- Pendahuluan
- Apa Itu “Orang Jawa”?
Pertama, buku ini tidak mengenai seluruh masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Sebagaimana akan dijelaskan dalam pasal II, di antara para pemakai bahasa Jawa dapat dibedakan antara mereka yang secara sadar mau hidup sebagai orang Islam, dan mereka, di samping orang Kristen dan orang Jawa bukan Islam lain, yang walaupun menamakan diri beragama Islam, namun dalam orientasi budaya lebih ditentukan oleh warisan pra-Islam. Kepustakaan antropologis sering bicara tentang orang Jawa-santri dan orang Jawa-abangan. Walaupun kedua golongan itu merupakan orang Jawa sungguh-sungguh, namun dalam buku ini, dibatasi pada orang Jawa dengan orientasi Jawa pra-Islam. Dengan ini tidak mau dikatakan bahwa orang Jawa-Islam tidak menunjukkan banyak dari ciri-ciri yang akan disebut sebagai khas Jawa, melainkan dalam mencari ciri-ciri Jawa itu kami hanya mempergunakan bahan-bahan tentang orang Jawa dengan orientasi dasar pra-Islam.
Namun, kesulitan terbesar dalam penentuan “orang Jawa” bersifat metodologis: apakah ada “si orang Jawa” itu? Lebih dari dua puluh tahun lamanya saya hidup di Jawa dan bersama orang asli Jawa, namun mereka berbeda satu sama lain, semua mempunyai individualitasnya yang kuat, tidak ada yang “khas tipe Jawa”: ada yang polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan ada yang kasar, ada yang berterus-terang dan ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya dan ada yang bekerja fanatik, ada yang tidak berani bertindak sendirian dan ada yang tidak banyak perduli akan sikap kelompoknya. Celaka lagi, sifat-sifat itu juga saya temukan pada orang di Jerman di lingkungan kebudayaan lain. Penelitian-penelitian para ahli pun tidak banyak membantu. Clifford dan Hildred Geertz mengadakan penelitian di sebelah timur Kediri, Koentjaraningrat di daerah Kebumen, Niels Mulder di Yogyakarta, Soetrisno menulis apa yang diharapkan agar dikagumi pada orang Jawa, dan Ben Anderson membaca kepustakaan Jawa; dan seterusnya dan seterusnya.
Oleh karena itu berikut ini saya tidak mencoba untuk mengumpulkan semua data moral masyarakat Jawa dan menyusun suatu sistem etika yang mau dianggap nyata-nyata berlaku di antara semua atau kebanyakan orang Jawa. Sistem homogen semacam itu tidak ada, sebagaimana juga si “orang Jawa” tidak ada. Maka dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk merumuskan suatu saringan deduktif dari paham-paham dan sikap-sikap moral dalam masyarakat Jawa dewasa ini, atau 30 tahuh yang lalu, atau di Jawa “pra-modern”, untuk kemudian menamakannya “etika Jawa”. Saya sama sekali tidak akan mengatakan sesuatu mengenai eksistensi suatu etika Jawa sekarang, atau di salah satu zaman lampau. Melainkan saya memakai cara lain. Dari data yang saya temukan di pelbagai sumber – yang mempunyai bobot dan jangkauan bicara yang cukup berbeda-beda – serta berdasarkan gambaran intuitif saya sendiri, saya mengkonstruksi- kan suatu pula “orang Jawa” dan “masyarakat Jawa” merupakan konstruksi teoretis penulis.
- Apa Itu “Etika”?
Sesudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan “orang Jawa”, maka perlu sekadar dijelaskan apa yang dimaksud dengan “etika” dan bagaimana metode analisis kami. Kata “etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.
Namun dalam buku ini kata etika saya pergunakan dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya”; jadi di mana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil? Kami dengan sengaja tidak menentukan dengan lebih tepat apa yang dimaksud dengan “berhasil”: kenikmatan sebanyak-banyaknya, pengakuan oleh masyarakat, pemenuhan kehendak Tuhan, kebahagia- an, kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kewajiban mutlak, dan sebagainya, atau apa saja.
Maka kepustakaan mengenai masyarakat Jawa saya teliti untuk mencari “fakta-fakta moral”. Dalam “fakta moral” termasuk semua sebuah masyarakat yang memuat jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana hidup manusia dapat berhasil, fakta-fakta yang menyajikan petunjuk-petunjuk paling dasariah kepada individu, atau kelompok- kelompok mengenai bagaimana mereka hendaknya mewujudkan kehidupan mereka.
Dalam data-data itu, saya berusaha untuk mencari rasionalitasnya, untuk menemukan sebuah struktur. Saya susun atau saya konstruksi- kan data-data itu sedemikian rupa, sehingga tanpa dipaksa-paksa, menunjukkan keteraturannya. Dengan demikian fakta-fakta moral itu dapat dipahami. Kita tidak hanya tahu bahwa begitulah paham-paham “etika Jawa”, kita juga mengetahui mengapa paham-paham begitu rupanya. Dari satu pihak, saya berusaha untuk mengemukakan kaitan-kaitan logis-normatif yang terdapat di antara pendapat- pendapat moral supaya anggapan-anggapan moral yang paling fundamental dapat tercapa
i.
B. Pengantar ke dalam Masyarakat Jawa
- Pulau Jawa
Bersama dengan Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, Jawa termasuk apa yang sering disebut Kepulauan Sunda Besar yang merupakan sebagian dari kepulauan Indonesia. Arsipel Indonesia merupakan kompleks kepulauan terbesar di dunia. Arsipel itu terdiri atas lebih dari 13.000 pulau yang mengisi ruang antara dataran Asia Tenggara, Filipina, dan Australia serta menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia. Bagaikan sabuk, pulau-pulau itu mengelilingi khatulistiwa. Secara politik Pulau Jawa termasuk Republik Indonesia. Republik Indonesia terbentang dari ujung barat laut Pulau Sumatra sampai ke selatan Irian Jaya sepanjang kurang lebih 5.400 kilometer, sedangkan lebar utara-selatan kurang lebih 1.900 kilometer. Bahasa nasionalnya, bahasa Indonesia, merupakan perkembangan dari bahasa Melayu dan sebagai bahasa ibu di daerah hanya dipergunakan oleh satu-dua juta orang Indonesia. Semua orang Indonesia lain memakai salah satu dari lebih dari 250 bahasa daerah yang berbeda-beda sebagai bahasa ibu. Kebanyakan bahasa itu termasuk keluarga besar bahasa-bahasa Austronesia. ‘
Pulau Jawa kurang lebih sepanjang 1.100 kilometer dan rata-rata selebar 120 kilometer dan terletak antara derajat garis lintang selatan ke-5 dan ke-8. Dengan 132.187 kilometer persegi (termasuk Madura), Jawa memuat kurang dari tujuh persen dari tanah seluruh Indonesia. Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah yang agak kering khususnya di sebelah selatan pulau, dan cukup banyak gunung berapi yang masih aktif, lima belas di antaranya mencapai ketinggian lebih dari 3.000 meter. Iklim Pulau Jawa adalah tropis. Di dataran rendah suhu rata-rata berkisar antara 26 dan 27 derajat Celcius dan perbedaan antara suhu rata-rata bulanan tertinggi dan terendah itu kurang dari satu derajat. Pada umumnya termometer tidak naik di atas 33 derajat pada siang hari, dan tidak turun di bawah 22 derajat pada malam hari. Kelembaban udara rata-rata bergeser antara 85 persen dalam bulan yang paling basah, dan 73 persen dalam bulan yang paling kering. Makin tinggi makin cepat iklim menjadi moderat dan sangat nyaman.
- Masyarakat Jawa
Semula Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda. Penduduk-penduduk asli Ibukota Jakarta (sekarang hanya kurang lebih sepuluh persen dari seluruh penduduk Jakarta yang lebih dari enam setengah juta orang itu) bicara dalam suatu dialek bahasa Melayu yang disebut Melayu-Betawi. Di bagian tengah dan selatan Jawa Barat dipakai bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian utara dan timur sudah lama dihuni oleh imigran-imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa mereka. Di bagian Jawa lainnya orang bicara dalam bahasa Jawa. Namun bahasa Jawa yang dipergunakan di dataran-dataran rendah pesisir utara Jawa Barat, dari Banten Barat sampai ke Cirebon, cukup berbeda dari bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Di zaman sekarang banyak orang Jawa hidup di pulau-pulau lain sebagai pegawai, anggota ABRI, ahli teknik, guru, tetapi juga sebagai transmigran; untuk sebagian besar mereka tetap mempertahankan bahasa dan adat-istiadat mereka. Zaman sekarang kira-kira terdapat 68 juta orang Jawa.”
Dalam wilayah kebudayaan Jawa sendiri dibedakan lagi antara para penduduk pesisir utara di mana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, daerah-daerah Jawa pedalaman, sering juga disebut “kejawen”, yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dan di samping dua karesidenan ini juga termasuk Karesidenan Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang.
Orang Jawa dibedakan dari kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia oleh latar belakang sejarah yang berbeda, oleh bahasa, dan kebudayaan mereka.
Kebanyakan orang Jawa hidup sebagai petani daerah dataran rendah mereka bercocok tanam padi, di daerah pegunungan mereka menanam ketela dan palawija. Sebagian besar Pulau Jawa bersifat agraris, penduduknya masih hidup di desa-desa. Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah gedeg atau kayu sendiri terdiri atas beberapa kamar, dengan lumbung padi kecil dan kandang, di mana barangkali terdapat seekor kerbau, beberapa ekor kambing, dan ayam. Rumah itu dikelilingi oleh semacam kebun yang biasanya tidak begitu terawat, di mana pohon kelapa dan berbagai tumbuhan sayuran tumbuh bercampur-aduk hasil-hasilnya melengkapi menu makanan sebagian besar terdiri dari nasi atau ketela.
Kecuali dua kota pelabuhan, Surabaya dan Semarang, yang semakin menjadi pusat perdagangan dan industri, perkembangan kota-kota sebagian besar terbatas pada pusat-pusat pemerintahan dan administra- tif, tempat administrasi propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Di kota-kota inilah dulu tinggal sebagian besar dari elite administratif lama, pedagang-pedagang, dan profesi-profesi baru yang berkembang sesudah Perang Dunia II. Yogyakarta dan Surakarta disebut kota kerajaan karena merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan dan pada zaman sekarang tetap menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.
- Ringkasan Sejarah Jawa
- Zaman Pra sejarah
Prasejarah Kiranya kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina Selatan mulai membanjiri Asia Tenggara, disusul oleh beberapa gelombang lagi selama dua ribu tahun berikut. Orang Jawa dianggap keturunan dari orang-orang Melayu gelombang berikut itu. Orang Melayu itu hidup dari pertanian, mereka sudah kenal persawahan. Dengan demikian bentuk organisasi desa mereka sudah relatif tinggi. Garis-garis besar organisasi sosial itu dapat direkonstruksikan dan bertahan sampai sekarang. sekelompok rumah, kadang-kadang ada kandang ternak, dan 39 Desa diketuai oleh kepala desa. Suatu desa terdiri dari dikelilingi oleh sawah, ladang, dan empang-empang, akhirnya oleh hutan dan tanah yang tidak ditanami. Tanah garapan semula merupakan milik desa. Apabila anggota desa membuka tanah melalui pekerjaannya sendiri, ia pribadi berhak atas penghasilannya, tetapi tidak bisa menguasai tanah tanpa izin seluruh desa. Semua warga desa bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan bersama: di masa paceklik orang berkewajiban untuk saling membantu; suatu kejahatan yang dilakukan di wilayah desa menjadi tanggung jawab seluruh desa apabila pelaku tidak bisa diketemukan (bahkan penguasa Belanda tidak berhasil untuk menggantikan paham itu dengan prinsip tanggung jawab individual). Sampai sekarang pemerintah tidak berdaya terhadap desa tanpa kerja sama kepala desa.
Keagamaan orang-orang desa ditentukan oleh kepercayaan bahwa apa saja yang ada berhayat dan berjiwa, bahwa kekuatan-kekuatan alam merupakan ungkapan kekuatan-kekuatan rohani; lagi pula oleh kepercayaan terhadap eksistensi jiwa pribadi manusia yang sesudah kematiannya tetap tinggal di dekat desa dan tetap memperhatikan kehidupannya. Penghormatan terhadap nenek moyang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan desa.” Sumber-sumber sejarah dalam arti yang sebenarnya mengenai Indonesia Purba terdiri dari beberapa potongan tulisan pada batu dan logam (prasasti), dari abad V Masehi, begitu pula dari laporan-laporan Cina mulai dari abad VII, namun data-data geografisnya tidak mudah dapat diartikan.
- Kerajaan kerajan jawa tengah pertama
Pada abad ke VIII terlihat perubahan-perubahan besar dalam struktur politik Kepulauan Indonesia yang mungkin sekali di rangsang oleh hubungan-hubungan religius dan perdagangan dengan daerah Benggala. * Di antara pangeran-pangeran lokal muncul raja-raja yang lebih kuat yang dapat memperluas kekuasaan mereka atas wilayah yang lebih luas. Sanjaya, raja Mataram di wilayah Yogyakarta sekarang, memperluas kedaulatannya ke seluruh Jawa Tengah dan barangkali juga sebagian Sumatra dan Bali. Dari zaman itulah berasal monumen-monumen bangunan Jawa Tengah besar yang pertama,” yaitu candi-candi Siwais di dataran tinggi Dieng. Tidak lama kemudian Jawa Tengah jatuh ke bawah kekuasaan Dinasti Syailendra dari Sumatra yang menganut agama Budha yang sebenarnya tidak perlu kita sebut di sini kecuali karena selama kekuasaan mereka yang hanya berlangsung selama kira-kira enam puluh tahun di sebelah barat Yogyakarta sekarang didirikan stupa Budha terbesar di dunia, yaitu candi Borobudur.
Candi borobudur dibangun mneurut tradisi jawa Kuno sebagai candi yang berteras dan melambangkan alam raya. Teras-teras paling bawah dihiasi dengan ukiran-ukiran dari alam kepercayaan Budhisme Mahayana. Si peziarah yang sambil merenung-renung naik dari teras ke teras, akhirnya di teras-teras tertinggi memasuki wilayah tanpa gambar yang melambangkan pencapaian terang batin dan kebudhaan. “Dengan demikian Borobudur merupakan mandala raksasa dalam batu, suatu lingkaran mistik yang di samping fungsi simbolisnya, sekaligus memiliki kekuatan nyata yang dapat menghasilkan bagi kaum beriman apa yang dilambangkan itu”.” Mungkin juga bahwa candi Borobudur sekaligus masih mempunyai maksud lain, yaitu menjadi makam monumental bagi Raja Syailendra yang berkuasa. Kalau begitu maka candi Borobudur merupakan kesaksian pertama bagi kemampuan kebudayaan Jawa yang mengambil alih agama-agama asing untuk diabdikan dari dalam bagi kepentingan-kepentingannya sendiri, artinya untuk menjawakannya. Tendensi jawanisasi juga nampak dalam penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa kuno dan dalam perkembangan huruf-huruf Jawa yang mulai pada waktu itu.”
Dalam abad IX, Jawa Tengah kembali menganut agama Siwa. Penguasa-penguasanya menamakan diri Raja Mataram. Bangunan terbesar dari zaman itu ialah kompleks candi Larajonggrang di Prambanan dekat Yogyakarta yang terdiri dari tiga candi utama yang diperuntukkan bagi dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu yang berhadapan dengan tiga candi yang lebih kecil; keseluruhannya dikelilingi oleh . candi kecil. Ukiran-ukiran candi Siwa diambil dari kisah Ramayana. Juga candi Larajonggrang sekaligus dimaksud sebagai candi pemakaman bagi raja-raja Mataram. Kecuali itu mungkin juga bahwa kompleks candi-candi itu memenuhi fungsi suatu candi kerajaan. Kedua kemungkinan itu akan merupakan tanda khas tentang ciri Jawa Hinduisme pada waktu itu.
Dalam abad X, Jawa Tengah secara mendadak hilang dari peta politik. Titik berat politik Pulau Jawa berpindah ke Timur, ke lembah Sungai Brantas. Apa yang menjadi alasan bagi perpindahan mendadak itu tidak kita ketahui. Yang pasti ialah bahwa Sindok, raja Jawa Timur yang pertama, tetap memakai gelar Raja Mataram.
- Kerajaan-kerajaan Jawa Timur
Pertama Sesudah tahun seribu, seluruh Jawa Timur dipersatukan dalam suatu kerajaan oleh Raja Airlangga (1019-1049). Pusat kerajaannya ialah kota Kediri, Jawa Timur, yang kemudian dalam sejarah Jawa selalu memainkan lawan terhadap kekuasaan yang ada. Tentang Airlangga diceritakan bahwa sebelum mencapai kekuasaan, ia bertahun-tahun lamanya mengembara di hutan untuk mencapai ke- saktian. Maka tidak mengherankan bahwa pada zaman pemerintah- annya diciptakan Arjuna Wiwaha Kakawin, saduran Jawa dari suatu ceritera dari Mahabarata India di mana Arjuna harus bertapa di hutan bertahun-tahun lamanya untuk mencapai kekuatan batin. Paralelisme antara Arjuna dan Airlangga menyolok. Seni sastra di kraton-kraton Jawa bukan suatu peristiwa literaris saja, melainkan merupakan kegiatan penuh kekuatan gaib: dengan tindakan penulisan apa yang ditulis itu menjadi realitas. Dalam si penyair menceriterakan tindakan-tindakan besar Arjuna, Raja Airlangga bertambah kesaktiannya.
Mulai zaman itu Jawa Timur diolah secara intensif dan semakin padat penduduknya. Sebagai kekuatan dagang, Jawa Timur berhasil mengungguli Sriwijaya di Sumatra dalam persaingan dagang. Tuban dan kota-kota lain di pantai Utara Jawa berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang semakin jaya, yang mempunyai hubungan dengan seluruh Kepulauan Indonesia. Ternate di daerah Maluku mengakui kekuasaan Kediri, begitu juga Bali.
Di antara raja-raja Kediri yang termasyur adalah Jayabaya yang memerintah antara tahun 1135 sampai 1157. Di bawah beliau pujangga kraton, Mpu Sedah, menerjemahkan sebagian dari Epos India Mahabarata ke dalam bahasa Jawa dengan nama Baratayuda. Karya ini sampai sekarang merupakan sumber utama bagi wayang Jawa. Jauh kemudian, dalam abad XVIII, Raja Jayabaya dipergunakan sebagai pemaklum ramalan-ramalan Ratu Adil yang meramalkan bahwa Pulau Jawa akan mengalami masa kekacauan, tetapi akhirnya akan dibawa ke kebesaran baru oleh Sang Ratu Adil Herucakra. Ramalan-ramalan ini dalam abad XIX mempunyai pengaruh besar atas kesadaran politik di Jawa dan berulang-ulang terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil di bawah pemimpin-pemimpin yang menganggap diri sebagai Ratu Adil. Juga pemberontakan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta yang melibatkan pihak Belanda dalam suatu perang dari 1825-1830 yang hanya dengan susah payah dan melalui tipu-muslihat dapat mereka akhiri, didorong oleh harapan-harapan akan Ratu Adil.
Suatu usaha raja Kediri yang terakhir pada tahun 1222 untuk menempatkan para pendeta ke bawah kontrol langsung dari raja, gagal; ia jatuh dan diganti oleh suatu dinasti Jawa Timur baru yang berkedudukan di Singasari dekat Malang. Raja terbesar dinasti itu adalah raja yang terakhir, Pangeran Kertanagara yang berkuasa dari tahun 1268-1292. Ia dipandang sebagai penuh kekuatan-kekuatan gaib yang luar biasa. Dikatakan, bahwa untuk menambah kesaktiannya berhadapan dengan ancaman pemimpin Mongol, Kublai Khan, maka pada umur 21 tahun ia menjalani suatu upacara pentahbisan gaib. Dikatakan juga, bahwa ia dapat memperluas kekuasaannya sampai daratan Asia, suatu anggapan yang oleh kebanyakan ahli sejarah dipandang dengan skeptis. Yang pasti ialah bahwa ia memperlakukan para utusan Kublai Khan yang menuntut agar ia tunduk pada Kublai Khan, dengan cara menghina.
- Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit, kerajaan yang paling berkuasa dalam sejarah Jawa, lahir dalam lindungan angin serangan tentara Mongol. Pangeran Wijaya-anak mantu Kertanagara-berhasil memperoleh bantuan Mongol untuk melawan Kediri. Sesudah tentara Mongol merusakkan kota Kediri, Pangeran Wijaya menjauhkan diri dari mereka, dan melibatkan mereka dalam suatu perang gerilya sehingga mereka untuk selamanya meninggalkan Tanah Jawa. Sebagai pembebas dari kaum Mongol, Pangeran Wijaya mendirikan dinasti Majapahit pada tahun 1293. Wijaya memulai kembali politik ekspansi Kertanagara. Walaupun beberapa pangeran yang telah tunduk pada Singasari berontak terhadap Majapahit, namun Wijaya berhasil untuk terus memperluas wilayahnya. Di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Gajah Mada yang dari tahun menjadi patih kerajaan, Majapahit mencapai peluasannya yang paling besar walaupun para ahli tidak sependapat mengenai luas wilayah yang nyata-nyata dikuasai Majapahit; namun pada umumnya diterima bahwa Majapahit menguasai seluruh Tanah Jawa dan Bali, begitu pula kekuasaannya diakui oleh kerajaan-kerajaan, pesisir terpenting di Kepulauan Indonesia.
Sementara itu, situasi keagamaan di Jawa berkembang terus. Perbedaan antara Budhisme dan Siwaisme praktis hilang. Agama resmi merupakan suatu bentuk sinkretisme tantrik, agama Siwa-Budha. Semua jalan ke arah penebusan pada prinsipnya dianggap sama.” Juga bentuk-bentuk ibadat Siwaisme dan Budhisme berjalan secara berdampingan, “orang bijaksana memahami bahwa (Siwaisme dan Budhisme) hanya merupakan ungkapan sama, yang pada hakikatnya identik.
Sekaligus ide-ide Jawa asli semakin kuat muncul kembali, tetapi bukan dengan melawan melainkan dengan melalui bentuk-bentuk India. Suatu contoh khas adalah ceritera tentang kakak-beradik Gagang Aking (“jerami kering”) dan Bubuksyah (“pemakan banyak”) yang sekarang pun, katanya, masih diketahui orang. mencari ilmu tertinggi, kedua-duanya menarik diri ke pegunungan. “Yang satu mengikuti aturan agama Siwa: ia bertapa dan bersemadi, tidak makan daging dan makanan najis lainnya. Yang satunya adalah penganut agama Budha. Baginya tidak ada larangan-larangan: ia makan dan minum sampai jauh malam; ia menangkap dan membunuh binatang. Dewa tertinggi mengutus seekor harimau putih untuk menguji mereka dan untuk meneliti kemajuan mereka dalam usaha mencapai kesempurnaan. Sang harimau minta makanan dari kakak-beradik itu, tetapi hanya mau menerima daging manusia. Gagang Aking berusaha mengelak dengan menunjuk pada kekurusannya; menurut dia, kakaknya jauh lebih cocok untuk menjadi makanan. Adiknya, penganut agama Budha, bersedia untuk itu. Sesudah kesediaannya dicoba secukupnya, harimau membawa Bubuksyah di atas punggungnya ke surga yang tertinggi. Gagang Aking memang boleh ikut dengan berpegang pada buntut harimau, tetapi di surga harus puas dengan tempat yang jauh lebih rendah”.59 Dalam kisah tentang kesatuan kedua kutub Siwaisme dan Budhisme itu, barangkali muncul kembali suatu mitos suku Indonesia Kuno. Menurut mitos itu suku terbelah dalam dua bagian. Kedua bagian saling bersaing, tetapi sekaligus bersatu secara tak terpisahkan. Menurut artian dimana kisah yang berat sebelah ke arah Budhisme itu, Siwais terpahat dalam ukiran batu (pada salah satu candi kompleks Penataran dari abad XIV) sebenarnya merupakan punden suku, “suatu pusat kebudayaan yang mewakili seluruh masyarakat dan dengan demikian merangkum kedua belah bagiannya”. Bahwa di zaman Majapahit unsur-unsur Indonesia Kuno.semakin muncul kelihatan juga dalam arsitektur candi-candi dan dalam ukiran-ukiran batu, dan nampak juga karena banyak patung dewa zaman Singasari dan Majapahit merupakan apa yang disebut patung.
C.Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup
Dalam pasal-pasal sebelumnya kami telah berusaha untuk menggaris- kan struktur etika Jawa. Dalam pasal ini pelbagai segi etika itu mau diutarakan secara khusus dengan tujuan untuk menangkap ciri khas teoretis etika Jawa dengan lebih tajam. Untuk itu hasil-hasil penelitian sampai sekarang kami tempatkan dalam kerangka suatu analisis filosofis.
Mari kita mulai dengan merangkum sekali lagi hasil penelitian kita sampai sekarang. Kita bertolak dari pengandaian bahwa orang Jawa secara prinsipil diharapkan untuk menjaga keselarasan sosial. Itu dilakukannya dengan mencegah timbulnya konflik-konflik dan dengan menghormati kedudukan dan pangkat semua pihak dalam masyarakat. Tuntutan itu dapat dimengerti pada latar belakang suatu anggapan bahwa keselarasan dalam masyarakat berhubungan erat dengan keselarasan kosmis: kedua-duanya saling mengandaikan. Dari keselarasan kosmos tergantung keselamatanku sendiri. Maka untuk menjamin keselamatannya manusia harus melakukan apa yang bisa dilakukan dan itu berarti, ia tidak mengganggu gugat keselarasan masyarakat. Namun keselarasan itu baru sempurna apabila diimbangi dan ditunjang oleh keselarasan batin. Demi tujuan itu manusia harus mengontrol hawa napsunya dan dalam batinnya mengembangkan sikap sepi ing pamrih. Berdasarkan sikap itu manusia dapat dengan tenang dan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya oleh pangkat dan nasibnya (ramé ing gawé). Dengan sikap itu manusia mencapai suatu keadaan psikis yang disebut slamet, yaitu ketenangan batin, ketenteraman dan rasa aman. Dengan demikian keselarasan dalam alam luar sesuai dengan keadaan slamet dalam batin manusia.
Oleh karena itu pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat. Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing pamrih berarti menerima tempatnya sendiri, dan memenuhi kewajiban berarti melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya dalam kosmos. Maka tuntutan moral kongkret secara hakiki bersifat relatif karena ditentukan oleh tempat masing-masing individu. Setiap individu harus melakukan kewajiban-kewajiban khas yang ditentukan baginya oleh kedudukan- nya dalam masyarakat dan oleh nasibnya.
Akan tetapi supaya individu dapat bersikap sesuai dengan tempat kosmisnya, diandaikan bahwa ia mengetahui kewajiban-kewajiban yang mengalir daripadanya. Pengetahuan itu pertama-tama diperoleh- nya dari empat sumber lahiriah, yaitu tuntutan adat-istiadat, tata krama, hirarki dan kerukunan. Namun itu tidak cukup. Bahwa manusia memahami ia memang harus hidup sesuai dengan kewajiban-kewajiban itu, jadi agar ia, begitu dapat kita katakan, harus bersikap moral, hanya dapat diketahuinya dari batinnya sendiri. Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam råså. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin bersatu ia dengan kekuatan- kekuatan İlahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.
- Etika dan Pengertian
Rasa adalah kategori pengertian. Rasa pertama-tama berkembang dalam suasana keluarga inti yang secara ideal bebas dari tekanan dan paksaan, dalam lingkungan keluarga luas dan di antara para tetangga. Di sini orang Jawa mengembangkan kepercayaan dasar ke dalam kelompoknya, di sini berkembang padanya kepekaannya untuk reaksi-reaksi sesamanya, di sini ia mulai mengenal rasa takut terhadap dunia luar yang berbahaya, di sini tumbuhlah di dalamnya sikap-sikap moral dasar seperti kejujuran, kesediaan untuk menolong dan rasa keadilan, di sini ia membatinkan perintah dasar untuk mencegah konflik-konflik sebagai sesuatu yang positif dan belajar untuk memahami struktur hirarkis masyarakat. Dalam proses pertumbuhan ini sikap hidupnya sejak semula distrukturasikan menurut kategori tempat: ia mengalami perbedaan antara dalam (kepercayaan, kehangatan, keakraban, keamanan) dan luar (rasa hormat, malu, sungkan, jarak, bahaya-bahaya); ia belajar untuk membedakan kedudukan-kedudukan dan pangkat-pangkat yang berbeda dalam masyarakat dan bahwa individu ditentukan oleh kedudukan dan pangkat itu. Ia belajar untuk membedakan kewajiban-kewajiban menurut kedudukan masing-masing dalam masyarakat. Di sini ia menginternalisasikan tuntutan-tuntutan tata krama dan adat istiadat. Dengan demikian berkembanglah rasa-nya. Melalui rasa-nya ia tahu bagaimana ia harus membawa diri dan kelakuan yang seşuai menjadi kebiasaannya.
Di sini kelihatan ciri pertama ețika Jawa: di dalamnya unsur pengertian sangat ditekankan. Segala-galanya tergantung dari apakah orang mengetahui tempat sosial dan dengan demikian tempat kosmisnya. Siapa yang mengetahuinya akan juga bertindak dengan betul, dan siapa yang bertindak salah rupa-rupanya tidak mengetahui tempatnya atau situasi kosmisnya. Tekanan pada unsur pengertian juga nampak, seperti telah kita lihat, dalam paham orang Jawa tentang kelakuan yang salah sebagai kekurangan pengertian (durung ngerti). Yang di sini menyolok bukanlah fakta itu sendiri bahwa dalam etika Jawa pengertian memainkan Di terdapat etika, tentu juga terdapat peraturan-peraturan, dan hanya orang yang mengetahui- nya bisa memenuhi tuntutan-tuntutannya. Yang khusus dalam etika Jawa ialah eksklusivitas yang dimiliki oleh unsur pengertian di dalamnya. Bukan hanya bahwa kelakuan yang betul mengandaikan pengetahuan tentang norma-norma moral, melainkan pengertian yang betul sudah menjamin tindakan yang betul juga. Siapa yang mengikuti hawa napsunya atau hanya meêngejar kepentingan egoisnya sendiri, berbuat demikian bukan karena ia tidak mau, melainkan karena ia belum mencapai pengetahuan yang betul. Kehendak sebagai kemampuan yang berbeda dari pengertian oleh orang Jawa tidak banyak diperhatikan. Kita misalnya melihat bagaimana anak Jawa sedapat-dapatnya dijauhkan dari pengalaman-pengalaman frustrasi selama anak itu belum dapat mempergunakan akal budinya, di mana yang terakhir itu diukur pada kemampuan anak untuk memahami hubungannya terhadap dunia luar. Begitu pula penguasaan diri di bidang seksual dianggap di luar kemampuan individu biasa sehingga pengawasan sosial harus semakin ketat. Etika Jawa adalah etika pengertian karena kelakuan yang tepat dianggap sudah terjamin oleh pengertian yang betul sedangkan di samping itu kehendak tidak diberi perhatian.
- Bukan Masalah aksi
Bahwa dalam pandangan Jawa sikap dasar moral, atau benar, dengan sendirinya menjamin kelakuan yang tepat, sedangkan etika-etika Barat sangat mementingkan latihan kehendak untuk melaksanakan apa yang dipahami sebagai kewajiban moral oleh akal budi, nampak juga dari ciri khas kedua etika Jawa: tujuan terakhir etika ini bukanlah suatu aksi. Sebagaimana telah kita lihat, etika Jawa memang menuntut agar setiap orang memenuhi kewajiban-kewajiban pangkat dan kedudukan- nya. Setiap orang harus melakukan apa yang ditugaskan kepadanya oleh kedudukan sosialnya dan oleh nasib pribadinya dalam dunia. Etika Jawa bukan suatu etika kemalasan. Tetapi tindakan yang dituntut itu bukanlah suatu aksi, bukan suatu gerakan ke luar dari diri sendiri, dan tujuannya bukanlah suatu perubahan kategoris terhadap dunia. Etika Jawa tidak bermaksud untuk mengubah dunia yang ada menjadi dunia lain yang lebih baik.
Sebagaimana telah diutarakan, perubahan semacam itu menurut pandangan dunia Jawa tidak berada dalam jangkauan kekuatan manusia, bahkan sama sekali tidak berada dalam perspektifnya. Dunia adalah suatu keadaan, walaupun suatu keadaan dinamis. Kekuatan-kekuatan yang sebenarnya bergiat di dalamnya bersifat gaib dan tidak kelihatan dan kadang-kadang dipersonifikasikan sebagai roh-roh, tetapi akhirnya hanya merupakan ungkapan dari energi kosmis yang satu itu yang mengerjakan segalanya dalam segalanya. Berkat energi kosmis itu setiap unsur dalam dunia mempunyai gerakan-gerakan tertentu, dan dengan melakukan gerakan-gerakan itu keseluruhannya tetap tenang dan tetap sama. Jadi gerakan-gerakan itu tidak mengubah relasi-relasi antara dunia, melainkan justru mempertahankannya. Paham itu dapat kita bandingkan dengan gerakan bintang-bintang di langit: konstelasi mereka tetap dalam keselarasan total justru karena setiap badan di langit mempertahankan jalurnya, jadi bergerak. Dalam arti ini melaksanakan keutamaan-keutamaan masing-masing tidak berarti lain daripada mengikuti garis dunia yang sudah digariskan bagi siapa saja, mirip dengan kapal angkasa yang sesudah ditembakkan ke dalam ruang angkasa dan mesin roket-roket dimatikan mempertahankan gerakan dan arahnya, tanpa suara dan dalam keselarasan sempurna dengan semua kekuatan alam raya.
Oleh karena itu pemenuhan kewajiban tidak boleh dipahami sebagai aksi dalam arti bahwa lingkungan mau diubah secara definitif, melainkan berarti kecocokan sempurna dalam keselarasan keseluruhan, bagaikan sebatang pohon yang mengambang di atas sebuah sungai. Apabila pun tindakan dalam dunia menghasilkan suatu perubahan positif maka perubahan itu sebenarnya tidak mengubah sesuatu melainkan mengembalikan keselarasan. Dan sebaliknya, orang yang tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, entah karena ia bertindak salah, entah karena ia tidak berbuat apa-apa, merupakan gangguan terhadap keselarasan sosial dan kosmis.
- Kedudukan Keutamaan-keutamaan Moral
Etika Jawa memperlihatkan diri sebagai etika pengertian. hubungan ini timbul pertanyaan mengenai kedudukan keutamaan- keutamaan moral dalam etika ini. Dengan keutamaan moral saya maksud di sini sikap-sikap kehendak yang tetap untuk bertindak secara moral, artinya menurut norma-norma moral dasar. Kita bertolak dari problematika yang telah muncul dalam hubungan dengan prinsip-prinsip keselarasan sosial. Sebagaimana kita lihat, tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk selalu menunjukkan sikap hormat yang tepat amat penting dalam pengaturan tata pergaulan masyarakat Jawa. Masyarakat sangat mengharapkan agar keselarasan dalam masyarakat dipertahankan, dan untuk itu perlu dipelihara suasana rukun serta diakui tempat setiap pihak di dalamnya.
Mengapa keselarasan sedemikian dijunjung tinggi dapat dipahami latar belakang pandangan dunia Jawa tradisional. Menurut pandangan itu kekuatan-kekuatan yang sebenarnya bersifat gaib. Semua unsur dalam dunia mengikuti jalur-jalur yang telah ditentukan dan suatu usaha untuk mengubah jalan dunia adalah sia-sia. Maka mengubah dunia sekehendak manusia tidak terletak dalam kemam- puannya. Dunia harus diterima scadanya. Manusia hanya dapat menjaga keselarasan dan keseimbangan dan dengan demikian ia menyumbang terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu suatu idealisme moral yang mempunyai cita-cita tinggi untuk memperbaiki masyarakat dan dunia serta merasa bertanggung jawab untuk mengambil pelbagai sikap yang bertentangan dengan keselarasan tidak masuk akal dan hanya akan menimbulkan gangguan, juga bagi mereka yang mau dibantu atau dimajukan dengan cita-cita tinggi itu. Tak mungkin saya mengubah dunia menurut cita-cita saya seenaknya. Saya hanya dapat menyumbang pada keadaan yang lebih tenteram, adil dan sejahtera dengan memenuhi kewajiban yang ditentukan bagi saya menurut aturan masyarakat, jadi dengan mempertahankan kerukunan dan mengakui kedudukan semua pihak dalam tatanan sosial. Hanya dengan menjaga keselarasan saya dapat memajukan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu norma-norma moral, juga yang tertinggi, tidak pernah berlaku kategoris. Satu pun jangan dilebih-lebihkan, jangan dipaksakan mati-matian, atas nama norma dasar apa pun tidak dibenarkan untuk melibatkan diri seratus persen, untuk kehilangan dan pandangan bagi keseluruhan.
Usaha bersemangat demi untuk mewujudkan cita-cita luhur yang dimutlakkan dan melebihi ukuran yang ditentukan oleh kewajiban-kewajiban sosial yang terkena pada kedudukan seseorang, bagi orang Jawa merupakan percobaan yang kurang estetis dan terutama bodoh untuk melampaui batas-batasnya sendiri, suatu usaha yang hanya dapat menyebabkan ketidaktenangan dan perasaan kaget yang tidak diinginkan. Atas nama keutamaan- keutamaan atau demi tanggung jawab terhadap sesama pun tidak dibenarkan untuk memutlakkan tindakannya sendiri karena bagaimana pun juga tidak mungkin untuk membantu satu sama lain melebihi kemungkinan-kemungkinan yang selalu sudah ditentukan oleh keseluruhan
SUMBER : Franz Magnis, ETIKA JAWA, – Suseno SJ Etika Jawa PT. Gramedia, Jakarta Jakarta 1984
.