Archive for the ‘BUDAYA SULAWESI’ Category

Pada postingan kemarin mengenai Budaya Bugis dalam La Galigo : Alur Teks Dalam Epik La Galigo terdapat 3 tempat yang menjadi cerita utama pada epos la galigo ini. Ketiga tempat tersebut mencakup :
1.Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang Dilakukan Oleh We Tenriabeng)
2.Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang terjadi Dibumi)
3.Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut)

Ternyata tempat tersebut bukan hanya sekedar menjadi dekor termpat berlangsungnya para tokoh didalam epos la galigo. Tetapi tempat-tempat tersebut juga mempunyai fungsi-fungsi indeksikal bagi aktifitas kehidupan manusia bugis

Dunia Makro-Mikrokosmos Orang Bugis

Dari bagan diatas terlihat bagaimana posisi ketiga dunia makro-mikrokosmos diatas tertata dalam bentuk bersusun tiga. Itu berarti eksistensi keberadaan mikrokosmos berada ditengah-tengah yang diatur dan di Kontrol oleh dunia atas dan dunia bawah. Agar dunia atas dan dunia bawah dapat memberikan kemakmuran bagi dunia tengah, maka manusia yang menghuni dunia tersebut harus tunduk dan patuh terhadap tatanan yang ada dalam dunia makrokosmos.
Dari sinilah berpangkal pandangan makro-mikrokosmos orang bugis yang memandang dunia ini menjadi 3 lapiran. Konsep tersebut berada dalam kesatuan kosmos yang stukturan dan fungsional.

Konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji Orang Bugis

Pandangan kosmogoni orang bugis ini dengan apa yang disebut konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji (Segi Empat Belah Ketupat). Konsep Sulapaq Eppaq adalah filsafat tertinggi orang bugis yang menjadi seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya.
Wujud Konsep Sulapaq Eppaq juga dapat dilihat dalam bentuk manusia

Sumber: Ahmad Maulana

Pulau Sulawesi atau yang pada zaman dahulu terkenal juga dengan sebutan Celebes ini, selain memiliki kekayaan alam yang begitu melimpah baik berupa panorama yang menyejukkan pandangan, aneka marga satwa yang lengkap, bahkan beberapa diantaranya merupakan binatang langka dan endemic yang hanya hidup di Pulau ini seperti burung Maleo, Cuscus, Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum), dan aneka fauna yang demikian lengkap baik itu aneka bunga, sayur mayur dan juga berbagai variasi buah-buahan.

Tanah yang subur nan eksotis ini saja sudah cukup membuat kagum setiap siapa pun yang berkunjung ke tempat ini, terlebih lagi budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang penduduk setempat masih senantiasa lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang senantiasa mereka pegang dan jalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak terpenting dari keseharian mereka. Maka dari itu, sudah tak disangsikan lagi dengan kombinasi variasi yang luar biasa dalam bidang panorama dan cara kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi yang unik akan memikat pengunjung dari luar.

Nah, pada kesempatan kali ini, Budaya Nusantara akan mengulas secara singkat apa-apa saja budaya dan kearifan lokal masyarakat Minahasa yang sampai saat ini masih tetap lestari di tengah-tengah kehidupan mereka, terutama pada dan untuk upacara-upacara adatnya.

1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang biasa dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam upacara adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan (dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.

2. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat, atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut: Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh ibu-ibu tiap rumah.

3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap pencipta-Nya.

4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata mufakat dan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya monopoli beberapa kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang tanpa makna. Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya. Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan. Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas. Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888 melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata penggalian berhasil menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa yang harus bicara, serta cara beribadat.

Sementara inti dari upacara yang diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang, penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.

*****

Sebenarnya masih ada dua jenis upacara lainnya di Minahasa yang menarik untuk dipelajari, yakni upacara pernikahan dan upacara kematian. Tapi karena kedua upacara tersebut memiliki tahap-tahap yang lumayan panjang, maka Budaya Nusantara memutuskan untuk membahasnya pada artikel tersendiri saja agar lebih mudah dimengerti. Semoga bermanfaat….

Perjalanan dari Makasar atau Ujung Pandang ke Toraja dengan melewati jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan. Setelah memasuki Tana Toraja, anda mulai memasuki pamandangan alam yang penuh dengan keagungan. Batu grafit dan batuan lainnya, serta birunya pegunungan di kejauhan setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang sedang beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang rumput yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini adalah Tana Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
 Tana Toraja -Tanah Kerajaan Surga

Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkanan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayit. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.

Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.

Menuju Kesana

Perjalanan Udara
:
Dimulai dari lapangan terbang Hassanudin. Makasar atau Ujung Pandang, Proses ke Tana Toraja melalui lapangan terbang Rantepao didekat Makle, 24 Km arah selatan dari Rantepao dan dari sana akan ada layanan bus ke kota.

Perjalanan Darat:
bus ke Rantepao ke Ujung Pandang tiap harinya memakan waktu perjalanan selama kurang lebih 8 jam termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari terminal Bus Panaikan.20 menit keluar dari kota dengan menggunakan Bemo. Bus ini biasanya pergi pada pagi hari ( jam 7 pagi) Siang Hari ( jam 1 siang) dan pada malam hari (jam 7 malam). Beberapa perkumpulan di Rantepao kembali ke Ujung Pandang lagi. Basanya bus yang berangkat disesuaikan dengan jumlah penumpang.

 Tana Toraja -Tanah Kerajaan Surga

Tempat Tinggal

Wisatawan yang ingin tinggal di tengah kota memiliki banyak pilihan hotel. Tapi jika memiliki jiwa petualang, anda bisa tidur di desa bersama masyarakat sekitar.

Mengunjungi Tempat Lain

Bemo adalah cara terbaik untuk mengetahui daerah sekitar. Selain jenis yang lain (bus kecil atau jeep) dengan atau tanpa supir. Jika anda telah di desa anda bisa berjalan kaki untuk mengelilingi semua.

Hal Lain Yang Dapat Dilihat Dan Dilakukan

Menjelajahi pasar. Anda jangan sampai ketinggalan untuk mengunjungi pasar tradisional. Disini anda akan menemukan biji kopi khas Toraja (seperti Robusta dan Arabica) dan beberapa barang khas lainnya seperti buah-buahan (Tamarella atau Terong Belanda dan ikan mas).

Mengunjungi batu Tomongaartinya dalah batu yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa melihat banyaknya batuan vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan beberapa batu raksasa yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan menjadikan Tana Toraja terlihat subur dan hijau.

Mengunjungi Palawa. Palawaadalah tempat yang bagus untuk dikunjungi. Dimana ada sebuah Tongkonan atau kawasan penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival.Lakukan perjalanan dari Rantepao ke Kete. Desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran orang hidup.

 Tana Toraja -Tanah Kerajaan Surga

Tempat Makan

Kebanyakan anda dapat menemukan warung makan dilokasi ini, di sepanjang jalan. Anda juga dapat membawa makanan sendiri.

Tips Oleh-Oleh

Disana ada toko cinderamata dimana anda dapat membeli segala sesuatu yang khas dari Tana Toraja, ada pakaian, tas, dompet, dan kerajinan tangan lainnya.

Tips Melakukan Perjalanan

  • Pengunjung diperbolehkan mengunakan pakaian adat setempat dan akan diberikan hadiah seperti rokok atau kopi kapan pun memasuki Tongkonan
  • Jalanan tidak selalu aspal. Sering dilewati Jeep dan lainnya. Walaupun cuaca bagus. Jadi berhati-hatilah
  • Hati-hati dengan kepala anda ketika memasuki Tongkonan, rumah khas Toraja
  • Enrekang, Makale, dn tanah tinggi Toraja terbuat dari pecahan batu Vulkanik. Berhenti sebentar dan ambil foto disana. Atau anda akan menyesal.
Sumber : Dept. Kebudayaan dan pariwisata (www.budpar.go.id)


Sureq Galigo, atau Galigo, atau disebut juga La Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan (sekarang bagian dari Republik Indonesia) yang ditulis diantara abad ke-13 dan ke-15 dalam bentuk puisi bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara kuno Bugis. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.

Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar.

Latar belakang dan usaha pelestarian

Ada dugaan pula bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik Mahabharata dari India. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarawan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.

Versi bahasa Bugis asli Galigo sekarang hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Sejauh ini Galigo hanya dapat dibaca dalam versi bahasa Bugis aslinya. Hanya sebagian saja dari Galigo yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan tidak ada versi lengkapnya dalam bahasa Inggris yang tersedia. [1] Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah muka surat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000, tidak termasuk simpanan pribadi pemilik lain.

Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara luas setelah diadaptasi dalam pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara internasional sejak tahun 2004.

Isi hikayat La Galigo

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sureq_Galigo


Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, 29 November 2002 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu.

Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya. Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya

Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri.

Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas (botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.

Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu, Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan (hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa.

Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya.

Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia.
Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.

Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan
kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).

Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, al 106).

Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).

Konflik dengan Islam?

Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.

Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan (tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.

Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.

Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi
diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Sumber :http://forum.vivanews.com/

Etnis Sulawesi Tenggara

Posted: 17 Oktober 2010 in BUDAYA SULAWESI
Tag:

 

Wilayah provinsi Sulawesi Tengah, sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat.

Semenjak tahun 1905, wilayah Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan Di Timur dan Delapan Kerajaan Di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain:

  1. Poso Lage di Poso
  2. Lore di Wianga
  3. Tojo di Ampana
  4. Pulau Una-una di Una-una
  5. Bungku di Bungku
  6. Mori di Kolonodale
  7. Banggai di Luwuk
  8. Parigi di Parigi
  9. Moutong di Tinombo
  10. Tawaeli di Tawaeli
  11. Banawa di Donggala
  12. Palu di Palu
  13. Sigi/Dolo di Biromaru
  14. Kulawi di Kulawi
  15. Tolitoli di Tolitoli

Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah menjadi 3 (tiga) bagian yakni:

  1. Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi.
  2. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja.
  3. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau.

Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah.

Dengan perkembangan Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai Kepulauan. Kemudian melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2 Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una. Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1 kota.

Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa sungai, diantaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai arena arung jeram, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Juga terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu.

Sulawesi Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam, suaka margasatwa dan hutan lindung yang memiliki keunikan flora dan fauna yang sekaligus menjadi obyek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis.

Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut.

Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnis atau suku, yaitu:

  1. Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
  2. Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
  3. Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
  4. Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
  5. Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
  6. Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
  7. Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
  8. Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
  9. Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
  10. Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
  11. Etnis Bare’e berdiam di kabupaten Touna
  12. Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
  13. Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
  14. Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
  15. Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
  16. Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
  17. Etnis Dondo berdiam di [Dondo[kabupaten Tolitoli]]
  18. Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
  19. Etnis Dampelas berdiam di [[kabupaten Donggala]

Disamping 12 kelompok etnis, ada beberapa suku hidup di daerah pegunungan seperti suku Da’a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari.

Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Suku pendatang yang juga banyak mendiami wilayah Sulawesi Tengah adalah Bugis, Makasar dan Toraja serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen, Hindu dan Budha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari kehidupan masyarakat.

Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama. Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.

Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu.

[sunting] Budaya

Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh agama.

Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk, dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.

Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan.

Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.

Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.

[sunting] Kesenian

Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik tradisional memiliki instrume seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat – waino – musik tradisional – ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.

Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.

[sunting] Agama

Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduk memeluk agama Islam, 24.51% memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu dan Budha. Islam disebarkan di Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera Barat dan diteruskan oleh Said ldrus Salim Aldjufri – seorang guru pada sekolah Alkhairaat.

Agama Kristen pertama kali disebarkan di kabupaten Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda A.C Cruyt dan Adrian.

[sunting] lklim

Garis khatulistiwa yang melintasi semenanjung bagian utara di Sulawesi Tengah membuat iklim daerah ini tropis. Akan tetapi berbeda dengan Jawa dan Bali serta sebagian pulau Sumatera, musim hujan di Sulawesi Tengah antara bulan April dan September sedangkan musim kemarau antara Oktober hingga Maret. Rata-rata curah hujan berkisar antara 800 sampai 3.000 milimeter per tahun yang termasuk curah hujan terendah di Indonesia.

Temperatur berkisar antara 25 sampai 31° Celsius untuk dataran dan pantai dengan tingkat kelembaban antara 71 sampai 76%. Di daerah pegunungan suhu dapat mencapai 16 sampai 22′ Celsius.

[sunting] Flora dan Fauna

Sulawesi merupakan zona perbatasan unik di wilayah Asia Oceania, dimana Flora dan Faunanya berbeda jauh dengan Flora dan Fauna Asia yang terbentang di Asia dengan batas Kalimantan, juga berbeda dengan Flora dan Fauna Oceania yang berada di Australia hingga Papua dan Pulau timor. Garis maya yg membatasi zona ini disebut Wallace Line, sementara kekhasan Flora dan Faunanya disebut Wallacea, karena teori ini di kemukakan oleh Wallace seorang peneliti Inggris yang turut menemukan teori evolusi bersama Darwin. Sulawesi memiliki flora dan fauna tersendiri. Binatang khas pulau ini adalah anoa yang mirip kerbau, babirusa yang berbulu sedikit dan memiliki taring pada mulutnya, tersier, monyet tonkena Sulawesi, kuskus marsupial Sulawesi yang berwarna-warni yang merupakan varitas binatang berkantung, serta burung maleo yang bertelur pada pasir yang panas.

Hutan Sulawesi juga memiliki ciri tersendiri, didominasi oleh kayu agatis yang berbeda dengan Sunda Besar yang didominasi oleh pinang-pinangan (spesies rhododenron). Variasi flora dan fauna merupakan obyek penelitian dan pengkajian ilmiah. Untuk melindungi flora dan fauna, telah ditetapkan taman nasional dan suaka alam seperti Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, Cagar Alam Tanjung Api dan terakhir adalah Suaka Margasatwa di Bangkiriang.

SITUS CAGAR BUDAYA MAKAM DATO KARAMA

Situs makam Dato Karama adalah tempat di makamkannya seorang tokoh Agama Islam yang pertama kali masuk ke Sulawesi Tengah pada abad XVII. Dato Karama adalah gelar yang berarti seorang dato yang sakti/keramat. Sedang nama asli beliau adalah Abdullah Raqie berasal dari Sumatera Barat. Karena kesaktiannya maka Raja Kabonena I Pue Njidi serta rakyatnya memeluk Agama Islam.
Isteri Dato Karama bernama Intje Djille sedangkan anaknya bernama Intje Dongko dan Intje Saribanong, Injte Dongko kawin dengan pemuda dari Sulawesi Selatan.
Pada kompleks Makam Datokarama selain makam beliau juga terdapat makam isterinya dan keluarga serta pengikutnya yang terdiri dari 9 (sembilan) makam laki-laki, dan 11 (sebelas) makam wanita serta 2(dua) makam yang tidak jelas, karena nisannya juga tidak jelas. Dengan luas bangunan ± 104 M² sedang luas keseluruhan Situs makam Dato Karama ± 1700 M²

MASJID TUA BUNGKU

Masjid tua Bungku didirikan atas prakarsa raja Bungku XII yaitu Kacili Muhammad Baba pada Tahun 1835 – 1836. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh tokoh penyiar Islam Syech maulana atau yang bergelar Bajo Johar dari tanah melayu. Masjid Tua Bungku ini pertama kali di pugar oleh seorang arsitektur Bangsa Cina bernama Aweng pada Tahun 1936 – 1937, dan kemudian dipugar oleh Pemerintah / Kanwil ¬Depdikbud Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1992 – 1993.
Luas Bangunan Masjid 15 x 24 meter terletak diatas sebidang tanah dengan luas 40 x 72 meter dengan arsitektur atap bersusun Lima.

 

 

MASJID TUA UNA-UNA

Masjid Tua Una una ini pertama kali dibangun pada tahun 1909 atas prakarsa masyarakat yang mendiami pulau tersebut serta didukung oleh Raja setempat yang bernama Mohammad Maradjeng Daeng Materru. Pekerjaan pembangunan masjid tersebut dikepalai seorang tukang bernama Ibu De Bula dan selesai di bangun Tahun 1914. Bahan bangunan Masjid ini didatangkan dari Pulau Kalimantan dan Jawa. Masjid ini telah di renovasi pertama kali pada Tahun 1962. Peresmian masjid ini dilakukan pada Tahun 1916 oleh Bapak HOS Tjokroaminoto. Pada Tahun 2005 Masjid Tua Unauna sebagai Cagar Budaya, telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Makassar.

Karampuang, Kerajaan Bersahaja di Sulawesi

Liputan6.com, Sinjai: Sebuah legenda beredar dari kaki Gunung Karampuang, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Legenda tentang seorang manusia sakti bernama To Manurung yang turun dari langit dan memberikan sejumlah pesan dan pengetahuan baru bagi warga desa: tentang tatanan hidup sederhana dan pentingnya kebersamaan. Pengetahuan itu hingga kini masih ditaati para pengikutnya yang hidup mengucilkan diri di sebuah desa adat yang disebut Karampuang.

Desa yang terletak sekitar 31 kilometer dari pusat Kota Sinjai ini, memang mencerminkan suatu desa tradisional yang ketat memegang teguh amanah para leluhur. Konon, asal kata dari Karampuang tersebut diambil dari kata Karaeng dan Puang. Penamaan ini akibat dijadikannya lokasi itu sebagai pertemuan antara Kerajaan Gowa (Karaeng) dan Kerajaan Bone (Puang). Dalam legenda Karampuang juga dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai berawal dari Karampuang. Dahulu daerah ini adalah wilayah lautan sehingga yang muncul ke permukaan adalah beberapa daerah saja, termasuk Karampuang. Yang muncul itu dinamakan cimbolo, yakni daratan yang timbul seperti tempurung di atas permukaan air. Di puncak cimbolo muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk berdiri).

Dengan lokasi terpencil di tengah bukit berbatu, Karampuang menjadi daerah yang jarang dijamah pengaruh luar. Tak heran, kondisi seperti ini juga menyebabkan warga tak pernah berniat mengubah tatanan yang sudah ada dengan arus perkembangan begitu cepat di luar desa mereka. Tradisi lama masih mereka pegang. Tatanan baru tak mengubah tatanan lama dan kehidupan yang penuh kesederhanaan tak pernah mereka tinggalkan. Karampuang adalah sebuah desa adat yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip manajemen sebuah kerajaan. Ada raja, perdana menteri, dan beberapa menteri. Karampuang dipimpin seorang Pamatoa yang berfungsi sebagai raja, Panggela sebagai Perdana Menteri, Sangro atau dukun sebagai menteri kesehatan dan kesejahteraan. Kemudian ada Guru yang bertindak sebagai menteri pendidikan dan keagamaan.

Kendati begitu, di kerajaan ini tak akan ditemukan istana yang megah dan gemerlap layaknya kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi maupun di daerah lainnya. Istana hanya berupa dua rumah panggung beratap rumbia. Satu di antaranya menjadi tempat tingal Pamatoa dan yang lainnya menjadi kediaman Panggela dengan beberapa kamar yang menjadi hak Sangro dan Guru serta Ana Malolo yang bertugas sebagai Pabicara atau juru bicara alias menteri penerangan. Kesederhanaan juga tampak dari penampilan para raja dan pejabatnya yang hampir tak bisa dibedakan dengan warga biasa. Bagi mereka, fungsi lebih penting ketimbang sekedar simbol-simbol yang menunjukkan hirarki sosial. Sederhana, memang.

Kegiatan menonjol di komunitas Karampuang adalah pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang digelar setiap malam Jumat. Biasanya menjelang malam, ayat-ayat Alquran akan mengalun dari sebuah rumah adat yang ditinggali oleh Panggela Mangga. Bagi warga Karampuang, Jumat adalah hari istimewa. Apalagi, ketika jagung telah dipetik dan sawah mulai dibasahi. Ini pertanda bagi mereka untuk memulai menanam padi. Saat seperti itulah, sebagai umat muslim mereka mempunyai kewajiban berkumpul untuk membacakan doa dan puji-pujian kepada Allah SWT pada malam menjelang mereka mulai menggarap sawah.

Malam Barjanji. Demikian mereka menyebut acara tersebut. Acara itu dipimpin Guru dan dihadiri hampir seluruh pejabat dan warga Karampuang. Pamatoa yang dianggap orang suci dibebaskan dari urusan-urusan kemasyarakatan. Untuk urusan seperti ini, Guru dan Ana Malolo-lah yang banyak berperan. Pamatoa dan Panggela lebih mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran adat.

Memang ada satu pejabat yang juga tak terlihat di forum ini yakni Sangro yang bertugas sebagai menteri kesehatan dan kesejahteran. Namun, Sangro bukannya tak ada. Tapi, malam ini justru Sangro harus bertugas mempersiapkan masakan bagi para tamu dan tugas itu dilakukannya di dapur sebagai menteri kesejahteraan. Sangro memang kerap dijabat oleh seorang wanita.

Barjanji sebenarnya mengandung makna sebagai sebuah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar yang akan dilakukan esok hari mendapatkan hasil baik. Barjanji telah menjadi tradisi bagi warga Karampuang untuk memulai setiap tahap kegiatan yang dilakukan secara kolektif. Namun, Malam Barjanji bukan sekadar malam untuk berdoa. Malam Barjanji juga menjadi malam untuk berkumpul makan besar sambil membicarakan berbagai masalah mereka, termasuk arisan adat untuk menentukan tanah yang akan digarap esok hari. Sebagai komunitas kecil dengan sumberdaya yang terbatas, satu petak sawah di Karampuang kerap dikerjakan seluruh warga desa laki-laki dengan sistem arisan bergilir. Kali ini dua warga mendapatkan kesempatan pertama untuk digarap sawahnya.

Sesuai kesepakatan, pada pagi harinya seluruh warga bersama-sama pergi ke sawah. Namun, sawah di Karampuang terletak di lembah di antara bukit berbatu. Kondisi ini membuat warga sulit membuka lahan persawahaan. Sebidang tanah kecil harus mereka dapatkan dengan kerja keras bertahun-tahun hanya untuk sekadar menyisihkan kerikil-kerikil batu yang berserakan.

Dipimpin Panggela, seluruh kaum lelaki di sana bekerja seharian untuk mengolah sawah. Semua tenaga dikerahkan, termasuk sapi dan kerbau yang menjadi milik adat. Di saat para kaum laki tengah bersawah, kaum Hawa di sana hanya berdiam di rumah. Seusai mempersiapkan bekal bagi kaum Adam di sawah, para perempuan meluangkan waktu dengan bersantai di rumah. Berbeda dengan kediaman Panggela, di rumah ini, dalam bimbingan Sangro para wanita kembali mempersiapkan berbagai makananan untuk acara yang diberi nama Petik Jagung pada malam harinya.

Ketika matahari mulai terbenam, para lelaki pulang ke rumah. Setelah melepas lelah, mereka kembali berkumpul di kediaman Panggela untuk melaksanakan acara Petik Jagung. Acara ini sebenarnya bukan ritual yang sarat dengan unsur religius. Namun, acara ini sekadar hiburan bagi mereka yang seharian bekerja keras di sawah. Acara ini juga sekaligus untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan. Uniknya, wujud syukur ini dilakukan dengan cara bernyanyi sambil membelai-belai jagung. Acara ini juga menjadi forum sosial dalam membagi hasil jagung kepada warga dan pejabat kerajaan.(ORS/Potret)

Lesung batu kebanyakan ditemukan di Minahasa bagian selatan. Beberapa diantaranya tersebar di kecamatan Touluaan, wilayah anak suku Tonsawang. Fungsi utamanya adalah sebagai wadah penumbuk padi atau penghancur biji-bijian. Hal ini terkait dengan wilayah tersebut yang dikenal sebagai salah satu sentra lumbung padi sejak ratusan tahun lalu. Ada Informasi lain yang menyebutkan bahwa lesung batu juga digunakan sebagai wadah untuk menghancurkan batu yang memiliki kandungan emas, sebelum diolah menjadi emas.
Disamping fungsi utamanya tadi, keberadaan lesung batu oleh sebagian pemerhati budaya digunakan sebagai portal untuk berkomunikasi dengan leluhur mereka.

Saat ini lokasi tempat lesung batu dijadikan salah satu objek wisata sejarah dan budaya. Salah satunya bisa ditemukan di desa Kali, kecamatan Touluaan. Lesung batu ini dikenal dengan nama Lesung Nawo Oki karena erat dengan legenda Raja/Nawo Oki. Situs lesung batu yang berada di desa kali ini telah dipugar beberapa tahun lalu oleh pemkab Minahasa Selatan. Tetapi sejak pemekaran wilayah, situs lesung batu desa Kali kini menjadi milik pemkab Minahasa Tenggara. Sayangnya keberadaan situs lesung batu saat ini tidak dikelola dengan baik. Akses jalan menuju situs sudah rusak dan ditumbuhi belukar. Ditambah lagi dengan penolakan beberapa pemuda kampung desa Kali yang tidak tahu menghargai warisan budaya leluhur. Mereka menolak adanya kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan di lesung batu tersebut. Padahal eksotisme kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut bisa menjadi daya tarik pariwisata yang bisa membantu perekonomian desa Kali.

(Sumber: KPA Kebudayaan Malesung Nawo Oki, telp: 085240820317)




Sumber : touminahasa.blogspot.com

Bingkai tayangan televisi tentang perkelahian antarmahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) dengan supir pete-pete (16 Mei – 2006), tak hanya dinikmati publik Makassar, tapi tayangan tersebut juga ditonton pemirsa televisi seluruh pelosok tanah air. Tayangan layar kaca yang mengekspose tawuran antarmahasiswa dengan supir angkutan kota (angkot) dapat dianggap diluar akal sehat. Perilaku yang meyimpang ini dapat dikategorikan sebagai mahasiswa yang mengalami paranoid. Artinya, bagaimana seorang yang berstatus mahasiswa dan juga berlabel sebagai intelektual muda, pemikir muda harapan bangsa, makhluk idealis dan rasional tiba-tiba berkelahi dengan supir angkot. Dampak dari penayangan tersebut, maka seketika itu citra mahasiswa Makassar di depan publik, sosoknya disamakan dengan preman.
Proses labeling ini, tak hanya memalukan dan memilukan, betapa tidak penulis yang sementara itu berada di Kampus Salemba Jakarta, beberapa dosen pasca-UI sempat menanyakan, mengapa mahasiswa di makassar selalu berkelahi ? Apalagi peristiwa kali ini agak memilukan karena mahasiswa yang biasa memprotes atau mendemo pemerintah dalam memperjuangkan rakyat kecil sekarang mahasiswa berhadapan dengan rakyat kecil yang berprofesi sebagai supir angkot yang mengais rezeki dengan uang recehan.Lebih biadab dari tayangan tawuran di televisi, penonton menikmati dengan mata telanjang di mana ada oknum mahasiswa dengan sangat emosional, beringas, dan bengis merusak dan menghancurkan kaca mobil angkot yang ditinggalkan pemilik atau supirnya. Padahal, mobil petepete tersebut merupakan sumber mata pencaharian, bahkan ada diantara petepete tersebut yang dirusak keberadaannya merupakan hasil kredit dari pemiliknya.

Opini sosok mahasiswa yang menyimpang dan dipertontonkan secara fulgar telah mengundang komentar dari masyarakat, misalnya komentar pembaca mengatakan : Mahasiswa UNM ; bego sekali dan mereka adalah sekelompok orang yang tak punya sense of collectivness ! Berorganisasi seperti beronani ; berakademik tapi pandemi atau musuh masyarakat, dasar ?Tau tolo?. UNM itu gudangnya preman dari pelosok kampung yang terbiasa angnginung ?Ballo Inruk? (lihat, Fajar Online, 17 Mei 2006).
Adanya anggapan miring dari mahasiswa akibat dari tawuran itu menunjukkan bahwa betapa buruknya penilaian publik kepada mereka di mana mahasiswa di Makassar lebih mendahulukan penyelesaian secara hukum rimba daripada rasionalitas. Lebih konyol lagi, semestinya mahasiswa yang bermasalah dengan pihak kepolisian karena ada rekan mereka tertembak dilakukan dengan advokasi yang lebih cerdas. Jika setiap protes mahasiswa diwujudkan dengan membakar ban bekas dan menutup jalan. Itu adalah bukan cara-cara yang intelek. Menutup jalan itu berarti memutus mata rantai pencaharian bagi masyarakat, termasuk mata pencaharian supir angkot. Apalagi dalam kultur Makassar berlaku pepatah : Bajikangngangi mate a?cceraka daripada mate tena?nangnganre? ( lebih baik mati berdarah dari pada mati tak makan). Terjadi tawuran antarmahasiswa UNM dengan supir angkot yang patut disalahkan bukanlah supir angkotnya, melainkan mahasiswa tak mempunyai analisis kultural dalam memotret masyarakat.

Di sisi lain, penilaian mahasiswa di Makassar sangat brutal dan ?tak punya otak? dalam menyalurkan aspirasi yang tak sepenuhnya benar seperti penilaian realitas media. Konsekuensi frame media yang memberikan justifikasi negatif, tak terlepas bagaimana media menyikapi suatu realitas sosial yang diinterpretasikan. Dalam konteks isi media sudah sepantasnya para mahasiswa dapat berpikir 2 (dua) kali lipat dalam melakukan aksinya sehingga kegiatan yang menimbulkan tawuran apalagi dengan supir angkot, tentu media massa akan mengekspose secara terbuka, transparan, dan blowup.

Yang perlu dicermati, mahasiswa yang biasanya melakukan tawuran, para tokohnya yang dikategorikan preman kampus adalah ?pentolan? yang record akademiknya cenderung kurang baik (raport-nya merah). Maka dari itu, ulah dari mahasiswa yang tak mempunyai kecerdasan akademik mempunyai korelasi dengan perilaku menyimpang dalam melakukan kegiatan dunia kemahasiswaan. Artinya, UNM yang selama ini adalah lembaga pendidikan yang mencetak generasi baru atau ?pahlawan tanpa jasa? akhirnya mencoreng mukanya sendiri akibat sekelompok mahasiswa yang berotak preman.

Wahai mahasiswa Makassar bangkitlah dengan berorganisasi kemahasiswaan secara cerdas, jangan hanya pandai tawuran, bakar ban bekas, dan menutup jalan, tapi tunjukkan prestasi akademikmu dan dunia kemahasiswaan agar dapat menjadi mahasiswa unggul dari kawasan timur Indonesia. Apalagi beberapa kader-kader dari Sulawesi-Selatan yang sementara ini berkiprah ditingkat nasional, misalnya dari kalangan ; politisi, birokrat pemerintahan, TNI-Polri, pengacara, termasuk menjadi putra daerah yang dipercayakan sebagai Wakil Presiden, tak dirusak citranya melalui media massa bahwa di kampung halaman beliau, mahasiswa Makassar menggunakan cara-cara primitif dalam menyelesaikan masalah (tawuran).

Masih ingat beberapa pekan kemarin mahasiswa makasar tawuran yang tentu saja bukan hal baru bagi kita kalau memahami salah satu adat sulawesi yaitu tomasirik yaitu adat dimana kehormatan keluarga harus dibela apabila apabila martabat (sirik) dinodai yang terkadang berlebihan ketika yang kita bela itu salah dan bertentangan dengan agama Islam yang dianut mayoritas orang Bugis-Makasar. karakter ini juga selalu memicu konflik yang pelik di masyarakat sampai ke anggota dewan sekalipun, sehingga ada persepsi negatif terhadap temperamen orang Bugis-Makasar ini yang terkenal keras dan lebih kritis terhadap penyimpangan para petinggi mereka dan budaya ini secara positif harus dipertahankan dalam takaran tertentu semacam ghirah dalam Agama sehingga bisa disalurkan dalam rangka mempertahankan dan memelihara Agama. konflik intelektual di UNHAS harus secepatnya ditanggulangi jangan sampai menjadi preseden negatif terhadap budaya tomasirik yang sebenarnya awalnya baik untuk menjaga keutuhan sosial dan kulture di masyarakat dan tentu saja kultur unit ini harus dipertahankan dalam nuansa positif.

Sumber : Fajar Online