedakan kedudukan-kedudukan dan pangkat-pangkat yang berbeda dalam masyarakat dan bahwa individu ditentukan oleh kedudukan dan pangkat itu. Ia belajar untuk membedakan kewajiban-kewajiban menurut kedudukan masing-masing dalam masyarakat. Di sini ia menginternalisasikan tuntutan-tuntutan tata krama dan adat istiadat. Dengan demikian berkembanglah rasa-nya. Melalui rasa-nya ia tahu bagaimana ia harus membawa diri dan kelakuan yang seşuai menjadi kebiasaannya.

Di sini kelihatan ciri pertama ețika Jawa: di dalamnya unsur pengertian sangat ditekankan. Segala-galanya tergantung dari apakah orang mengetahui tempat sosial dan dengan demikian tempat kosmisnya. Siapa yang mengetahuinya akan juga bertindak dengan betul, dan siapa yang bertindak salah rupa-rupanya tidak mengetahui tempatnya atau situasi kosmisnya. Tekanan pada unsur pengertian juga nampak, seperti telah kita lihat, dalam paham orang Jawa tentang kelakuan yang salah sebagai kekurangan pengertian (durung ngerti). Yang di sini menyolok bukanlah fakta itu sendiri bahwa dalam etika Jawa pengertian memainkan Di terdapat etika, tentu juga terdapat peraturan-peraturan, dan hanya orang yang mengetahui- nya bisa memenuhi tuntutan-tuntutannya. Yang khusus dalam etika Jawa ialah eksklusivitas yang dimiliki oleh unsur pengertian di dalamnya. Bukan hanya bahwa kelakuan yang betul mengandaikan pengetahuan tentang norma-norma moral, melainkan pengertian yang betul sudah menjamin tindakan yang betul juga. Siapa yang mengikuti hawa napsunya atau hanya meêngejar kepentingan egoisnya sendiri, berbuat demikian bukan karena ia tidak mau, melainkan karena ia belum mencapai pengetahuan yang betul. Kehendak sebagai kemampuan yang berbeda dari pengertian oleh orang Jawa tidak banyak diperhatikan. Kita misalnya melihat bagaimana anak Jawa sedapat-dapatnya dijauhkan dari pengalaman-pengalaman frustrasi selama anak itu belum dapat mempergunakan akal budinya, di mana yang terakhir itu diukur pada kemampuan anak untuk memahami hubungannya terhadap dunia luar. Begitu pula penguasaan diri di bidang seksual dianggap di luar kemampuan individu biasa sehingga pengawasan sosial harus semakin ketat. Etika Jawa adalah etika pengertian karena kelakuan yang tepat dianggap sudah terjamin oleh pengertian yang betul sedangkan di samping itu kehendak tidak diberi perhatian.

  • Bukan Masalah aksi

Bahwa dalam pandangan Jawa sikap dasar moral, atau benar, dengan sendirinya menjamin kelakuan yang tepat, sedangkan etika-etika Barat sangat mementingkan latihan kehendak untuk melaksanakan apa yang dipahami sebagai kewajiban moral oleh akal budi, nampak juga dari ciri khas kedua etika Jawa: tujuan terakhir etika ini bukanlah suatu aksi. Sebagaimana telah kita lihat, etika Jawa memang menuntut agar setiap orang memenuhi kewajiban-kewajiban pangkat dan kedudukan- nya. Setiap orang harus melakukan apa yang ditugaskan kepadanya oleh kedudukan sosialnya dan oleh nasib pribadinya dalam dunia. Etika Jawa bukan suatu etika kemalasan. Tetapi tindakan yang dituntut itu bukanlah suatu aksi, bukan suatu gerakan ke luar dari diri sendiri, dan tujuannya bukanlah suatu perubahan kategoris terhadap dunia. Etika Jawa tidak bermaksud untuk mengubah dunia yang ada menjadi dunia lain yang lebih baik.

Sebagaimana telah diutarakan, perubahan semacam itu menurut pandangan dunia Jawa tidak berada dalam jangkauan kekuatan manusia, bahkan sama sekali tidak berada dalam perspektifnya. Dunia adalah suatu keadaan, walaupun suatu keadaan dinamis. Kekuatan-kekuatan yang sebenarnya bergiat di dalamnya bersifat gaib dan tidak kelihatan dan kadang-kadang dipersonifikasikan sebagai roh-roh, tetapi akhirnya hanya merupakan ungkapan dari energi kosmis yang satu itu yang mengerjakan segalanya dalam segalanya. Berkat energi kosmis itu setiap unsur dalam dunia mempunyai gerakan-gerakan tertentu, dan dengan melakukan gerakan-gerakan itu keseluruhannya tetap tenang dan tetap sama. Jadi gerakan-gerakan itu tidak mengubah relasi-relasi antara dunia, melainkan justru mempertahankannya. Paham itu dapat kita bandingkan dengan gerakan bintang-bintang di langit: konstelasi mereka tetap dalam keselarasan total justru karena setiap badan di langit mempertahankan jalurnya, jadi bergerak. Dalam arti ini melaksanakan keutamaan-keutamaan masing-masing tidak berarti lain daripada mengikuti garis dunia yang sudah digariskan bagi siapa saja, mirip dengan kapal angkasa yang sesudah ditembakkan ke dalam ruang angkasa dan mesin roket-roket dimatikan mempertahankan gerakan dan arahnya, tanpa suara dan dalam keselarasan sempurna dengan semua kekuatan alam raya.

Oleh karena itu pemenuhan kewajiban tidak boleh dipahami sebagai aksi dalam arti bahwa lingkungan mau diubah secara definitif, melainkan berarti kecocokan sempurna dalam keselarasan keseluruhan, bagaikan sebatang pohon yang mengambang di atas sebuah sungai. Apabila pun tindakan dalam dunia menghasilkan suatu perubahan positif maka perubahan itu sebenarnya tidak mengubah sesuatu melainkan mengembalikan keselarasan. Dan sebaliknya, orang yang tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, entah karena ia bertindak salah, entah karena ia tidak berbuat apa-apa, merupakan gangguan terhadap keselarasan sosial dan kosmis.

  • Kedudukan Keutamaan-keutamaan Moral

Etika Jawa memperlihatkan diri sebagai etika pengertian. hubungan ini timbul pertanyaan mengenai kedudukan keutamaan- keutamaan moral dalam etika ini. Dengan keutamaan moral saya maksud di sini sikap-sikap kehendak yang tetap untuk bertindak secara moral, artinya menurut norma-norma moral dasar. Kita bertolak dari problematika yang telah muncul dalam hubungan dengan prinsip-prinsip keselarasan sosial. Sebagaimana kita lihat, tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk selalu menunjukkan sikap hormat yang tepat amat penting dalam pengaturan tata pergaulan masyarakat Jawa. Masyarakat sangat mengharapkan agar keselarasan dalam masyarakat dipertahankan, dan untuk itu perlu dipelihara suasana rukun serta diakui tempat setiap pihak di dalamnya.

Mengapa keselarasan sedemikian dijunjung tinggi dapat dipahami latar belakang pandangan dunia Jawa tradisional. Menurut pandangan itu kekuatan-kekuatan yang sebenarnya bersifat gaib. Semua unsur dalam dunia mengikuti jalur-jalur yang telah ditentukan dan suatu usaha untuk mengubah jalan dunia adalah sia-sia. Maka mengubah dunia sekehendak manusia tidak terletak dalam kemam- puannya. Dunia harus diterima scadanya. Manusia hanya dapat menjaga keselarasan dan keseimbangan dan dengan demikian ia menyumbang terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu suatu idealisme moral yang mempunyai cita-cita tinggi untuk memperbaiki masyarakat dan dunia serta merasa bertanggung jawab untuk mengambil pelbagai sikap yang bertentangan dengan keselarasan tidak masuk akal dan hanya akan menimbulkan gangguan, juga bagi mereka yang mau dibantu atau dimajukan dengan cita-cita tinggi itu. Tak mungkin saya mengubah dunia menurut cita-cita saya seenaknya. Saya hanya dapat menyumbang pada keadaan yang lebih tenteram, adil dan sejahtera dengan memenuhi kewajiban yang ditentukan bagi saya menurut aturan masyarakat, jadi dengan mempertahankan kerukunan dan mengakui kedudukan semua pihak dalam tatanan sosial. Hanya dengan menjaga keselarasan saya dapat memajukan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu norma-norma moral, juga yang tertinggi, tidak pernah berlaku kategoris. Satu pun jangan dilebih-lebihkan, jangan dipaksakan mati-matian, atas nama norma dasar apa pun tidak dibenarkan untuk melibatkan diri seratus persen, untuk kehilangan dan pandangan bagi keseluruhan.

Usaha bersemangat demi untuk mewujudkan cita-cita luhur yang dimutlakkan dan melebihi ukuran yang ditentukan oleh kewajiban-kewajiban sosial yang terkena pada kedudukan seseorang, bagi orang Jawa merupakan percobaan yang kurang estetis dan terutama bodoh untuk melampaui batas-batasnya sendiri, suatu usaha yang hanya dapat menyebabkan ketidaktenangan dan perasaan kaget yang tidak diinginkan. Atas nama keutamaan- keutamaan atau demi tanggung jawab terhadap sesama pun tidak dibenarkan untuk memutlakkan tindakannya sendiri karena bagaimana pun juga tidak mungkin untuk membantu satu sama lain melebihi kemungkinan-kemungkinan yang selalu sudah ditentukan oleh keseluruhan

 SUMBER      : Franz Magnis,   ETIKA JAWA,  – Suseno SJ Etika Jawa PT. Gramedia, Jakarta Jakarta 1984

.

Agama Sunda

Posted: 17 Oktober 2017 in BUDAYA DUNIA, BUDAYA NUSANTARA, SUKU SUNDA

Pajajaran,hiji karajaan anu kantos eksis di tatar Sunda,dipikawanoh ku khalayak minangka karajaan Hindu. Lamun ngarujuk dina buku-buku palajaran Sajarah anu dipake di sakola atawa instansi atikan umumna,mangka Pajajaran bade ditendeun dina kategori karajaan Hindu-Budha anu kantos berjaya di bumi nusantara. Manawi henteu kapikir ku urang yen sajarah resmi anu diyakini ku mainstream balarea kasebat saleresna barobah kaayaan keneh perdebatan dugi kiwari.

Sapalih balarea Sunda anu ngagem ageman Sunda Wiwitan (ageman awit Sunda) malahan ngayakinan yen ageman anu dianut ku balarea Sunda Pajajaran atawa Galuh (karajaan anu aya sateuacan Pajajaran wedal) nyaeta ageman Sunda Wiwitan,sanes ageman Hindu. Sababaraha sejarawan sarta budayawan Sunda oge boga pamadegan sami,nyaeta aya kalepatan interpretasi sajarah kalawan nyebutkeun Pajajaran minangka karajaan Hindu. Pamadegan anu tinangtu dibarung argumentasi rasional sarta tiasa dipertanggung jawabkan.

Pajajaran sarta Ageman Sunda
A
Asal-asal sajarah anu nu nulis terang saleresna nembongkeun kitu kaayaanana kapercayaan awit Sunda anu atos mapan dina kahirupan balarea Sunda pra atawa pasca Pajajaran kabentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan,contona,mendeskripsikeun kitu kaayaanana kaum pendeta Sunda anu ngagem ageman awit Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Maranehanana oge disebut ngagaduhan sarupaning tempat suci anu namina kabuyutan parahyangan,hiji perkawis anu henteu dipikawanoh dina ageman Hindu.

Naskah Carita Parahyangan oge nyaritakeun ngeunaan kapercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh nyaeta sewabakti ring batara upati sarta berorientasi ka kapercayaan awit Sunda.[2] Jabi naskah Carita Parahyangan,ayana ageman awit Sunda dina mangsa kapungkur oge diperkuat ku karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episodeu “Curug Si Dina Weruh.” Dina pantun kasebat diwartakeun begini:

“Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh,karuhun urang mah geus baroga ageman,anu disarebut ageman Sunda tea..”

Hartina : “Sebelum jalmi Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo oge,karuhun urang atos ngabogaan ageman,nyaeta anu disebut ageman Sunda.”

Anu dimaksud kalawan “urang Hindi” dina pantun kasebat nyaeta jalmi Hindu ti India anu saterusna bertahta di taneuh Sunda (Kadu Hejo). Lamun urang mapay-mapay sajarah Sunda dugi mangsa ratusan warsih sateuacan Karajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran tangtung,mangka bade ditepungan Karajaan kahiji di tatar Sunda anu namina Salakanagara. Karajaan ieu pisan anu dimaksud kalawan Kadu Hejo dina pantun Bogor kasebat. Naskah Wangsakerta nyatet karajaan ieu minangka dayeuh pang kolotna di Pulo Jawa,sumawonten di Nusantara.

Konon,dayeuh anu saterusna ngembang barobah kaayaan pusat karajaan ieu tempatna wewengkon Pandeglang,Banten. Karajaan Salakanagara anu pusat pamarentahan na tempatna Rajatapura atos aya saprak abad 2 Masehi. Aki Tirem mangrupa pangawasa kahiji wewengkon ieu. Pangawasa Salakanagara saterusna nyaeta Dewawarman,imigran sakaligus padagang ti India anu saterusna barobah kaayaan minantu Aki Tirem.[3] Dewawarman ieu pisan anu dimaksud minangka “urang Hindi” ku Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Janten tiasa ditumbukeun yen sateuacan kadatangan Dewawarman sarta rombongannya ka Salakanagara,nu nyicingan Rajatapura atos ngabogaan ageman sorangan,nyaeta ageman Sunda. Dewawarman sorangan bertahta di Salakanagara ti warsih 130-168 M. Sedengkeun dinastinya angger ngawasa dugi ahirna pusat kakawasaan dipindahkeun ka Tarumanagara dina warsih 362 M ku Jayasingawarman,turunan ka-10 Dewawarman.[4] nurutkeun keneh naskah Pustaka Wangsakerta,ageman Sunda dina mangsa Sunda kuna ngabogaan kitab suci anu barobah kaayaan padoman umat na,yaktos Sambawa,Sambada sarta Winasa. Perkawis pangpentingna anu peryogi diinget nyaeta yen katilu kitab suci kasebat anyar ditulis dina mangsa pamarentahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu,anu ngawasa di tatar Sunda dina periode 1175-1297 M.[5] Metot kanggo diregepkeun,yen ageman Sunda anu atos tos yuswaan kira-kira 1000 warsih atawa 1 Milenium,anyar ngagaduhan kitab suci ditulis dina mangsa pamarentahan Prabu Sanghyang Wisnu. Nu nulis berasumsi,manawi salila era sateuacan Prabu Sanghyang Wisnu ngawasa,kahirupan ngagem agama di taneuh Sunda tacan mendapat perhatian anu serius ti pangawasa karajaan. Sanggeus mangsa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah ageman Sunda barobah kaayaan ageman resmi karajaan.

Sababaraha buktos sajarah eta nembongkeun ayana ageman Sunda awit atawa Sunda Wiwitan minangka hiji ageman anu dianut ku balarea atawa pangawasa Sunda kuna nyaeta fakta tak terbantahkan. Kaliwat bagaimanakah kalungguhan ageman Hindu di era Sunda kuna atawa Sunda Pajajaran? Lainna cikal bakal karajaan Sunda kuna asalna ti jalmi-jalmi India anu notabene ngagem agama Hindu? Kumaha deui beda ngadasar antawis ageman Hindu sarta ageman Sunda Wiwitan?

 

Beda Hindu sarta Sunda Wiwitan

Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan dina faham Monoteisme atawa percanten bade kitu kaayaanana hiji Pangeran anu dipikawanoh minangka Sanghyang Keresa atawa dawam oge disebut Batara Tunggal. Dina ngajalankeun “tugasnya” mengatur semesta alam,Sanghyang Keresa dibantuan ku para Sang Hyang lianna sepertos Sanghyang Guru Bumi,Sanghyang Basa,Sanghyang Ambu Jati,Sunan Ambu,sarta lianna.

Ageman Sunda Wiwitan oge mikawanoh klasifikasi semesta alam barobah kaayaan tilu haturan,nyaeta Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa),Buana Panca Keur (tempat hirup jalmi sarta mahluk hirupna) sarta Buana Cegah (naraka). sajaba ti eta,dina pituduh Sunda Wiwitan oge dipikawanoh kitu kaayaanana proses kahirupan jalmi anu kedah ngaliwatan salapan mandala di dunya fana sarta alam baka. Kesembilan mandala anu kedah diliwatan jalmi kasebat nyaeta (sacara vertikal): Mandala Kasungka,Mandala Parmana,Mandala Karna,Mandala Rasa,Mandala Seba,Mandala Suda,Jati Mandala,Mandala Samar sarta Mandala Agung.

Lamun urang ngarujuk dina pituduh Hindu,bade kapanggih beda ngadasar kalawan pituduh ageman Sunda utamana ngait konsep teologis. Hindu mangrupa ageman anu ngabogaan karakteristik Politeisme atawa ngayakinan kitu kaayaanana langkung ti hiji Pangeran atawa Dewa. Dina ageman Hindu dipikawanoh seueur dewa , di antarana tilu dewa anu nu mawi utami (Trimurti) nyaeta dewa Wisnu (nu ngajaga),Brahma (panyipta) sarta Siwa (perusak). Henteu dipikawanoh istilah Sanghyang Keresa dina pituduh Hindu.

Beda lianna nyaeta ngeunaan sarana peribadatan ti kadua ageman. Dina era Sunda Pajajaran,ageman Sunda Wiwitan mikawanoh sababaraha tempat suci anu oge dijadikeun sarana peribadatan sepertos Balay Pamunjungan,Babalayan Pamujan sarta Saung Sajen. Ampir sadaya tempat ibadah kasebat ngawangun punden berundak anu diwangun ti kumpulan batu-batu ageung sarta arca.[6] Samentara dina mangsa kejayaan Karajaan-karajaan Hindu-Budha di Jawa Keur sarta Jawa Wetan,sarana peribadatan anu seueur didirikeun malahan candi anu dugi kiwari tiasa keneh urang temui patilasan na. Sumawonten candi oge patali jeung simbol kakawasaan pangawasa nu tangtu.

Sedengkeun budaya keberagamaan balarea Sunda anu ngagem Sunda Wiwitan dina mangsa Sunda kuna benten pisan. Maranehanana henteu ngadegkeun candi kanggo beribadah,kalah memusatkeun kagiatan kaagamaan na dina sababaraha punden berundak anu dipikawanoh minangka kabuyutan. Di punden berundak ieu pisan ritual atawa prosesi kaagamaan has Sunda Wiwitan dipigawe ku balarea Sunda. Sababaraha patilasan tempat ibadah era Pajajaran anu tiasa keneh urang manggihan kiwari nyaeta kabuyutan Sindang Barang (kiwari barobah kaayaan lembur budaya Sindang Barang,Bogor) sarta Mandala Parakan Mandala Parakan Jati di suku Gunung Salak.

Perkawis ieu pisan anu oge tiasa ngawalon patarosan sapalih jalmi ngeunaan “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sajarah nempokeun yen balarea panganut Sunda Wiwitan saleresna henteu merlukeun candi minangka sarana peribadatan,kalah kabuyutan anu kentel keneh talari megalitiknya . Janten saeutikna candi di taneuh Sunda sanes margi “kemiskinan” peradaban Sunda di mangsa kapungkur,kalah kaayaan sosio-religiusnya anu benten kalawan balarea Jawa-Hindu.

Buktos lianna anu oge nembongkeun kelemahan klaim sajarah anu nyambung kalawan ka-Hindu-an karajaan Sunda Pajajaran nyaeta henteu kapanggihna stratifikasi sosial has balarea Hindu atawa kasta dina balarea Sunda Kuna. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian sarta asal-asal sajarah lianna henteu nembongkeun kitu kaayaanana strata sosial anu didalamnya aya kasta Waisya,brahmana atawa Sudra sakumaha balarea Hindu di Jawa sarta Bali. Disamping eta,henteu kapanggih deui konsep raja nyaeta titisan Pangeran atawa Dewa (God-King) dina sistem pamarentahan Sunda Pajajaran atawa Galuh sakumaha ditepungan dina sistem karajaan Hindu-Budha di Jawa Keur sarta Wetan.

Henteu katutup jigana saleresna,lumangsung akulturasi antawis ageman Sunda Wiwitan kalawan ageman Hindu,ngemut karuhun kulawargi karajaan Sunda kuna sapalih asalna ti India. Nanging akulturasi kasebat henteu lumangsung dina aspek sistem peunteun. Lamun ngarujuk dina konsep kabudayaan nurutkeun Koentjaraningrat,aya tilu rupi budaya dina hiji unsur kabudayaan,nyaeta sistem peunteun,laku-lampah sarta kebendaan (artefak). Akulturasi dina perkawis ieu ngan lumangsung dina aspek kebendaan sarta laku-lampah,itupun henteu sakumna na. Perkawis ieu tiasa katembong ti wasta-wasta raja sarta sababaraha istilah dina ageman Sunda Wiwitan sepertos Batara sarta Resi. Nanging kanggo substansi pituduh,henteu kasampak kitu kaayaanana akulturasi anu menjurus dina sinkretisme.

 

 

Sunda Wiwitan di Mangsa Kiwari

Atos jelaslah kiwari lamun kategorisasi karajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh minangka karajaan Hindu merupakah perkawis anu peryogi dibenerkeun. Buktos-buktos sajarah malahan nembongkeun yen balarea Sunda kuna atos ngagem hiji ageman lokal anu mapan sarta relatif teuneung ti pangaruh teologis Hindu-Budha,nyaeta ageman Sunda Wiwitan.

Dina mangsa kiwari,Sunda Wiwitan dianut keneh ku sapalih etnis Sunda utamana golongan suku Baduy di desa Kanekes,Banten. Jabi eta,panganut Sunda Wiwitan oge aya di Ciparay Bandung (kakoncara kalawan wasta aliran Lalampahan Budi Tanagi),Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang),sarta lembur adat Cireundeu Cimahi. Sewang-sewang komunitas ngabogaan penjabaran sarta karakteristik pituduh na sorangan nanging angger berbasiskan inti pituduh ageman anu sami,Sunda Wiwitan.

Nanging nasib maranehanana henteu seberuntung panganut ageman lianna di nagari ieu,margi ageman Sunda Wiwitan lain ageman anu sacara resmi diaku di mana ayana ku nagara.[7] Balukarna sagala rupa perlakuan diskriminatif ti aparatur nagara sering maranehanana tampi,hususna anu patali jeung pemenuhan hak-hak sipil maranehanana minangka wargi nagara. Alangkah lucu na nagari ieu,sabot kakawasaan pulitik ngabogaan hak nangtukeun manten anu kaasup kriteria ageman sarta manten anu sanes. Anu tangtos diskriminasi ka panganut Sunda Wiwitan teras keneh langgeng dugi detik ieu. Ulah-ulah,penulisan buku sajarah resmi anu ngasupkeun keneh Pajajaran minangka karajaan Hindu oge bernuansa diskriminatif,anu orientasinya hoyong menghapukeun tapak kabudayaan Sunda Wiwitan dina sajarah? Wallahualam

Asal Artikel: http://www.berdikarionline.com/benarkah-sunda-pajajaran-nyaeta-karajaan-hindu/#ixzz3vb0DZIXt
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

BUSHIDO 武士道

Posted: 3 September 2017 in BUDAYA DUNIA, BUDAYA JEPANG, Samurai

 

Pendidikan budaya adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesi dimana dalam hal ini selain upaya pendidikan dari dalam seyogyanya kita pun menyerap pendidikan dari luar yang merupakan implementasi yaitu budaya hidup suatu kaum.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.

Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang berkaitan dengan budaya, bahwa telah dinyatakan oleh Arnold Toynbee Bahwa ”Pendidikan adalah induk kandung kebudayaan suatu bangsa” maka apabila pendidikan suatu bangsa itu benar, benarlah seluruh kebudayaan kaum tersebut, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.

Melalui Restorasi Meiji angkatan perang Jepang dibangun secara modern, angkatan darat menerapkan strategi Jerman dan angkatan laut secara Inggris. Kementerian Pertahanan tidak bertanggung jawab kepada Parlemen tetapi kepada Tenno (Kaisar). Hal ini menjadikan kedudukan Kementerian Pertahanan sangat kuat dan menjadi menjadi Gunbatsu (pemerintahan diktator militer). Bersamaan dengan modernisasi angkatan perang muncul kembali semangat Bushido sebagai dasar jiwa ketentaraan yang melandasi pendidikan militer di jepang.

“Bushi” berarti ksatria dan “Do” artinya jalan. Bushido dapat diartikan sebagai jalan kehormatan yang harus ditempuh oleh orang Jepang untuk menyempurnakan hidup. Bushido (武士道?), secara Harfiah “jalan prajurit”, adalah kata dalam bahasa Jepang untuk cara hidup samurai, cara hidup dengan konsep ksatria. Etimologisnya dari kata bushido Jepang, yang berasal dari Dinasti Zhou (1111-256 SM) (Zhang, dan Fan, 2003) [1] atau (1.818-221 SM) (de Bary, dan Bloom) Zhou Cina bi 周 髀 (Cullen, 1996) [3] dan kata wushidao (武士道), berarti seorang prajurit terlatih dalam seni bela diri. Singkatan “wushi,” (武士) dibagi menjadi dua bagian, pertama istilah “wu” (武) menggambarkan orang yang kompeten dalam seni bela diri seperti Raja Wu, dengan jabatan kedua “shi,” (士) tentara. Kedua karakter bersama-sama (武士) berarti prajurit atau penjaga istana. Bagian terakhir dari kata, “dao” (道) [6] adalah sama dengan “melakukan” dalam bahasa Jepang, yang berarti “cara” (Dao, 2003) seperti seni bela diri Kendo Jepang (剣 道) sehingga diartikan “jalan pedang”.

Pemahaman Jepang kata tersebut didasarkan pada kode moral yang menekankan samurai berhemat, loyalitas, penguasaan seni bela diri, dan kehormatan sampai mati. Lahir dari Neo-Konfusianisme selama masa perdamaian di Tokugawa Jepang dan teks Konghucu, Bushido juga dipengaruhi oleh Shinto dan Zen Buddhisme, yang memungkinkan adanya kekerasan dari samurai yang akan marah dengan kebijaksanaan dan ketenangan. Bushido dikembangkan antara abad ke-9 dan ke-20 dan dokumen diterjemahkan banyak berasal dari 12 ke abad ke-16 menunjukkan pengaruh yang luas di seluruh Jepang, meskipun beberapa ahli telah mencatat “Bushido istilah itu sendiri jarang dibuktikan dalam sastra pramodern.”

Di bawah Keshogunan Tokugawa, aspek bushido menjadi diformalkan ke dalam hukum feodal Jepang. Menurut kamus bahasa Jepang Shogakukan Kokugo Daijiten, “Bushido didefinisikan sebagai suatu filsafat yang unik (ronri) yang menyebar melalui kelas prajurit dari periode (Chusei) Muromachi.”

Kata ini pertama kali digunakan di Jepang pada abad ke-17 [10] Itu datang ke dalam penggunaan umum di Jepang dan Barat setelah publikasi dari 1.899 Nitobe Inazo ini Bushido:.. The Soul of Japan

Dalam Bushido (1899), Inazo menulis:
“Bushido …, kemudian, adalah kaidah moral yang samurai diminta atau diperintahkan untuk mengamati …. Lebih sering itu adalah kode unuttered dan tidak tertulis …. Itu adalah pertumbuhan organik dari puluhan tahun dan berabad-abad dari karir militer”.

Nitobe bukanlah orang pertama yang mendokumentasikan ksatria Jepang dengan cara ini. Dalam teks nya Jepang feodal dan Modern (1896), sejarawan Arthur May Knapp menulis: “ samurai dari tiga puluh tahun yang lalu telah belakangnya seribu tahun pelatihan dalam hukum kehormatan, kepatuhan, tugas, dan pengorbanan diri”. Hal itu tidak diperlukan untuk membuat atau membangun mereka. Sebagai seorang anak ia punya tapi harus diinstruksikan, karena memang dia dari tahun-tahun awal, dalam etiket bakar diri. Prajurit Jepang harus memegang teguh ajaran Bushido, artinya ialah menginsyafi kedudukan masing-masing dalam hidup ini, mempertinggi derajat dan kecakapan diri, melatih diri lahir batin untuk menyempurnakan kecakapannya dalam ketentaraan, memegang teguh disiplin, serta menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan tanah air sampai titik darah terakhir.

Menurut ajaran Bushido, mati untuk Tenno adalah bentuk mati yang sempurna dan termulia. Bushido memberi kekuatan lahir batin yang tak terhingga kepada tentara Jepang pada khususnya dan rakyat Jepang pada umumnya. Bukti betapa kuatnya semangat Bushido Jepang dapat dilihat pada peristiwa berikut ini:

あ。

Dalam Perang Rusia – Jepang (1905) sisa-sisa satu batalyon diasingkan sebagai pengecut karena semua opsirnya gugur, namun anak buahnya tidak mengikuti jejak opsir-opsirnya, mereka tidak semua ikut mati. Sisa-sisanya kemudian ingin melakukan “harakiri” (bunuh diri), tetapi tidak diizinkan oleh Jenderal Nogi. Mereka kemudian ingin menggabungkan diri pada divisi yang dipimpin Jenderal Nogi untuk menebus dosanya, namun ditolak karena Nogi tidak mau divisinya dikotori oleh mereka. Akhirnya di depan mata Nogi mereka harus berjibaku pada benteng-benteng Rusia di Port Arthur.

い。Dalam Perang Dunia II tentara Amerika Serikat menghadapi Bushido Jepang. Di Iwojima semua tentara Jepang gugur, tetapi AS juga kehilangan 35.000 prajurit terbaik. Iwojima hingga sekarang masih menjadi kenangan yang ngeri bagi AS.

う。Setelah Jepang menyerah, Kaisar tunduk pada tuntutan demokrasi Mac Arthur. Jepang tunduk karena Kaisar tunduk. Setelah Jepang terlepas dari kekangan AS (Perjanjian San Fransisco) Jepang pun kembali pada Ko-do (jalan Tenno). Tunduk dan berdisiplin pada Tenno adalah ajaran Bushido.

Bahwa bushido adalah sebuah asal hasil dari sebuah doktrin kaisarisme yang berabad-abad lamanya,

Seven virtues of Bushidō

Kode Bushido dilambangkan dengan tujuh kebajikan:

 

 

KESIMPULAN

Dalam hal ini semangat Bushido jepang merupakan tonggak ukur sejarah yang merupakan hal yang fundamental dalam kemajuan Jepang, sehingga apabila kita sebagai bangsa Indonesia mampu memiliki jiwa hingga sanggup mati demi negara maka itulah semangat cinta tanah air.

Bukan hanya saja dalam hal peperangan, maka seyogyanya kita pun dalam bidang pendidikan harus rela berkorban besar yang sama dengan Bushido, seperti hal yang pernah dikatakan oleh seseorang yang sangat memotivasi “Orang seperti saya walaupun miskin harta tetapi kaya akan semangat”, maka begitulah jiwa seorang jalan samurai. Rela mati mempertahankan semangat yang takkan pernah padam.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

http://www.tuanguru.com/2012/08/semangat-bushido-jepang.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Bushido

 

Novel toto chan

Sastra merupakan fenomena kemanusiaan yang kompleks, di dalamnya penuh makna yang harus digali melalui penelitian yang mendalam pula. “Salah satu fungsi karya sastra dalam masyarakat adalah sebagai alat penyampaian nilai-nilai kemanusiaan dengan mengungkap fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat” (Semi, 1988: 85). Oleh karena itu, penelitian terhadap karya sastra menjadi penting, baik dari segi karya sastra itu sendiri maupun hubungan karya dengan realitas manusia, misalnya dari segi psikologi. Salah satu novel yang bicara tentang problematika kepribadian dalam proses pendidikan adalah novel Madogiwa No Totto-chan (Totto-chan Gadis Cilik di Jendela).

Novel Madogiwa No Totto-chan merupakan novel autobiografi karangan Tetsuko Kuroyanagi. Autobiografi adalah riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh dirinya sendiri (Hardjana, 1994 :65). Kuroyanagi yang lahir pada tanggal 9 Agustus 1933 di Nogisaka, Tokyo, merupakan seorang aktris Jepang internasional yang terkenal, seorang pembawa acara talk show, seorang penulis novel anak terlaris, World Wide Fund untuk Penasihat Alam, dan Goodwill Ambassador untuk UNICEF. Kuroyanagi juga terkenal dengan karya amal dan merupakan salah satu selebriti Jepang pertama yang mencapai pengakuan internasional. Selain mendirikan Yayasan Totto, Kuroyanagi juga mendirikan yayasan kereta aktor profesional tuli dan menerapkan visi dalam membawa teater untuk orang tuli. Pada tahun 2006,Kuroyanagi dianugerahi penghargaan oleh Donald Richie sebagai wanita yang paling popular di Jepang, melalui bukunya yang berjudul Japanese Potrait : Pictures of Different People (Potret Jepang: Foto-foto Orang yang berbeda-beda). (www.wikipedia.com. Diunduh tanggal 29 Desember 2010:21.15)

Novel Madogiwa No Totto-chan adalah novel yang terbit di tahun 1981.Setelah terbit, novel ini menjadi novel terlaris dalam sejarah Jepang. Novel ini pertama kali diterjemahkan ke Bahasa Inggris tahun 1984 oleh Dorothy Britton dan hingga sekarang telah diterbitkan di lebih dari 30 negara. Berkat keberhasilan novel ini, Kuroyanagi meraih banyak penghargaan. Diantaranya adalah penghargaan non-fiksi terbaik di Jepang, penghargaan atas penjualan novel terlaris, dan penghargaan dari perdana mentri Jepang ketika acara peringatan penyandang cacat sedunia (www.wikipedia.com. Diunduh tanggal 29 Desember 2010:21.15).

Novel Madogiwa No Totto-chan bercerita tentang masa lalu Kuroyanagi yang akrab dipanggil dengan Totto-chan semasa kecil. Totto-chan merupakan anak yang nakal dan sulit diterima di sekolah umum. Sejak dikeluarkan dari sekolah lamanya, Ia dipindahkan ke sekolah baru yang bernama Sekolah Tomoe. Sekolah Tomoe merupakan tempat pertama kalinya Ia bertemu dengan Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi yang akhirnya mampu membuat banyak perubahan dalam hidupnya serta teman-temannya. Teman-teman Totto-chan yang juga memiliki masalah dalam kepribadian adalah Takahashi-kun dan Ooe-kun.Takahashi-kun merupakan anak yang memiliki pertumbuhan fisik yang sempurna dan memiliki rasa tidak percaya diri sedangkan Ooe-kun merupakan anak yang nakal dan tidak menghargai temannya. Sekolah Tomoe adalah sekolah yang dibangun sekaligus dikepalai oleh Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi. Kepala Sekolah Kobayashi menerapkan metode pendidikan yang berbeda dari sekolah-sekolah lainnya. Ia menerapkan metode pengajaran yang bebas dan mandiri.

Metode tersebut dapat membuat anak berkembang dengan cara mereka sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain. Kepala Sekolah Kobayashi berpendapat bahwa setiap anak membawa watak dan kepribadian baik ketika dilahirkan ke dunia. Ada bermacam-macam dampak yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan pengaruh buruk orang dewasa dalam pertumbuhan mereka. Oleh karena itu, Ia berusaha menemukan watak dan kepribadian baik itu agar anak-anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang khas. Kepala Sekolah Kobayashi juga merupakan seorang pendidik yang sangat menyenangkan dan tidak pernah memarahi murid-muridnya karena menurutnya mendidik anak bukanlah dengan kemarahan tapi dengan nasehat, pujian, dan kepercayaan. Kepala Sekolah Kobayashi membuat anak-anak percaya diri, bertanggung jawab, menyayangi sesama, dan saling tolong-menolong. Ia juga membentuk beragam karakter anak serta selalu mengenalkan mereka dengan alam karena menurutnya alam menyimpan berbagai ilmu pengetahuan.

Dari ringkasan cerita tersebut, Kepala Sekolah Kobayashi mengarahkan psikologis anak didik sesuai proses perkembangan mereka dan tanpa adanya paksaan. Hal ini sangat penting dalam mendidik anak. “Novel Madogiwa No Totto-chan mampu membuat perubahan di Jepang. Metode pendidikan yang diterapkan Kobayashi menjadi pelopor perubahan sistem pendidikan Jepang” (Andriana, 2010:23).

Dapat disimpulkan bahwa sejak novel ini terbit, metode pendidikan Kepala Sekolah Kobayashi mulai digunakan dan menjadi acuan dalam perubahan sistem pendidikan Jepang.Novel Madogiwa No Totto-chan banyak mengandung metode pendidikan yang tepat dalam mendidik anak. Dengan memperhatikan metode pendidikan yang diterapkan Kepala Sekolah Kobayashi untuk mencapai tujuan pendidikan yang optimal, peneliti merasa tertarik mengkaji novel Madogiwa No Totto-chan untuk membahas masalah kepribadian pada anak-anak yang mampu berubah menjadi pribadi yang lebih baik dengan adanya proses pendidikan yang tepat. “Kepribadian merupakan kualitas perilaku individu yang tampak dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya secara unik” (Jahja, 2011:67).

Peneliti menjadikan novel Madogiwa No Totto-chan sebagai judul skripsi “Problematika Kepribadian dalam Proses Pendidikan dalam Novel Madogiwa No Totto-Chan Karya Tetsuko Kuroyanagi; Tinjauan Psikologi Sastra”.

 

Gambar  —  Posted: 17 Februari 2016 in GALLERY, Tempo doeloe

Raden Ayu Lasminingrat

Posted: 17 Februari 2016 in KRONIK BUDAYA, Tempo doeloe

Raden Ayu Lasminingrat adalah putri sulung pasangan Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria, seorang penghulu sekaligus sastrawan sunda. [12] Ketika zaman kolonialisme pendidikan untuk bumiputera-bumiputeri dengan poltik etis belumlah menjadi hak asasi warga Nusantara, terutama kaum perempuan, dan atas kesadaran pentingnya pendidikan maka Raden Haji Muhamad Musa mendirikan sekolah Eropa (Bijzondere Europeesche School) dengan menggaji dua orang guru Eropa.

Di sekolah ini orang Eropa (Belanda) dapat bersekolah bersama-sama dengan anak-anak pribumi, juga anak laki-laki bercampur dengan anak-anak perempuan. [13]Ada pula yang menyebutkan Kontrolir Levisan atau Levyson Norman, seorang ekretaris Jendral Pemerintah Hindia Belanda kenalan baik sang ayah yang mengasuh Lasminingrat hingga mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda.[14]

Materi pembelajaran berupa membaca, menulis, Bahasa Belanda, dan umumnya mengenai kebudayaan barat. Dari pengalaman didikan langsung tersebut, Lasminingrat mempunyai angan jauh ke depan serta bercita-cita, –sama halnya dengan Dewi Sartika atau Kartini di kemudian hari, untuk memajukan peranan dan kesetaraan derajat perempuan Nusantara.

Alhasil, kemampuan Raden Ayu Lasminingrat dalam berbahasa Belanda sangat fasih, bahkan Karel Frederick Holle, seorang administrator di Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, memujinya. Pujian itu dinyatakan dalam surat Holle kepada P. J. Veth, antara lain menyebutkan Bahwa: “Anak perempuan penghulu yang menikah dengan Bupati Garut, menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm, cerita-cerita dari negeri dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa Sunda.” [15] [note 2]

Tahun 1879, Lasminingrat mendidik anak-anak melalui buku bacaan berbahasa sunda, pendidikan moral, agama, ilmu alam, psikologi dan sosiologi. Dia sisipkan dalam cerita yang disadur dari bahasa asing yang disesuaikan dengan kultur sunda dan bahasa yg mudah dimengerti. [note 3]

Langkah ri’ilnya, pada 1907 Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri di lingkungan Ruang Gamelan, Pendopo Garut sekitar tahun 1907. Awalnya dibuka terbatas untuk lingkungan para priyayi atau bangsawan lokal saja dengan materi pelajaran berupa baca, tulis, dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, Lasminingrat rajin membuat tulisan. Di antarakaryanya yang terkenal adalah Warnasari (jilid 1 & 2).

Lasminingrat menikah dengan Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII, yang merupakan Bupati Garut. Lasminingrat menghentikan aktivitas kepengarangannya. Ia lalu berkonsentrasi di bidang pendidikan bagi kaum perempuan Sunda. Selanjutnya tahun 1911 sekolah tersebut pindah ke Jalan Ranggalawe. Tidak disangka, pada 1911 sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun di kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.[16] Tahun 1912, Lasminingrat mendirikan kembali Sakola Istri untuk kaum perempuan dimana letak dan bangunannya sekarang dipakai SMA Negeri 1 Garut, sebelah timur alun-alun.

Pihak pemerintah kolonial menganggap jasa dan peranan Lasminingrat besar dalam membangun pendidikan untuk kaum bumiputera-bumiputeri oleh karenanya ia diberi penghargaan dan kompensasi tetap bulanan selama mengajar. seiring dengan pergantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut Tahun 1913. Dua tahun setelah pergantian nama, R. A. A. Wiaratanudatar VIII pensiun, setelah menjadi bupati sejak tahun 1871. Jabatan Bupati Garut kemudian dipangku oleh R. A. A. Suria Kartalegawa, yang masih terhitung keponakannya.

Akhirnya Raden Ayu Lasmingrat pindah dari pendopo ke sebuah rumah di Regensweg (sekarang Jalan Siliwangi). Rumah yang besar ini sekarang menjadi Yogya Department Store. Hingga usia 80 tahun ia masih aktif, meskipun tidak langsung dalam dunia pendidikan. Pada masa pendudukan Jepang, Sakola Kautamaan Istri itu diganti namanya menjadi Sekolah Rakyat (SR) dan mulai menerima laki-laki. Sejak tahun 1950, SR tersebut berubah menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang dikelola Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Daerah Tingkat II Garut. Tahun 1990-an hingga kini berubah lagi menjadi SDN Regol VII dan X.

Lasminingrat meninggal 10 April 1947 dalam usia 105 tahun, dikebumikan tepat di belakang Mesjid Agung Garut. Cita-cita dan perjuangannya mewujudkan pendidikan untuk kaum perempuan diteruskan oleh kerabatnya, Purnamaningrat.

 Karya tulis :

  • Carita Erman (1875), Judul Tjarita Erman merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar. Pada tahun 1911 dicetak ulang dalam aksara Jawa, dan pada tahun 1922 dalam aksara Latin. Selanjutnya tahun 1919 diterjemahkan ke dalam bahasa melayu oleh M.S Cakrabangsa.
  • Warnasari jilid 1 (1876). Judul Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid I.Buku ini ditulis dalam aksara Jawa, merupakan hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya.
  • Warnasari jilid 2 (1887).

 Sumber :

  • Moriyama, Mikihiro (2005). Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & The Resona Foundation for Asia and Oceania. ISBN 979-9100-23-2.
  • Lubis, Nina H. Kajian tentang perjuangan Raden Ayu Lasminingrat : Dalam rangka pengusulannya sebagai Pahlawan Nasional. Pusat Penelitian Kemasyarakatan & Kebudayaan – Lembaga Penelitian Universitas Pajajaran.
  • Effendie Tp.M.Hs, Deddy. Raden Ajoe Lasminingrat (1843-1948) – Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia. CV Studio Proklamasi.
  • Terrarum, O. (2006). West Meets East: Images of China and Japan, 1570 to 1920, Special Collections, De Beer Gallery, Central Library of the University of Otago, 10 February to 26 May 2006. New Zealand Journal of Asian Studies, 8, 122-179.

 

Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia maupun di dunia. Sebagai negara maju, Jepang memiliki sistem pendidikan yang sangat baik. Sistem pendidikan yang mereka jalankan penuh dengan persaingan. Sistem pendidikan dimulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dan setiap siswa diharapkan untuk memiliki jiwa dan kemampuan intelektual yang tahan terhadap persaingan.

Untuk dapat menghadapi persaingan ini, para ibu di Jepang berusaha untuk mempersiapkan putra-putrinya dengan cara memberikan pelajaran tambahan, baik yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah maupun berupa ketrampilan, seperti olah raga atau musik. Harapan para ibu, bahwa nantinya anaknya dapat lulus dalam persaingan, merupakan suatu hal yang baik, terutama bila putra-putri mereka dapat memenuhi harapan orangtua mereka. Namun, tidak semua anak dapat memenuhi harapan kedua orang tuanya. Sehingga harapan ini, menjadi suatu tekanan yang cukup berat dalam menghadapi persaingan di dunia pendidikan, hal inilah yang dapat menimbulkan berbagai macam penyimpangan sosial di Jepang seperti ijime / (penyiksaan terhadap kaum lemah), tookoo kyohi/ (kebiasaan menolak untuk sekolah), hikikomori/ (menutup diri dari lingkungan sekitar), taijin kyofusho/ (ketakutan berhadapan dengan orang lain), otakuzoku/ (terobsesi terhadap anime dan manga) dan sebagainya sering dihadapi oleh siswa sekolah, mulai dari kadar yang ringan sampai yang berat.

Selain pendidikan, Jepang juga memiliki sistem perekonomian yang baik. Hal ini dapat kita lihat dari tidak adanya kesenjangan sosial yang terlalu mencolok di dalam masyarakatnya. Jepang adalah negara maju dan kaya dimana hanya ada dua kelas ekonomi, kelas atas dan kelas menengah, tidak terdapat kelas bawah di dalam masyarakatnya. Dan suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa Jepang merupakan surga bagi pencari kerja karena memang perekonomian mereka telah mengalami
kemajuan yang luar biasa berkat ekspansi industri global perusahaan-perusahaan Jepang, dan hal inilah yang mendatangkan kemakmuran yang luar biasa bagi para buruh dan penduduk di Jepang.

Masyarakat Jepang terkenal dengan orang-orangnya yang pekerja keras. Banyak dari mereka yang lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga mereka sendiri. Di siaran televisi, koran ataupun majalah Jepang sering diberitakan orang meninggal karena kelelahan dalam bekerja. Dan hal ini bukan merupakan hal yang mengejutkan, hal ini dianggap suatu hal yang biasa di Jepang. Tetapi orang muda sekarang, memiliki sifat yang bertolak belakang. Osamu Nakano (2001 : indomedia.com), mengatakan “Orang muda lebih suka bersenang-senang daripada bersakit-sakit, rekreasi daripada kerja keras, konsumtif daripada produktif, dan apresiatif daripada kreatif”. Karena bagi kebanyakan orang muda Jepang, masa kerja keras, bersakit-sakit, produktif, dan kreatif tampaknya sudah lewat. Mereka yang dikenal dengan sebutan next generation atau Gen-X itu barangkali menganggap sudah selayaknya mereka menikmati kemakmuran negara.

Sebagian besar orang tua yang semasa muda belajar dan bekerja keras berpikir, tidak ada salahnya anak-anak menikmati jerih payah orang tuanya (2001:indomedia.com). Pemikiran seperti ini mengandung banyak risiko, banyak generasi muda zaman sekarang yang berpikir, karena telah terbiasa hidup enak jadi tidak mempunyai keberanian dan keinginan untuk hidup mandiri. Masahiro Yamada (2001 : indomedia.com), 10 juta warga Jepang berusia 20 – 34 tahun masih hidup nebeng orang tuanya. Terungkap pula, 80% wanita muda dan 60% pria muda memilih hidup lajang.

Salah satu kelebihan Jepang lainnya adalah budaya disiplin yang terus diterapkan sampai sekarang. Dan dunia luar juga sudah mengenal Jepang dengan gaya hidup seperti itu. Oleh karena itu banyak negara-negara di dunia yang meniru sifat disiplin dari masyarakat Jepang. Karena kedisiplinan merupakan salah satu faktor penting yang mendukung
kemajuan masyarakat Jepang. Jika sikap kedisiplinan ini hilang dari kaum muda Jepang, maka hal ini akan memberikan dampak buruk bagi kemajuan bangsa Jepang itu sendiri. Hilangnya sikap kedisiplinan pada kaum muda Jepang merupakan salah satu gejala awal dari Hikikomori.

Hikikomori merupakan suatu penyimpangan sosial yang terjadi pada kaum muda perkotaan di Jepang yang saat ini menjadi suatu fenomena di Jepang. Menurut Janti dalam Manabu (2006:189), secara singkat Hikikomori dapat didefinisiskan sebagai seseorang yang menutup diri dan mengurung diri dari lingkungan sekitarnya. Hikikomori merupakan suatu masalah sosial yang besar terutama bagi bangsa Jepang karena bila kita melihat jumlah penduduk Jepang, sebagian besar terdiri atas kaum lanjut usia, sehingga Jepang disebut juga sebagai koreika shakai atau masyarakat yang didominasi oleh kaum lanjut usia. Sementara itu, bila dilihat dari jumlah kelahiran, Jepang juga menghadapi penurunan jumlah kelahiran. Karena banyak kaum muda di Jepang yang enggan melakukan ikatan pernikahan. Kalaupun mereka mau menikah, banyak dari mereka yang tidak ingin mempunyai anak. Sehingga pertumbuhan penduduk di Jepang sering digambarkan seperti pyramid terbalik, dimana kaum lanjut usia semakin lama semakin banyak dan kaum muda semakin lama semakin sedikit.

Oleh karena itu, perlu dilihat bagaimana keadaan generasi muda yang merupakan harapan bangsa pada umumnya yang disebut generasi mapan. Ternyata ada kecenderungan penyimpangan yang dikenal sebagai Hikikomori pada generasi muda di Jepang dewasa ini.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan hikikomori dilihat sebagai fenomena yang ada di Jepang (http://vickery.dk/hikikomori/):
1) Komori : bagian kata hikikomori memiliki arti religius dan tradisional yang mengindikasikan bahwa pengasingan telah berakar dalam sejarah dan adat istiadat masyarakat Jepang.
2) Sekentei : rasa malu terhadap masyarakat dan kecenderungan untuk menutupi masalah keluarga jelas lebih kuat di Jepang dibanding negara lain.
3) Sistem sekolah : tekanan untuk sukses, metode mengajar yang tidak kreatif dan tidak dapat dikritik, sekolah yang kaku, dan adalah alasan spesifik di Jepang untuk mengasingkan diri.
4) Sistem keluarga : struktur keluarga, hubungan ibu, anak dan tradisi dimana orang dewasa muda dapat terus tetap tinggal dengan orang tua adalah keadaan spesifik yang mendukung terjadinya hikikomori.
5) Kolektivitas : tekanan dan ekspektasi dari kelas, perusahaan dan keluarga juga merupakan karakteristik yang khusus di Jepang. Khususnya dewasa yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi mandiri dapat menjadi alasan terjadinya pengasingan diri.
Faktor-faktor di atas dapat menjelaskan mengapa hikikomori muncul dalam bentuk yang ekstrim dan hanya terjadi di Jepang dan secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hikikomori tidak dapat ditemukan dalam skala yang sama di negara lain dan tampaknya ini merupakan suatu hal yang unik di Jepang. (Dari berbagai sumber)

 

SITOE BAGENDIT

Posted: 6 Januari 2016 in BUDAYA DUNIA

SALAH satoe sitoe (danaoe) jang indah didjamannja tapi merana dimasa sekarang,  terletak di kecamatan Banyoeresmi kaboepaten garoet, ternyata menyimpan pesona dan kebanggaan dimasa laloe. Tempat berekreasi para noni dan meneer belanda …

BAGENDIT

Ketika ke Garoet kita akan mengenang salah satu sungai jang membelah Garoet, bagaimana tjimanuk tempo doeloe jah, dibawah ini kita kenang masa lalu soengai ini…

cimanuk1918

Airnja mengalir djernih dengan batoean-batoean jang masih kokoh berbeda dengan Tjimanoek sekarang (potret 1918)

cimanuk

Tjimanoek dengan rakit penjeberangan dengan pakaian anak-anak masih sederhana tapi lingkoengan terlihat bersih dan tertata…       (potret tahoen 1918)

cimanuk6

Tjimanoek masih didjadikan tempat memandikan kerbaoe…(potret tahoen 1918)

Cimanuk7

Ketika Tjimanoek masih bisa marak waloengan (potret tahoen 1918)

jembatancimanuk1860

BOEPATI GAROET

Posted: 3 Januari 2016 in BUDAYA DUNIA

 

Foto Boepati Garoet, Raden Adipati Ario Wiratanoedatar VII, foto diambil tahun 1910. Bupati duduk di kursi, pejabat daerah hanya boleh duduk di lantai, untuk memperlihatkan perbedaan strata. hanya orang Belanda yang boleh duduk di kursi. Foto diambil tahun 1910 di pendopo kabupaten garut.

RAA is Wiratanudatar (1871–1915) merupakan Bupati prtama yang pindah dari Limbangan ke Kota Garut, daerah kekuasaan nya Kota Kulon , Kota Wetan dan Desa Margawati, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Pakenjeng, Bungbulang and Pameungpeuk. Tahun 1915, RAA Wiratanudatar digantikan oleh keponakan nya yaitu Adipati Suria Karta Legawa (1915–1929). Pada August 14, 1925, dengan keputusan Governor General Belanda, Kota Garut mendapatkan otonomi daerah.

BUPATIGARUT1

Boepati Garoet dipendopo beserta pembantoenja jang doedoek dibawah menundjukan strata kekuasaan didjamannya.(1910)

BUPATI2

KELUARGABUPATI

Boepati Garoet dan istrinja, RA Lasminingrat (pendiri sekolah keoetamaan isteri) beserta keloearga