Archive for the ‘Tokoh Budaya’ Category

Dia legenda pengarang cerita silat. Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, yang kendati tak bisa membaca aksara Cina tapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Tak satu pun penggemar cerita silat di Indonesia yang tak kenal nama Asmaraman S Kho Ping Hoo.

Namanya sering disandingkan dengan Gan Kok Liang (Gan KL), Oey Kim Tiang (OKT), atau Tjan Ing Djiu (Tjan ID). Benar, sederet nama itu adalah penulis-penulis cerita silat terkenal pada era 1950-an. Kini pun nama-nama mereka masih bergaung lewat penerbitan ulang karya-karya mereka.Selama 30 tahun lebih berkarya, dia telah menulis sekitar  400 judul serial berlatar Cina, dan 50 judul serial berlatar Jawa.

Ping Hoo hanya mencecap bangku sekolahan sampai kelas I HIS (Hollandsche Inlandsche School), namun minat baca dan keinginannya untuk menulis tinggi. Setelah gonta-ganti pekerjaan, akhirnya dia mulai menulis cerita pendek sejak tahun 1952. Pada tahun 1958, cerpen pertamanya dimuat di majalah terbesar Indonesia saat itu, Star Weekly. Nampaknya, hal inilah yang mendorongnya untuk mengembangkan bakat kepenulisannya. Namun, Ping Hoo tidak memilih menulis cerpen biasa, tapi menciptakan cerita silat (cersil). Soal persilatan dikenal Ping Hoo dari ayahnya yang mengajari silat keluarga kepadanya sejak kecil.

Cersil perdananya, Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat bersambung di majalah Teratai, majalah yang didirikannya bersama beberapa pengarang lain. Cersilnya segera populer, apalagi setelah Ping Hoo menerbitkannya dalam bentuk buku saku. Penerbit Gema di Solo adalah penerbitan yang dibangunnya sendiri dan jadi penerbit tunggal cerita-cerita silat dan novelnya hingga kini.

Berbeda dengan umumnya penulis cersil masa itu, seperti Gan KL dan OKT, Ping Hoo tidak menerjemahkan cersil berbahasa Tionghoa, tapi mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Cerita-ceritanya kebanyakan berlatar sejarah Tiongkok dan Jawa. Ping Hoo tak menguasai bahasa Tionghoa, kesan yang didapat dari karyanya seakan-akan pengarangnya menguasai betul sejarah dan kebudayaan Tongkok, meski kadang-kadang keliru dalam penulisan tahun-tahun dinastinya.

Cersilnya yang yang terkenal adalah “Serial Bu Kek Siansu” yang terdiri dari 17 judul, dari “Bu Kek Siansu” hingga “Pusaka Pulau Es”. Setiap judul terdiri dari 18 sampai 62 jilid. Dalam serial ini pula terdapat judul “Pendekar Super Sakti” yang dianggap karyanya yang paling populer. Selain itu, patut pula disebut serial lain, seperti “Pedang Kayu Harum” dan “Pendekar Budiman”. Pernah ditayangkan di SCTV dalam “Legenda Kho Ping Hoo” adalah “Suling Emas” yang merupakan bagian dari “Serial Bu Kek Siansu”.

Untuk karya berlatar Jawa, Ping Hoo terkenal dengan beberapa karyanya, seperti “Darah Mengalir di Borobudur” dan “Badai di Laut Selatan”. “Darah Mengalir di Borobudur” bahkan pernah dipentaskan berulangkali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk sandiwara radio.

Selama 30 tahun berkarya, Ping Hoo menghasilkan lebih dari seratus judul karya. Angka pastinya masih jadi persoalan. Peneliti sastra peranakan, Leo Suryadinata, mencatat 120 judul, sedangkan Majalah Forum mencatat lebih banyak lagi, 400 judul cerita berlatar Tiongkok dan 50 judul berlatar Jawa. Namun, pada akhirnya Ping Hoo harus berhenti berkarya. Pada Jumat, 22 Juli 1994, serangan jantung telah membawanya menghadap Sang Pencipta secara tiba-tiba.

Ceritanya asli dan khas. Dia pengarang yang memiliki ide-ide besar, yang tertuang dalam napas ceritanya yang panjang. Sepertinya dia tak pernah kehabisan bahan.

Bahkan setelah dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo, namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan penggemarnya. Bahkan tak jarang  penggemarnya tak bosan membaca ulang karya-karyanya.

Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, difilmkan, disandiwararadiokan, dan di-online-kan, serta disinetronkan. Dia meninggalkan nama yang melegenda. Legenda Kho Ping Hoo, pernah menjadi sinetron andalan SCTV. Lewat penerbit CV Gema, karya-karyanya masih terus dicetak.

Kho Ping Hoo bernama lengkap Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat yang memunculkan tokoh-tokoh silat dalam ceritanya, seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, Cia Keng Hong, Cia Sin Liong, Ceng Thian Sin, dan Tang Hay. Serta tokoh-tokoh dalam serial paling legendaris Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum.

Dia juga banyak mengajarkan filosofi tentang kehidupan, yang memang disisipkan dalam setiap karyanya. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang melakukannya kerabat sendiri.

Kisah Keluarga Pulau Es merupakan serial terpanjang dari seluruh karya Kho Ping Hoo. Kisahnya sampai 17 judul, dimulai dari Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Penggemar cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak yang setia. Mereka sudah gemar membaca karya Kho Ping Hoo sejak usia 10-an tahun hingga usia di atas 50-an tahun. Mula-mula mereka senang melihat gambar komiknya. Namun, lama-lama makin tertarik cerita tulisannya. Tak jarang penggemar mengoleksi karya-karya Kho Ping Hoo, bahkan mencarinya ke bursa buku bekas di kawasan Senen.

Ia mulai menulis tahun 1952.  Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, semangatnya makin membara untuk mengembangkan bakat menulisnya.

Banyaknya cerpenis yang sudah mapan, mendorongnya memilih peluang yang lebih terbuka dalam jalur cerita silat. Apalagi, silat bukanlah hal yang asing baginya. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia terbilang sangat mahir dalam gerak dan pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu.

Karya cerira silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun  meninggalkan pekerjaanya sebagai juru tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris.

Hal itu membuat kreatifitasnya makin terpicu. Karya-karyanya pun mengalir deras. Cerita silatnya pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar Jawa, di masa majapahit atau sesudahnya. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, dia pun menanamkan ideologi nasionalisme dalam cerita silatnya.

Seperti kisah dalam cerita Sepetak Tanah Sejengkal Darah. Dia menyajikan cerita yang sangat membumi, akrab dengan keseharian. Juga melintasi batas agama, suku dan ras.

Kepopulerannya makin memuncak manakala merilis serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau Es, yang mencapai 17 judul cerita, dengan ukuran panjang antara 18 sampai 62 jilid.  Dimulai dari kisah Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan. Bahkan Darah Mengalir di Borobudur, pernah disandiwararadiokan.  (Tian Son lang, dari berbagai sumber)

Biografi singkat :

Nama:
Kho Ping Hoo
Nama Lengkap:
Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Lahir:
Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926
Meninggal:
Solo, 22 Juli 1994

Profesi:
Pengarang

Sumber : http://www.tokohindonesia.com

Sebagai orang yang tidak pernah berinteraksi secara mendalam dengan Kang Ajip Rosidi (KAR), maka ketika diminta untuk memberi pandangan terhadap KAR, satu-satunya upaya yang bisa dilakukan adalah membaca buku-bukunya. Karena tinjauannya lebih kepada pemahaman terhadap sosok pribadi (bukan telaah karya sastra), maka pilihan jatuh kepada buku-buku karya KAR yang menurut KAR sendiri “jiga otobiografi atawa memoar” atau “panineungan”. Adapun buku-buku yang dianggap “jiga otobiografi atawa memoar” dan “panineungan” tersebut adalah : Hurip Waras (1988), Beber Layar (Cetakan ke 1 tahun 1964), Pancakaki (1993), Trang-trang Kolentrang (1999), Ucang-Ucang Angge (2000).

Setelah membaca buku-buku tersebut, kesimpulannya, KAR adalah sosok “orang Sunda moderen”. Sengaja kalimat “orang Sunda Moderen” disatukan di dalam satu tanda petik, karena apabila bicara orang Sunda yang ada dewasa ini bisa jadi banyak yang belum “moderen”, sementara kata moderen sendiri apabila tidak dikaitkan dengan kata-kata orang Sunda, akan mempunyai arti yang sangat luas yang pada tingkat tertentu dapat menghilangkan identitas “kasundaan”.

Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk merujuk istilah “moderen” dalam kaitannya dengan orang Sunda disini. Pertama, adalah perhatian, “kanyaah” dan bahkan “prak”nya “ngamumule” kebudayaan Sunda. Sebagai orang Sunda “pituin”, tanggung jawab dan “kanyaah” KAR kepada budaya Sunda tidak dapat diragukan lagi. Walaupun KAR mulai berkiprah di dunia sastra Sunda setelah terlebih dahulu menggeluti sastra Indonesia, namun pada perkembangan berikutnya perhatian, kerja nyata dan yang lebih penting lagi kontinyuitas untuk “ngamumule” budaya Sunda khususnya sastra Sunda berlangsung terus sampai hari ini.

Selain menulis karya sastra Sunda nya sendiri, tulisan-tulisan KAR mengenai sastra Sunda, baik berupa pemikiran, kritik, ulasan mengalir terus sampai saat ini. Buku Beber Layar, sebagai kumpulan karangan yang ditulis oleh KAR pada saat berusia antara 18 sampai 22 tahun, substansinya masih tetap “up to date”.

Walaupun bermukim di Jepang, KAR masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan nyata untuk Ki Sunda dalam bentuk pemberian hadiah sastra Rancage, Kongres Internasional Budaya Sunda, membuat penerbitan berbahasa Sunda (yang paling monumental: membuat ensiklopedi Sunda) dan kegiatan “kasundaan” lainnya. Suatu aktifitas yang langka dilakukan baik, oleh orang-orang dari suku lain tentang budayanya dan oleh orang-orang Sunda sendiri yang ada di kampung halamannya. Untuk hadiah sastra Rancage, selain sudah teruji kontinyuitasnya sejak tahun 1989 (di Indonesia konon tidak pernah ada pemberian hadiah sastra yang berlangsung secara berkesinambungan seperti Rancage), juga yang tidak kalah pentingnya, hadiah sastra Rancage tersebut bukan hanya untuk sastra Sunda tetapi juga untuk sastra Jawa dan Bali.

Pemberian perhatian yang bukan hanya untuk sastra Sunda ini menunjukkan bahwa KAR tidak termasuk kepada orang yang “etnocentris”, provinsialis atau sukuisme dalam arti sempit. Karena itu, kriteria ke dua untuk menunjuk kemoderenan KAR adalah ke- Indonesiaan. Kiprah KAR di dalam dunia sastra Indonesia sudah dimulai sejak SMP. Karena kiprahnya dalam kesusasteraan Indonesia itulah, pada usia yang sangat belia (16 tahun) sudah bisa mengikuti Kongres Kebudayaan di Solo, dengan ongkos yang diberikan secara khusus oleh Mr. Muhammad Yamin yang kala itu menjadi Menteri PP dan K (Hurip Waras, hal 50). Selain daripada itu, pada usia yang cukup muda pula (19 tahun) KAR mendapat Hadiah Sastra Nasional pada Kongres Kebudayaan tahun 1957 di Denpasar. Kiprah di tingkat nasional ini berlanjut diantaranya menjadi redaksi PN Balai Pustaka (1955-1956), Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Ketua IKAPI, Staf Ahli Menteri P&K dsb. Selain dari pada itu karya-karya KAR juga sudah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Hindi, Jepang, Rusia dan Cina.

Rasa cintanya terhadap tanah air, diantaranya diwujudkan dalam bentuk tulisan yang dikumpulkannya di dalam buku “Trang trang Kolentrang” : Politik Reformasi Dina Surat – surat ti Jepang. Disini kita pun melihat bahwa perhatian KAR terhadap dunia politik sangat besar.

Kriteria kemoderenan KAR yang ke tiga, adalah “go international”. Pengertian “go international” disini tidak hanya diukur oleh kehadiran fisik, tetapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah pemahaman pemikiran yang berkembang di dunia internasional. Sebagai budayawan “moyan”, KAR sudah sejak muda bergelut dengan pemikiran-pemikiran para pemikir Barat baik melalui bacaan maupun melalui diskusi dengan para sastrawan/pemikir saat itu. Kedudukannya sebagai profesor tamu di Osaka Jepang sejak tahun 1981 lebih memantapkan dirinya sebagai manusia “internasional”.

Kalaulah inti dari tulisan ini mengemukakan bahwa KAR adalah sosok manusia Sunda moderen, dengan dua kriteria terakhir pengertiannya adalah, walaupun KAR sudah berkecimpung di dunia nasional dan internasional, namun ciri-ciri bahkan kiprahnya di dalam “kasundaan” tidaklah surut. KAR bukan saja bisa “pindah cai – pindah tampian”, tetapi lebih jauh dari itu kiprahnya di dunia nasional dan internasional justru bisa lebih memberikan kontrbusi yang lebih positif terhadap “kasundaan”. Padahal banyak orang yang menyebutkan bahwa pada umumnya para “gegeden” Sunda itu “hapa” budaya. Jangankan jauh-jauh yang tinggal/hidup di Jakarta atau di luar negeri, mereka yang hidup dan tinggal di Bandung saja perhatiannya terhadap budaya Sunda ini sangat kurang.

Keempat, karena antara Islam – Sunda dengan Sunda – Islam, sering disatu nafaskan, maka di dalam konteks modernitas manusia Sunda, unsur-unsur ke Islaman tidak boleh ditinggalkan. Artinya semoderen apapun orang Sunda, apabila masih ingin disebut orang Sunda, maka di luar tanggung jawabnya terhadap “kasundaan”, ciri dan prilaku ke-Islamannyapun harus tetap nampak. Walaupun pada awalnya (ketika kelas II SMP) KAR senang “fifilsfatan” tentang eksistensi Tuhan, tapi prilaku ke-Islaman KAR juga “kelihatannya” cukup “leket?”. Sebagaimana kebanyakan orang Sunda, walaupun KAR sudah beragama Islam sejak lahir, namun pemahaman tentang Islam dimulai lagi melalui proses pencarian, terutama setelah membaca karya-karya HHM. Kedekatannya dengan beberapa tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat (ketika sekretariatnya masih di Gg.Asmi) seperti Mang Endang Sjaefudin Anshari atau Kang Josef (yang kemudian jadi besannya), sedikit banyak menambah pemahaman tentang Islam itu sendiri.

Sikap KAR tentang keterkaitan antara Sunda dengan Islam diantaranya :

“sadar kana kaetnisan budayana nu Sunda sabada leuwih ti heula ngarasa jadi muslim, justru kudu mageuhan adeg-adegna nu nyumber kana ajen-inajen ka Islaman, tapi oge baris ngabeungharan warna budaya umat. Neuleuman jeung neangan ajen-inajen ka Sundaan tanwande baris nambahan kakayaan budaya umat”.

Untuk urusan ke – Islaman ini, salah satu “peristiwa budaya” penting ketika KAR menjadi ketua DKJ adalah pembangunan mesjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki.

Kelima, unsur kerja keras. Prof. Herman Soewardi di dalam berbagai kesempatan seringkali mengemukakan bahwa salah satu ciri bangsa Indonesia (termasuk suku Sunda) adalah lemah karsa, dalam pengertian bahwa kalaupun bekerja seringkali tidak “junun”. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa untuk kasus KAR, aspek kinerja yang “memble” ini ditemukan. KAR bisa disebut sebagai pekerja keras dan mempunyai semangat kerja yang tinggi. Ketika di SMA saja, walaupun KAR masuk ke sekolah B, namun karena keingin tahuan yang besar mengenai keseustraan yang mengebu-gebu, siang harinya KAR sekolah di SMA Perjoangan. Sampai saat ini bisa jadi belum ada orang Sunda yang karyanya sebanyak yang dibuat oleh KAR. Kalaulah salah satu ciri dari sosok manusia moderen itu profesianal, dalam pengertian ahli dan kompeten maka KAR sudah termasuk post_category ini.

Untuk karya-karyanya dalam bentuk memoar, perlu mendapat apresiasi secara khusus. Karya-karya tersebut mengandung banyak hal yang dapat dikatagorikan sebagai sejarah kontemporer. Dalam hal ini KAR menjadi saksi hidup dari suatu proses yang terjadi di dalam sejarah. Selama ini pelajaran sejarah seringkali hanya menunjukkan kejadian-kejadian yang kadangkala kering dari aspek “human interest”. Memoar KAR bisa menjadi pelengkap tentang apa-apa yang terjadi di balik panggung sejarah.

Karena bentuknya memoar, maka pada tataran tertentu perlu dilakukan pendalaman. Tugas itu tentu saja tidak bisa dibebankan kepada KAR. Dalam konteks memoar, KAR dapat disebut sebagai pembuka jalan. Sebagai contoh, di luar apa yang ditulis KAR tentang Kongres Pemuda Sunda dan “setting” sosialnya sehingga kongres tersebut dilaksanakan, sampai saat ini belum ada lagi buku yang membeberkan secara tuntas, gamblang dan ilmiah tentang hal itu (terutama tentang Pergerakan Sunda pada akhir tahun lima puluhan). Akibat dari “kekosongan” sejarah ini, hampir selama periode Orde Baru (bahkan mungkin sampai sekarang), banyak orang Sunda yang merasa menanggung dosa warisan, dari suatu perjalanan sejarah Ki Sunda yang tidak jelas kejadiannya.

Karena kejelian dan kerajinannya mengumpulkan bahan-bahan, KAR bisa disebut sebagai “arsip hidup” Ki Sunda terlengkap saat ini. Di luar hal-hal yang sudah diungkapkannya saat ini (dalam bentuk buku), bisa jadi masih banyak hal lain yang perlu kita korek. Sebagai contoh, walaupun di dalam buku “Ucang-ucang Angge”, KAR menceriterakan ketokohan Prof. Dr. Doddy A. Tisnaamidjaja, namun isinya berbicara pula tentang hiruk pikuk pemilihan Gubernur Jawa Barat pada tahun 1967 (kejadiannya hampir mirip dengan pemilihan Gubernur Jawa Barat saat ini). Ketika membicarakan Ilen Surianegara, walaupun sepintas kita diajak untuk mengetahui polemik di sekitar naskah Wangsakerta. Demikian pula halnya dengan tulisan yang diberi judul RHM. Akil Prawiradiredja ( berkaitan dengan pemilihan Wagub), atau tentang Dajat Hardjakusumah yang selain berbicara tentang dunia kewartawanan saat itu, juga berbicara tentang situasi di sekitar kejadian G30S/PKI.

Melihat kejelian dan kerajinan membuat memoar yang notabene sejarah ini dengan sangat tepat di dalam jilid luar bagian belakang dari buku Ucang-ucang Angge diungkapkan:

“Lain wae kudu dideudeul data anu akurat, tapi deuih kudu panjang ingetan. Heueuh, mun urang aya karep nulis memoar, boh ngeunaan peristiwa boh ngeunaan kahirupan sajumlahing tokoh; kawas anu dipidangkeun dina ieu buku. Hamo bisa mun ukur ngandelkeun data meunang ngalelebah mah, komo mun bari geus loba poho”

“Naon-naon wae anu dipidangkeun dina ieu buku, lain wae ukur ngasongkeun rupa-rupa informasi ngeunaan sajumlahing tokoh katut patalina sareng rupa-rupa peristiwa, tapi deuih bisa dijadikeun eunteung tuladaneun”

Upaya mengemukakan keadaan juga dilakukannya dengan cara menulis surat kepada sahabat-sahabatnya. Walaupun dalam bentuk surat yang pendek, namun dengan surat itu KAR bisa mengungkapkan situasi dan juga pemikiran-pemikiran KAR tentang berbagai hal.

Ke enam, jaringan pertemanan. Teori-teori manajemen moderen menyebutkan bahwa unsur jaringan (net working) adalah merupakan salah satu faktor penting di dalam mencapai keberhasilan. Apabila membaca memoar KAR, dapat diketahui bahwa kenalan KAR sangat banyak dan dari berbagai kalangan. Sudah sejak kecil, KAR bergaul dengan para tokoh di bidang sastra, pemerintahan, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh politik dsb. Inti pertemanan selain silaturahmi juga untuk menambah wawasan tentang sesuatu. Dari memoar yang dibuat oleh KAR, pertemanan KAR dengan orang-orang yang ditulisnya di dalam memoar tersebut, ternyata tidak hanya sebatas kenal (wawuh munding), tetapi lebih dari itu.

Walaupun teman-temannya cukup banyak dan sangat akrab, tetapi di dalam hal-hal yang dianggap prinsip, KAR bisa sangat kritis. Oleh karena itu perjalanan hidup KAR seringkali ditandai dengan percikan-percikan konflik yang kadangkala sangat terbuka. Untuk ukuran budaya Sunda – bahkan mungkin untuk budaya Barat sekalipun, kritik-kritik yang dilakukan oleh KAR seringkali dirasakan sangat tajam. Sebagai contoh, kritikannya terhadap Pak Ilen Surianegara, Pak Mashudi atau kepada Prof. Achmad Sanusi. Pada awalnya sikap KAR seperti itu, diperkirakan terpengaruh (seperti agama) oleh teman-temannya di PII yang juga seringkali prinsipalis. Namun, setelah membaca otobiografi dan memoarnya, ternyata sikap kritis tersebut sudah ada sejak masa kecilnya. Sebagai contoh, ketika SMP, KAR pernah diusir oleh guru bahasa Indonesia, karena dianggap sok pintar. Pada perkembangan berikutnya, kitapun bisa melihat “dedegler” nya KAR di dalam mensikapi berbagai masalah sastra Sunda setelah perang (baca: Beber Layar) atau kritik terhadap LBSS di media masa pada tahun sembilan puluhan.

Kalaulah dianggap sebagai “kekurangan” maka hal tersebut bisa dianggap sebagai kekurangan KAR. Atau kalau berfikirnya positif, yang salah itu bukanlah KAR, tetapi orang Sunda pada umumnya, yang belum siap berbeda pendapat secara terbuka.

Terlepas apakah itu kekurangan atau bukan, hal penting yang perlu ditelusuri, bagaimana Ki Sunda bisa melahirkan salah satu rundayannya menjadi KAR?. Apabila membaca Hurip Waras, inti dari keberhasilan KAR dimulai dari “resep maca”. Karena salah satu strategi penting yang harus dibangun ke depan adalah membuka ruang dan memperbanyak buku bacaan agar sejak dini, anak-anak menyenangi bacaan – termasuk bacaan berbahasa Sunda.

Memang ketika ruang itu dibuka, jangan harap semua orang bisa memanfaatkannya, karena dari Jatiwangi juga hanya lahir seorang KAR. Tetapi pengalaman-pengalaman negara maju menunjukkan bahwa dengan dibukanya “ruang” bagi masyarakat untuk rajin membaca, peluang melahirkan orang-orang seperti KAR menjadi semakin besar. Ternyata dengan rajin membaca, orang tidak kalah pinternya dengan yang memiliki ijasah sekalipun (apalagi kalau ijasahnya bukan dari hasil belajar yang sungguh-sungguh).

Kedua, kebiasaan KAR ketika kecil untuk nonton kesenian (wayang kulit), membawa bekas sehingga melahirkan benih-benih rasa bertanggung jawab terhadap eksistensi kesenian. Selain daripada itu, karena sejak kecil sudah hafal kepada konvensi ceritera wayang, sedikit banyak ceritera-ceritera itu telah pula membantu membangun runtuyan logika berfikir dan mengembangkan imajinasi.

Ketiga, apakah lahirnya KAR seperti sekarang ini sesuai juga dengan sinyalemen KAR: bahwa agar orang Sunda maju, harus keluar (berada) dari luar tatar Sunda? (sehingga KAR pun akan menghabiskan masa tuanya di luar tatar Sunda?).

Dengan menulis catatan singkat ini, ada suatu perjalanan pemikiran yang berujung pada pemahaman: “bahwa untuk menjadi moderen, manusia tidak perlu kehilangan ciri-ciri etnisitas dan keagamaannya” atau bisa disebutkan bahwa: “aspek etnisitas dan keagamaan termasuk merupakan ciri pelengkap yang tidak dapat dipisahkan dari kemoderenian seseorang” (selama ini secara sosiologis antara modern dan tradisi termasuk agama sering dibuat dikhotomi).

Berbahagialah orang Sunda, karena telah memiliki tokoh sekaliber Ajip Rosidi. Hatur nuhun Kang Ajip. Panjang umur, istiqomah, khusnul khotimah dan terus berkarya. Untuk ke depan diharapkan ada yang dapat menulis tentang KAR secara lebih lengkap, mendalam dan kritis.

Cigadung, 27 Mei 2003

Sumber : SundaNet

Ridwan Saidi (lahir di Jakarta, 2 Juli 1942; umur 67 tahun) adalah mantan anggota DPR dan seorang budayawan Betawi. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 19771987. Ridwan Saidi menikah dengan Yahma Wisnani dan dikaruniai 5 anak.
Ridwan Saidi, pria kelahiran Jakarta, 2 Juli 1942, ini seorang politisi dan budaywan Betawi. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia ini mantan Ketua Umum PB HMI, 1974-1976 dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 1977-1987.

Saat menjadi anggota DPR, mantan Ketua KNPI (1973-1978), ini hanya memiliki sebuah skuter Bajaj. Namun, ia lebih senang naik bis dan hidup hanya dari gajinya.

Semasa mahasiswa, pernah dua setengah tahun berhenti kuliah. Hanya memiliki celana dua potong, yang satunya malah sobek. Sebelum menyelesaikan pendidikan di FISIP UI, ia pernas studi di Fakultas Publistik, Universitas Padjadjaran 1962-1963namun tidak selesai. Semasa mahasiswa aktif sebagai  Kepala Staf Batalion Soeprapto Resimen Mahasiswa Arief Rahman Hakim (1966), Sekretaris Jendral Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (1973-1975) dan Ketua Umum PB HMI (1974-1976).

Kemudian, ia menjadi Anggota DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, 1977-1982 dan 1982-1987 serta menjadi Wakil Ketua Komisi APBN, 1977-1982 dan Wakil Ketua Komisi X, 1982-1987. Lalu, ia menjadi Ketua Umum Partai Masyumi Baru, 1995-2003.

Budayawan Betawi yang pernah belajar melukis dari bekas teman SMP-nya, Sutradara Ali Shahab ini menjadi Ketua Steering Comittee Kongres Kebudayaan, 2003. Di samping itu aktif sebagai Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Watch dan Ketua Komite Waspada Komunisme.

Suami dari Yahma Wisnani ini juga seorang penulis produktif. Selain menulis di berbagai media massa, ia telah menerbitakn beberapa karyanya, antara lain: Golkar Pascapemilu 1992, 1993; Anak Betawi Diburu Intel Yahudi, 1996; Profil Orang Betawi: Asal muasal, kebudayaan, dan adat istiadatnya, 1997; Status Piagam Jakarta: Tinjauan hukum dan sejarah, 2007.

Kegiatan lain yang pernah dilakukan dan diikuti penggemar musik dan sastra ini antara lain: White House Conference on Youth, Colorado, Amerika Serikat, 1971;  Australia-Indonesia Dialogue, Canberra, Australia, 1981; International Parliament Union Conference, Manila, Filipina, 1982; ASEAN Parliament Conference, Singapura, 1983; Muktamar Rakyat Islam se-Dunia, Irak, 1993;  Babylonian Cultural Festival, Irak, 1994.

Dari sumber Pusat Data dan Analisa Tempo bahwa yang merancang dan membuat lambang baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) — berbentuk bintang sudut lima — ternyata Ridwan Saidi. Menurut Ridwan, mantan Ketua Departemen Organisasi & Pemilu DPP PPP, ini proses pembuatannya hanya satu hari. Tetapi proses pengendapannya yang lama.

Ridwan berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya dulu pegawai negeri yang hidup pas- pasan. Masa prasekolah dilaluinya di madrasah, yang para ustadnya diberi wewenang menghukum anak didik yang nakal.

Ia penggemar seni, terutama sastra dan musik. ”Saya senang jazz. Pertunjukan Tjok Sinsu sapai Jack Lesmana selalu saya tonton,” ujarnya. Dari Wisnani, istrinya, yang asal Minang, Ridwan kini ayah sejumlah anak. Wisnani dulu juga aktivis HMI, lulusan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam UI. 

Pendidikan

  • Kepala Staf Batalion Soeprapto Resimen Mahasiswa Arief Rahman Hakim, 1966
  • Sekretaris Jendral Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1973-1975
  • Ketua Umum PB HMI, 1974-1976
  • Anggota DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, 1977-1982 dan 1982-1987
  • Wakil Ketua Komisi APBN, 1977-1982
  • Wakil Ketua Komisi X, 1982-1987
  • Ketua Umum Partai Masyumi Baru, 1995-2003
  • Ketua Steering Comittee Kongres Kebudayaan, 2003
  • Direktur Eksekutif Indonesia Democracy Watch
  • Ketua Komite Waspada Komunisme

Penerbitan (sebagian)

  • Golkar Pascapemilu 1992, 1993
  • Anak Betawi Diburu Intel Yahudi, 1996
  • Profil Orang Betawi: Asal muasal, kebudayaan, dan adat istiadatnya, 1997
  • Status Piagam Jakarta: Tinjauan hukum dan sejarah, 2007

Kegiatan

Sumber :