DAMPAK HIKIKOMORI TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG DEWASA INI

Posted: 25 Januari 2016 in BUDAYA DUNIA, BUDAYA JEPANG, Gaya hidup

Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia maupun di dunia. Sebagai negara maju, Jepang memiliki sistem pendidikan yang sangat baik. Sistem pendidikan yang mereka jalankan penuh dengan persaingan. Sistem pendidikan dimulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dan setiap siswa diharapkan untuk memiliki jiwa dan kemampuan intelektual yang tahan terhadap persaingan.

Untuk dapat menghadapi persaingan ini, para ibu di Jepang berusaha untuk mempersiapkan putra-putrinya dengan cara memberikan pelajaran tambahan, baik yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah maupun berupa ketrampilan, seperti olah raga atau musik. Harapan para ibu, bahwa nantinya anaknya dapat lulus dalam persaingan, merupakan suatu hal yang baik, terutama bila putra-putri mereka dapat memenuhi harapan orangtua mereka. Namun, tidak semua anak dapat memenuhi harapan kedua orang tuanya. Sehingga harapan ini, menjadi suatu tekanan yang cukup berat dalam menghadapi persaingan di dunia pendidikan, hal inilah yang dapat menimbulkan berbagai macam penyimpangan sosial di Jepang seperti ijime / (penyiksaan terhadap kaum lemah), tookoo kyohi/ (kebiasaan menolak untuk sekolah), hikikomori/ (menutup diri dari lingkungan sekitar), taijin kyofusho/ (ketakutan berhadapan dengan orang lain), otakuzoku/ (terobsesi terhadap anime dan manga) dan sebagainya sering dihadapi oleh siswa sekolah, mulai dari kadar yang ringan sampai yang berat.

Selain pendidikan, Jepang juga memiliki sistem perekonomian yang baik. Hal ini dapat kita lihat dari tidak adanya kesenjangan sosial yang terlalu mencolok di dalam masyarakatnya. Jepang adalah negara maju dan kaya dimana hanya ada dua kelas ekonomi, kelas atas dan kelas menengah, tidak terdapat kelas bawah di dalam masyarakatnya. Dan suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa Jepang merupakan surga bagi pencari kerja karena memang perekonomian mereka telah mengalami
kemajuan yang luar biasa berkat ekspansi industri global perusahaan-perusahaan Jepang, dan hal inilah yang mendatangkan kemakmuran yang luar biasa bagi para buruh dan penduduk di Jepang.

Masyarakat Jepang terkenal dengan orang-orangnya yang pekerja keras. Banyak dari mereka yang lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga mereka sendiri. Di siaran televisi, koran ataupun majalah Jepang sering diberitakan orang meninggal karena kelelahan dalam bekerja. Dan hal ini bukan merupakan hal yang mengejutkan, hal ini dianggap suatu hal yang biasa di Jepang. Tetapi orang muda sekarang, memiliki sifat yang bertolak belakang. Osamu Nakano (2001 : indomedia.com), mengatakan “Orang muda lebih suka bersenang-senang daripada bersakit-sakit, rekreasi daripada kerja keras, konsumtif daripada produktif, dan apresiatif daripada kreatif”. Karena bagi kebanyakan orang muda Jepang, masa kerja keras, bersakit-sakit, produktif, dan kreatif tampaknya sudah lewat. Mereka yang dikenal dengan sebutan next generation atau Gen-X itu barangkali menganggap sudah selayaknya mereka menikmati kemakmuran negara.

Sebagian besar orang tua yang semasa muda belajar dan bekerja keras berpikir, tidak ada salahnya anak-anak menikmati jerih payah orang tuanya (2001:indomedia.com). Pemikiran seperti ini mengandung banyak risiko, banyak generasi muda zaman sekarang yang berpikir, karena telah terbiasa hidup enak jadi tidak mempunyai keberanian dan keinginan untuk hidup mandiri. Masahiro Yamada (2001 : indomedia.com), 10 juta warga Jepang berusia 20 – 34 tahun masih hidup nebeng orang tuanya. Terungkap pula, 80% wanita muda dan 60% pria muda memilih hidup lajang.

Salah satu kelebihan Jepang lainnya adalah budaya disiplin yang terus diterapkan sampai sekarang. Dan dunia luar juga sudah mengenal Jepang dengan gaya hidup seperti itu. Oleh karena itu banyak negara-negara di dunia yang meniru sifat disiplin dari masyarakat Jepang. Karena kedisiplinan merupakan salah satu faktor penting yang mendukung
kemajuan masyarakat Jepang. Jika sikap kedisiplinan ini hilang dari kaum muda Jepang, maka hal ini akan memberikan dampak buruk bagi kemajuan bangsa Jepang itu sendiri. Hilangnya sikap kedisiplinan pada kaum muda Jepang merupakan salah satu gejala awal dari Hikikomori.

Hikikomori merupakan suatu penyimpangan sosial yang terjadi pada kaum muda perkotaan di Jepang yang saat ini menjadi suatu fenomena di Jepang. Menurut Janti dalam Manabu (2006:189), secara singkat Hikikomori dapat didefinisiskan sebagai seseorang yang menutup diri dan mengurung diri dari lingkungan sekitarnya. Hikikomori merupakan suatu masalah sosial yang besar terutama bagi bangsa Jepang karena bila kita melihat jumlah penduduk Jepang, sebagian besar terdiri atas kaum lanjut usia, sehingga Jepang disebut juga sebagai koreika shakai atau masyarakat yang didominasi oleh kaum lanjut usia. Sementara itu, bila dilihat dari jumlah kelahiran, Jepang juga menghadapi penurunan jumlah kelahiran. Karena banyak kaum muda di Jepang yang enggan melakukan ikatan pernikahan. Kalaupun mereka mau menikah, banyak dari mereka yang tidak ingin mempunyai anak. Sehingga pertumbuhan penduduk di Jepang sering digambarkan seperti pyramid terbalik, dimana kaum lanjut usia semakin lama semakin banyak dan kaum muda semakin lama semakin sedikit.

Oleh karena itu, perlu dilihat bagaimana keadaan generasi muda yang merupakan harapan bangsa pada umumnya yang disebut generasi mapan. Ternyata ada kecenderungan penyimpangan yang dikenal sebagai Hikikomori pada generasi muda di Jepang dewasa ini.
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan hikikomori dilihat sebagai fenomena yang ada di Jepang (http://vickery.dk/hikikomori/):
1) Komori : bagian kata hikikomori memiliki arti religius dan tradisional yang mengindikasikan bahwa pengasingan telah berakar dalam sejarah dan adat istiadat masyarakat Jepang.
2) Sekentei : rasa malu terhadap masyarakat dan kecenderungan untuk menutupi masalah keluarga jelas lebih kuat di Jepang dibanding negara lain.
3) Sistem sekolah : tekanan untuk sukses, metode mengajar yang tidak kreatif dan tidak dapat dikritik, sekolah yang kaku, dan adalah alasan spesifik di Jepang untuk mengasingkan diri.
4) Sistem keluarga : struktur keluarga, hubungan ibu, anak dan tradisi dimana orang dewasa muda dapat terus tetap tinggal dengan orang tua adalah keadaan spesifik yang mendukung terjadinya hikikomori.
5) Kolektivitas : tekanan dan ekspektasi dari kelas, perusahaan dan keluarga juga merupakan karakteristik yang khusus di Jepang. Khususnya dewasa yang tidak memiliki kemampuan untuk menjadi mandiri dapat menjadi alasan terjadinya pengasingan diri.
Faktor-faktor di atas dapat menjelaskan mengapa hikikomori muncul dalam bentuk yang ekstrim dan hanya terjadi di Jepang dan secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hikikomori tidak dapat ditemukan dalam skala yang sama di negara lain dan tampaknya ini merupakan suatu hal yang unik di Jepang. (Dari berbagai sumber)

 

Tinggalkan komentar