Archive for the ‘Ras/Suku’ Category

Sebanyak 709.592 Suku She tinggal tersebar di Zhejiang, Jiangxi dan Guangdong, Fujian.  Shes adalah minoritas terbesar di Provinsi Fujian dan Zhejiang, mereka tinggal di desa-desa atau hidup bersama dengan Suku Han. Mereka menyebut diri mereka ‘Shanha’ di mana Shan berarti gunung dan Ha berarti pelanggan, ‘pelanggan dari gunung’.

Sebagian besar tinggal di daerah tinggi berbukit dengan sungai yang mengalir membentuk lembah-lembah. Iklim tempat tinggal Shes termasuk lembab dan tidak begitu dingin. Mereka bercocok tanam, antara lain menanam padi, ubi jalar, gandum, kacang-kacangan, tembakau dan kentang

Kayu dan bambu adalah komoditas komersial yang penting bagi Shes, juga dikenal dengan menghasilkan teh, kacang, rami, jamur, kamper dan obat-obatan herbal. Sumber daya mineral termasuk batubara, besi, emas, tembaga, tawas, grafit, belerang, mika .

Bahasa Suku Shes hampir mirip dengan dialek Hakka salah satu dari 7 dialek di China, dari kelompok Miao – Yao dari Filum Sino – Tibet. Kebanyakan Suku Shes berbicara dalam bahasa national Cina bukan bahasa etnis mereka. Suku Shes di Guangdong berbicara  mirip dengan dialek Suku Miao. Karena tidak memiliki bahasa tertulis sendiri, mereka memilih untuk menulis dalam aksara China.

Shes menyukai lagu2 dan mereka senang beryanyi.Mereka bernyanyi di ladang maupun acara-acara festival khusus, dan setiap tahun Shes berpartisipasi di beberapa festival menyanyi. Mereka kebanyakan lebih menyukai bernyanyi duet.

Kaum wanita mengenakan pakaian yang dibordir dengan hiasan bunga, burung. Mereka juga memakai selempang berwarna cerah dan topi bambu, dihiasi dengan mutiara dan dihiasi sutra merah putih atau renda. Renda juga digunakan untuk menghiasai tepi pakaian.

Di beberapa daerah, wanita mengenakan celana pendek sepanjang tahun. Mereka mengenakan selendang berwarna-warni di pinggang dan jaket dengan renda. Mereka menyanggul rambut mereka di atas kepala dan diikat dengan benang wol merah. Pada hari pernikahannya, seorang pengantin Shes akan memakai pakaian yang dibordir burung phoenix dan diatas sanggul dihiasi dengan jepit rambut perak.

Setiap keluarga suku She diatur dan terikat berdasarakan aturan dari “kuil-kuil leluhur” , hal ini berlaku untuk semua suku yang mempunyai nama keluarga yang sama. Tiap Kuil tersebut memiliki kepala kuil yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa internal, mengelola urusan-urusan umum dan memimpin upacara-upacara pengorbanan. Dalam setiap kuil adalah “rumah” di mana kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan darah hidup bersama.

Suku She menganut asas patrikaal. Namun, wanita suku She menikmati status yang lebih tinggi daripada wanita suku Han, dan pada kenyataannya, kaum pria seringkali tinggal bersama keluarga istri mereka mengadopsi nama keluarga mereka.

Saat ini, perkawinan dalam Suku She menyerupai Suku Han. Sebelumnya, perkawinan diatur oleh orang tua. Mahar yang diberikan termasuk sederhana, antara lain alat2 pertanian, topi yang terbuat dari bambu. Upacara perkawinan juga sederhana. Pengantin pria mengunjungi rumah keluarga pengantin wanita untuk berpesta.

Sampai di sana, pengantin pria duduk di meja kosong, dia akan bernyanyi, memainkan sumpit, minum anggur dan makan makanan yang disajikan diatas meja. Pada akhir pesta, dia akan bernyanyi lagi, kali ini memesan piring kosong yang artinya pejamuan telah usai. Juru masak juga akan menyanyikan lagu2 meramaikan pernikahan.

Pengantin baru akan berdoa untuk nenek moyang mereka dan mengucapkan selamat tinggal kepada kerabat pengantin wanita. Dengan pengantin pria di depan, mereka akan berjalan kaki ke rumah keluarganya, masing-masing memegang payung dan bernyanyi. Orangtua pengantin pria akan menyambut mereka di pintu depan, menyelesaikan upacara pernikahan.

Budaya

Pada abad yang silam, Suku She akan dikremasi jika meninggal dunia, sejak tahun 1940, Suku She mulai mengenal makam, dan sejak itu kebanyakan dimakamkan di pemakaman umum.

Seperti Suku Han, Shes merayakan Festival Musim Semi, Festival Lampion, Pure Brightness Festival ( mengenang arwah2 yang telah meninggal ), Dragon Boat-Racing Festival, Moon Festival dan Double-Ninth Festival. Selain itu, pada hari ketiga bulan ketiga penanggalan lunar, adalah hari libur semua Suku She tidak akan melakukan pekerjaan apapun. Pemujaan leluhur adalah pusat festival yang dirayakan pada hari kedelapan dari bulan ke bulan keempat. Orang-orang memiliki hari libur pada tanggal 19 bulan kedua penanggalan lunar untuk menandai pencapaian Buddha Nirvana.

Secara tradisional, setiap marga dilambangkan dengan sebuah tongkat berkepala naga, suatu tanda Shes yang menyembah Totem. Salah satu legenda mengenai suku She adalah cerita legenda Panhu, yang membantu Kaisar memenangkan pertempuran dengan pemberontak dan memenangkan cinta dari putri. Legenda mengatakan bahwa sang putri Panhu dan mempunyai tiga orang putra dan seorang putri, yang menjadi nenek moyang Suku Shes. Kebiasaan suku She adalah menyembah lukisan legendaris nenek moyang mereka dan membuat kurban persembahan kepada mereka setiap tiga tahun.

Sampai berdirinya People Republic of China, pendidikan telah meluas, dan banyak suku Shes yang tadinya percaya pada roh, mulai berubah, mereka mulai menganut agama. Hanya sedikit yang masih percaya akan roh dan takhayul.

Sejarah

Banyak pendapat yang berbeda mengenai asal-usul sejati Shes. Apakah mereka keturunan Yue’s kuno? Apakah mereka berbagi nenek moyang dengan Yaos? Sebagian besar percaya bahwa nenek moyang suku She awalnya tinggal di Phoenix Mountains di Chaozhou, Provinsi Guangdong. Mereka meninggalkan tempat asal mereka untuk melarikan diri dari penindasan penguasa feodal. Itulah sebabnya mereka menyebut diri mereka “tamu dari pegunungan.”

Di rumah baru mereka, suku Shes diperintah oleh pemerintah pusat untuk pertama kalinya pada abad ke-7, ketika pemerintahan dijalankan di prefektur di Zhangzhou dan Tingzhou di Provinsi Fujian, yang pada saat itu dibawah pemerintahan Dinasti Song (960-1279)

Pada abad ke-14, banyak suku She telah bermigrasi ke daerah pegunungan di bagian timur Fujian, Zhejiang dan timur laut selatan Jiangxi. Walaupun mereka bekerja keras bersama suku Han, masih banyak yang miskin oleh penindasan feodal yang merebut tanah yang besar. Yang lainnya harus bekerja sebagai buruh sewa, atau melarikan diri untuk mencari nafkah. Situasi membaik di bawah Dinasti Ming (1368-1644). Beberapa keluarga yang kaya diperintahkan bekerja untuk kepentingan pengadilan Ming.

Sepanjang sejarah, Shes berjuang melawan eksploitasi dan penindasan yang dipaksakan oleh para penguasa mereka. Selama Revolusi Pertama Perang Saudara (1924-27), petani She di kawasan timur Guangdong terorganisir untuk melawan tuan tanah, dan pemberontakan serupa bermunculan di propinsi Fujian dan Zhejiang. Kegiatan revolusioner meledak di timur Fujian selama Revolusi Agraria (1927-37), dan sebagian besar daerah Shes berada di bawah kuasa petani pekerja-kekuatan demokratis. Suku She membuat kontribusi besar untuk perjuanganAnti-Jepang (1937-45) dan dalam perjuangan melawan Kuomintang.

Referensi :

Photo by Chen Hai Wen

Travelguidechina.com

china.org.shaosuminchu

sumber2 lain etnis minoritas di China

Sumber : Sofie Mou,http://baltyra.com

Etnis Dong (侗族, pinyin: Dong Zu, baca: tung cu) berjumlah 2.960.293, mayoritas menghuni Provinsi Guizhou dan Hunan, dan juga Guangxi Zhuang Autonomous Region. Etnis Dong merupakan sub-group dari orang Yue dari jaman dulu, yang dipercaya merupakan asal usul Etnis Han (terbesar di China dan dunia).
Sejarah
Etnis Dong diperkirakan berasal dari Africa yang bermigrasi ke arah timur melintasi India, bergerak ke utara memasuki daratan China. Kelompok inilah yang disebut dengan Orang Yue. Sichuan dan Yunnan adalah tempat di mana mereka berhenti dan settle di sana di sekitar tempat yang sekarang dikenal sebagai Sichuan – Gansu – Shanxi dan dipercaya sebagai nenek moyang Etnis Han.
Sementara itu ada juga kelompok Orang Yue yang berlanjut migrasi mereka ke selatan, memasuki wilayah Asia Tenggara, yang kemudian dikenal sebagai Etnis Tai, diperkirakan adalah nenek moyang orang Thailand sekarang ini. Beberapa kelompok masih berlanjut ke selatan, tapi mentok terhadang samudra, kemudian berbalik lagi ke arah utara menyusuri pesisir, memasuki daratan China dan menjadi nenek moyang Etnis Dong di Guizhou – Hunan – Guangxi, dan ada juga yang menetap di Vietnam dikenal dengan nama yang sama sekarang, Orang Dong di sana.
Sekarang Etnis Dong dapat ditemukan tersebar di sekitar 20 counties di selatan China membentang di 3 provinsi.

Bahasa
Walaupun berjumlah kecil, namun Etnis Dong berbicara dalam berbagai dialek setempat. Dialek mereka terbagi menjadi 2 kelompok, utara dan selatan, dan di dalam masing-masing kelompok ada beberapa dialek lain. Bahasa lisan Etnis Dong memiliki rumpun fonetik yang sama dengan bahasa Etnis Dai (dan sama juga dengan Cantonese, menurut beberapa ahli).
Kebiasaan dan Tradisi
Etnis Dong biasanya tinggal berkelompok dalam desa-desa yang masing-masing dihuni sekitar 20-30 keluarga. Mereka membangun desa-desa mereka dekat dengan sungai atau anak sungai. Ada beberapa pengecualian desa besar yang terdiri dari 700 keluarga.
Rumah mereka berbahan kayu cemara, biasa terdiri dari 2-3 lantai. Rumah yang berdiri di tebing atau tempat yang sedikit curam, strukturnya ditopang dengan penyangga tambahan. Orang-orang tinggal di lantai atas, sementara lantai bawah biasanya untuk kandang ternak dan penyimpanan kayu bakar. Di masa lalu, para penguasa desa, tuan tanah atau yang kaya, tiang-tiang penyangga rumah mereka diukir dan dicat dengan warna-warni indah. Jalan di desa dipadatkan dan dilapisi bebatuan, dan biasanya ada kolam-kolam ikan yang tersebar di seluruh penjuru desa.

Makanan
Makanan pokok dari Etnis Dong adalah beras, millet, jagung, gandum, sorgum dan beras ketan. Oil tea adalah minuman favorit mereka, yang juga dapat menjadi sarapan mereka. Bahan-bahan tea oil termasuk kacang tanah, wijen, kedelai, daun teh, dan sebagainya. Etnis Dong juga menyukai acar dan makanan asam.

Ekonomi dan Kerajinan
Mata pencaharian utama Etnis Dong adalah di bidang pertanian, kehutanan dan industri seni. Para wanita mahir memintal dan menyulam brokat; mereka suka menyulam pola hewan, tumbuhan, barang, dan bahkan legenda. Sebagian besar pakaian mereka sendiri yang dibuat dalam warna biru, hitam, putih dan ungu. Mereka juga terampil dalam seni lukis, ukiran dan perak berukir.
Agama
Etnis Dong memiliki keyakinan animisme, percaya segala sesuatu memiliki roh dan dewa-dewa – tanah, air, sapi, dan roh leluhur, dll Setiap kali ada bencana alam atau penyakit, Etnis Dong orang akan berpikir bahwa setan yang bertanggung jawab dan dukun desa akan mengadakan upacara mengusir roh jahat..

Teknik Bangunan & Arsitektur
Ciri khas yang paling menonjol adalah Drum Tower. Bangunan yang menjadi pusat kehidupan desa ini adalah bangunan paling menonjol dan memiliki kekuatan arsitektur dan teknik bangunan yang tinggi. Yang paling indah dan terkenal adalah Drum Tower di Gaozhen Village, Guizhou, berdiri megah menjulang 13 tingkat, dihiasi dengan ukir-ukiran naga, burung hong/phoenix, bunga dan burung.
Di hari-hari besar Etnis Dong, mereka akan berkumpul dan merayakannya di depan bangunan Drum Tower ini. Salah satu perayaan paling meriah adalah Tahun Baru Imlek yang dirayakan dengan besar-besaran dan sangat meriah.
Banguan Drum Tower bisa bersegi 8 atau 6, bisa juga berbentuk persegi. Seluruh konstruksi bangunan dihubungkan dengan pasak, dan susunan kayu bersilang sehingga saling menguatkan. Seluruh struktur Drum Tower dibangun tanpa menggunakan paku atau paku keling sama sekali.
“Catalpa Carpenters” adalah sebutan untuk tukang kayu dan arsitek Etnis Dong. Ketika merancang drum tower dan jembatan beratap serta rumah-rumah penduduk, alat ukur yang digunakan adalah alat pengukur tradisional yang disebut dengan “Carpenter rod”. “Carpenter rod” terbuat dari bambu, sayang sekali, tidak ditemukan foto atau gambar alat canggih tradisional ini.

Pintu gerbang Dong Mountain Village adalah semacam struktur kayu yang disebut “Xian” oleh Etnis Dong. Untuk desa-desa dengan penduduk sekitar 100 keluarga, gerbang ini berukuran sekitar 1.6m dan tinggi 3m.
Sementara untuk desa yang lebih besar, gerbang desa berukuran lebih besar dan dihiasi ukiran atau hiasan halus lainnya.
Dari perspektif Fengshui (geomansi), gerbang desa memainkan peran penting dalam melindungi energi vital dan menjaga ventilasi. Dan yang lebih penting adalah, gerbang memainkan peran penting dalam ritual. Gerbang Desa ini merupakan simbol masyarakat yang sarat dengan budaya dan kearifan lokal.
Roofed Bridge adalah bukti lain keunggulan Etnis Dong dalam teknik bangunan. Sering disebut juga dengan gallery bridge atau pavilion bridge, adalah jembatan dengan sejenis kayu balok berpenopang. Di daerah kediaman Etnis Dong, ada banyak sungai besar dan kecil, sehingga hampir di semua desa Etnis Dong memiliki roofed bridge ini. Banyak di antara desa-desa yang memiliki lebih dari 1 jembatan ini.
Fungsi lain selain sebagai jembatan adalah sebagai tempat berteduh dalam perjalanan mereka naik turun gunung. Fungsi utama roofed bridge ini adalah tempat berkumpul dan bertukar cerita sehari-hari Etnis Dong.
Roofed Bridge yang terbesar dan paling terkenal adalah Roofed Bridge Chengyang di Desa Ma’an Sanjiang, Guangxi. Mencapai panjang 78m, memiliki dua platform, tiga tiang dan lima bangunan. Struktur tertinggi adalah bangunan yang di tengah, memiliki puncak berbentuk heksagonal.

Dalam pandangan Etnis Dong, roofed bridge adalah “jembatan hidup” untuk menghubungkan dunia fana dan dunia akhirat sekaligus merupakan “jembatan berkat” yang melindungi penduduk desa serta simbol memupuk kekayaan.

Budaya dan Festival
Bridge Picnicking
Menurut kepercayaan Etnis Dong, naga yang menjaga keselamatan satu desa, akan menengadahkan kepalanya di Bulan Dua tanggal 2 penanggalan China. Penduduk desa akan bermain musik dan tetabuhan, menghormati ternak-ternak di desa itu. Seperti Etnis Zhuang, yang memuja kodok/katak karena kehidupan mereka bergantung pada bertani/pertanian, sama halnya dengan Etnis Dong, mereka memuja sapi.
Dong New Year
Berbeda dengan Tahun Baru Imlek, Dong New Year adalah festival tradisional untuk Etnis Dong yang tinggal di Guizhou tenggara. Tanggal kesempatan itu berbeda-beda menurut masing-masing daerah tetapi biasanya jatuh pada periode dari 1 hari kesebelas bulan lunar ke-11 hari. Namun, ada pengecualian untuk beberapa desa, festival berlangsung di bulan kesepuluh. Alasannya adalah waktu setelah panen musim gugur. Dengan kata lain, ini adalah waktu untuk istirahat dan bersantai setelah satu tahun kerja keras.

Dong New Year adalah perayaan yang sangat penting bagi Etnis Dong layaknya sebagai Festival Tahun Baru Imlek bagi Etnis Han. Sebelum Dong New Year tiba, mereka membuat pakaian baru, membersihkan rumah, membuat kue beras ketan, menyembelih babi dan sapi untuk pesta.
Sisters Festival
Dirayakan setiap tanggal 8 Bulan Empat penanggalan China, di mana para wanita yang sudah menikah akan mengadakan upacara kembali ke rumah orangtua mereka, bersama dengan kakak-adik perempuan dan para ipar perempuan mereka. Makanan istimewa di hari ini adalah kue yang terbuat dari ketan hitam. Ketika selesai dan mereka kembali ke rumah, mereka akan membawa kue ketan hitam yang disisihkan khusus untuk dipersembahkan kepada suami mereka.
Bullfighting Festival
Etnis Dong menikmati perkelahian manusia melawan banteng, sehingga semua desa menyiapkan banteng petarung yang baik sejak dini. Festival ini dirayakan pada hari Hai dalam delapan atau sembilan bulan, tepatnya tanggal yang bervariasi dari tahun ke tahun [secara tradisional orang China menunjuk tahun, bulan, hari dan jam adalah dengan menggunakan sistem yang menggabungkan salah satu dari 10 Cabang Surga (Tian Gan) dan salah satu dari 12 Cabang Duniawi (Di Zhi) untuk membentuk 60 pasangan unik dalam satu siklus lengkap]. Festival ini benar-benar unik dan menarik untuk dilihat. Festival biasanya berlangsung selama 3-5 hari.
Pipa Ge atau Balada Kecapi
Ini terdapat di daerah di mana dialek Dong Selatan digunakan secara luas. Balada ini ada 2 kategori utama: yang lirik dan cerita, yang isinya mencakup berbagai bidang, termasuk sejarah, mitologi, pernikahan, hubungan cinta, adat istiadat, dan komunikasi sosial, dll. Balada ini banyak variasi dalam penyajiannya, dari bentuk nyanyian sampai dengan isinya.
Referensi & foto:
chinatravel.com
china.org.cn
chinadaily.com
chinaculture.org
wikipedia
Catatan pribadi, buku, risalah, majalah
Chen Hai Wen

Etnis minoritas Maonan berpenduduk 107.166, tinggal di bagian utara Daerah Otonomi Guangxi Zhuang, terutama di daerah Maonan HuangJiang. Sebagai salah satu kelompok etnis di China yang tinggal di daerah pegunungan, Moanan memiliki populasi yang sangat kecil. Mereka menyebut diri mereka Anan, yang artinya “orang yang hidup di daerah ini”.

Komunitas Masyarakat Maonan hidup di daerah sub-tropis ditandai dengan iklim yang sejuk dan pemandangan yang indah, dengan bukit-bukit batu menonjol, di antara dataran yang rendah. Ada banyak sungai kecil yang dapat digunakan untuk mengairi sawah. Tanaman yang tahan akan kekeringan ditanam di daerah Gunung Dashi mana air adalah barang langka. Selain padi, tanaman pertanian termasuk jagung, gandum, ubi jalar, kedelai, kapas dan tembakau. Kawasan ini berlimpah sumber daya mineral seperti besi, mangan dan merkuri. Suku Maonan dikenal dengan keahlian dalam membesarkan sapi potong, yang dipasarkan di Shanghai, Guangzhou dan Hong Kong.

Suku Maonans dengan marga Tan mendominasi 80 persen dari populasi. Legenda mengatakan bahwa nenek moyang mereka sebelumnya tinggal di Propinsi Hunan, kemudian berimigrasi ke Guangxi dan menikahi perempuan lokal yang berbicara dengan dialek Maonan. Suku Maonan lainnya yang bermarga Lu, Meng, Wei dan Yan, mempunyai rumah leluhur di Shandong dan propinsi Fujian. Asal usul lain yang dipercaya, Maonan sebenarnya adalah kelompok etnis asli di Lingxi. Saat ini Lingxi telah berubah nama menjadi Guangxi. Meskipun populasi kecil, Maonans sudah dikenal sejak jaman dahulu.

Bahasa Maonan cabang dari Dong-Shui dari kelompok bahasa Zhuang dari keluarga bahasa Tibet-Cina. Hampir semua Maonans menguasai bahasa Han dan bahasa Zhuang karena sejak dahulu telah saling mengenal.

Sejarah dan Budaya

Daerah Maonan berkembang sangat lambat, dikarenakan tertindas penjajahan. Pada akhir Dinasti Ming (1368-1644), Maonans masih mengunakan cangkul dan bajak kayu. Berbagai peralatan besi digunakan pada saat Dinasti Qing (1644-1911), ketika tanah secara bertahap dibagikan dan adanya pembagian tingkatan kehidupan menjadi berbeda. Ada buruh tani yang tidak memiliki satu inci tanah, petani miskin yang memiliki sedikit tanah, petani menengah dan tuan tanah dan petani kaya yang memiliki jumlah tanah yang besar. Tuan tanah dan petani kaya dengan kejam mengeksploitasi buruh tani dan petani miskin dengan cara menyewakan tanah dan memungut riba. Banyak budak2 wanita dibeli oleh tuan tanah atau dipaksa karena hutang yang belum dibayar untuk melayani tuan tanah sepanjang hidup mereka.

The Maonans dengan nama keluarga dari marga-marga yang sama biasanya hidup bersama di desa kecil dengan hanya beberapa rumah tangga. Desa terbesar terdiri dari tidak lebih dari 100 rumah tangga. Rumah mereka dan pakaian pada dasarnya sama dengan Suku Han dan Zhuang. Rumah memiliki dua tingkat, lantai kedua digunakan sebagai tempat tinggal dan lantai dasar untuk ternak.

Makanan utama dari Maonans adalah beras dan jagung, kentang manis dan labu. Mereka juga menyukai tembakau, alkohol, teh dan cabai. Mereka memanen ubi jalar besar mengeringkannya di bawah sinar matahari dan meninggalkan di tempat terbuka pada malam hari menjadi basah kuyup oleh embun. Setelah itu pada hari ke 20 atau lebih, ubi jalar dikukus dan dinikmati sebagai salah satu makanan yang lezat.

Keluarga Maonan umumnya kecil dan monogami.  Di masa lalu, pernikahan semua diputuskan dan diatur oleh orang tua. Ada kebiasaan seperti “tidak tinggal di rumah keluarga suami,” dan apabila Kakak meninggal terlebih dahulu , adik laki-laki akan menikahi istri kakak, pernikahan kembali itu sangat terbatas.

Ketika seseorang meninggal, seorang pendeta Tao akan diundang untuk membaca kitab suci dalam prosesi pemakaman, anak dari orang yang meninggal akan “membeli air” di sungai atau di sumur untuk mencuci jenasah. Sebelum pemakaman, darah ayam disemprot ke kuburan untuk memberkati roh almarhum dan melindungi keturunannya.

The Maonans merayakan Festival Musim Semi, Zhongyuan Festival dan Pure Brightness Day, mirip dengan Suku Han dan Zhuang. Salah satu perayaan yang unik adalah Festival Fenglong, dirayakan dengan mengorbankan persembahan kepada Tuhan dan nenek moyang mereka dan berdoa untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Para putra putri yang telah menikah dan kerabat yang tinggal di tempat lain kembali ke desa asal mereka untuk perayaan. Salah satu makanan khas pada perayaan ini adalah beras lima warna.

Di masa lalu, ada banyak hal yang ditabukan, seperti tidak bekerja pada hari raya festival. Setelah tahun 1949, perayaan pernikahan dan pemakaman disederhanakan, dan beberapa kepercayaan berdasarkan takhayul dihilangkan.

Menyanyi merupakan kegiatan yang disukai oleh Maonans. Selain itu, mereka juga menikmati “opera Maonan,” berdasarkan cerita rakyat dan legenda, menggambarkan hubungan cinta, perjuangan, suka dan duka kehidupan dan cerita2 rakyat jaman dahulu.

Hasil tenun dan ukiran Suku Maonan memiliki gaya yang unik. Hasil tenun yang terkenal adalah topi dan bambu dihiasi bunga. Tudung bambu terkenal dengan sebutan Dingkahua menjadi barang dagangan Maonan. Topeng kayu diukir dengan halus, keliatan seperti hidup dikerjakan dengan pekerjaan tangan yang indah. Batu diukir menjadi meja dengan hiasan dari naga dan phoenix, unicorn.

Didesa Nanmu wilayah Zhongnan, suku Maonan mahir menempa perak menjadi gelang, kalung, dan keahlian ini diwariskan turun temurun.

Suku Maonan dikenal dengan sopan santunnya dan ramah, memanggil setiap saudara dan saudari lainnya ketika mereka bertemu. Ketika tamu berkunjung, mereka menghibur mereka dengan menyuguhkan makanan yang terbaik.

Dari generasi ke generasi, Suku Maonan selalu tinggal di daerah pegunungan. Batu dipegunungan banyak digunakan mereka untuk membangun rumah. Batu digunakan untuk mendukung rumah mereka yang bertingkat. Batu ubin digunakan dihalaman rumah. Batu tambang digunakan untuk membangun fondasi dan dinding rumah, bahkan semua kusen pintu, meja, bangku, tempat tidur wadah air semua terbuat dari batu yang berukir.

Setelah revolusi pada tahun 1949, Suku Maonan kebanyakan menganut agama Buddha dan percaya aliran taoisme.

Referensi :

Photo by Chen Hai Wen

Travelguidechina.com

china.org.shaosuminchu

sumber2 lain etnis minoritas di China

Hainan, sepotong wilayah China yang terbesar di luar Mainland. Kalau menurut Pemerintah China, Pulau Hainan adalah yang kedua setelah Taiwan. Tidaklah perlu mempersoalkan status Taiwan di sini, karena yang akan dibahas adalah penghuni Pulau Hainan.

Hainan dikenal cukup luas di Indonesia dan Asia Tenggara karena kuliner khas’nya, yaitu ‘nasi hainan’ ada yang menyebut ‘nasi hainam’. Letak perbedaan lafal “nan” dan “nam” hanyalah pengaruh dialek saja. Lafal Mandarin memang di sebut NAN yang berarti selatan (), yang pengucapannya menjadi NAM dalam dialek provinsi-provinsi Selatan China, terutama Hokkian, walaupun kadang diucapkan juga dengan LAM.

Pulau Hainan merupakan rumah bagi Etnis Li (黎族, Li Zu, baca: Li Cu), yang mencapai jumlah sekitar 1.247.814 jiwa, mayoritas bertempat tinggal di Tongze, ibukota Hainan Li-Miao Autonomous Prefecture. Selain di sini, Etnis Li juga tersebar di seluruh wilayah China, berbaur dengan etnis yang lain.

Terletak di kaki gunung Wuzhi, termasuk kawasan tropis dan sub-tropis sekaligus, menjadikan wilayah ini dikaruniai tanah subur dan banyak curah hujan. Wuzhi Mountain mungkin lebih terkenal dalam kisah “Perjalanan ke Barat” (Journey to The West, 西游记, Xi You Ji, baca Si You Ci), di mana si Kera Sakti yang dihukum oleh Buddha (atau Dewi Kwan Im?) ditindih oleh Wuzhi Mountain (Gunung Lima Jari) ini selama 500 tahun, sampai dibebaskan oleh Gurunya si Pendeta Tong Sam Cong.

Etnis Li berasal dari cabang turunan orang Baiyue dan Luoyue di West Han Dynasty, Li dan Man di East Han Dynasty, serta Li dan Liao di masa Sui dan Tang Dynasty. Semua kelompok masyarakat itulah yang menjadi cikal bakal Etnis Li sekarang ini. Kawin mawin, beranak-pinak, silih berganti dinasti, sampai sekarang inilah Etnis Li modern.

Karena keberagaman Etnis Li dalam keseharian mereka – dalam berpakaian, dialek, aksen, kebiasaan sehari-hari dan perbedaan tempat tinggal – di kalangan mereka sendiri berbeda penyebutan diri mereka. Nama-nama mulai dari Qi, Meifu, Run, dan Sai umum digunakan untuk penyebutan group satu dengan lainnya.

Bahasa

Rumpun bahasa Etnis Li masih dalam rumpun Zhuang, Tong dan Li, dan merupakan percabangan dari Han-Tibetan Language. Aksen dari satu tempat ke tempat lain berbeda. Mereka tidak punya bahasa tulis sendiri seperti beberapa etnis minoritas lainnya.

Bentuk Rumah

Etnis Li tinggal berkelompok dan membangun perkampungan mereka dekat dengan sungai dan gunung. Biasanya di sekeliling rumah ditanami pepohonan bambu untuk peneduh dan penyejuk. Rumah tradisional mereka berpagar dan berbentuk seperti perahu dengan penutup, berlantai 2, atapnya melengkung dan sebagian tertutup kaca.

Kayu gelondongan digunakan untuk penyangga, lantai dan dinding terbuat dari bambu. Seperti rumah-rumah tradisional suku-suku minoritas lain, lantai bawah digunakan sebagai kandang ternak dan binatang peliharaan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pengaruh modernisasi makin memengaruhi design rumah Etnis Li menjadi seperti rumah modern kebanyakan.

Pakaian

Warna favorit mereka adalah hitam. Teknik pemintalan dan penenuna mereka memiliki sejarah yang panjang. Kain brokat Etnis Li menjadi salah satu pilihan kaisar-kaisar yang berkuasa di China dari satu dinasti ke dinasti lainnya.

Berbahan katun dan linen, mereka memintal, menenun, mewarnai, menjahit dan membordir dengan tangan mereka sendiri, tidak ada campur tangan mekanisasi sama sekali.

Para wanitanya memakai mantel tanpa kerah dan berkancing, memakai baju yang pas dan sedikit ketat di tubuh. Untuk tata rias rambut, mereka biasa mengepang atau menguncir rambut mereka, ditambah dengan tusuk rambut dari tulang, terkadang ditutup dengan kain berbordir menjadi semacam konde.

Wanita Etnis Li sangat menyukai berbagai asesoris yang dikenakan di sekujur tubuh, mulai dari leher, tangan, lengan, kepala, telinga dsb. Di beberapa tempat malah masih memertahankan budaya tattoo mereka. Tattoo ini tempatnya di badan, muka, tangan dan pergelangan tangan. Motif tattoo mereka biasanya bercorak etnis dan tribal tradisional mereka. Namun, mayoritas wanita yang lahir setelah tahun 1940’an, mereka tidak melakukan tattoo lagi.

Untuk para pria, mereka tidak memiliki satu kekhasan berpakaian, kebanyakan biasa-biasa saja dan cenderung sama dengan kebanyakan pria Etnis Han. Untuk tata rambut, jika berambut pendek, seperti kebanyakan pria pada umumnya, yang berambut panjang, mereka ikat ke belakang kepala.

Salah satu yang paling khas adalah “nose flute” meniup seruling dengan hidung, yang mana pemain-pemainnya makin sedikit di dunia ini disebabkan karena generasi mudanya tidak begitu peduli dengan warisan budaya nenek moyang mereka.

Budaya Makan

Makanan pokok Etnis Li adalah nasi. Tomat dan jagung banyak juga dimakan menjadi pendamping nasi yang paling mereka sukai.

Salah satu makanan khas mereka disebut dengan Leigong Root, sejenis rempah-rempah liar, yang dimasak dengan ikan kecil dan udang yang ditangkap di sungai-sungai, atau bisa juga dimasak daging dan tulang, menjadikannya salah satu sajian lezat khas Etnis Li.

Etnis Li juga menyukai makanan yang terbuat dari ketan. Mereka juga membuat minuman dari hasil fermentasi ketan, serupa dengan arak beras atau tuak di Indonesia. Minuman ini dianggap istimewa dan digunakan untuk menjamu tamu kehormatan.

Makanan khas yang lain lagi adalah Bamboo Rice. Cara membuatnya, beras dan daging dicampur, dimasukkan ke dalam bambu yang berlubang di satu sisi, dan tertutup di sisi lain. Kemudian bambu ditutup dengan vanilla atau pisang raja. Setelah diisi air secukupnya, bambu-bambu tsb dipanggang di atas api. Bamboo rice ini merupakan delicacy yang sangat khas Etnis Li.

Kekhasan yang lain adalah kegemaran Etnis Li menginang/menyirih. Suguhan nginang untuk tamu adalah tanda penghormatan mereka terhadap tamu itu. (Selengkapnya: Nginang).

Etnis Li juga makan berbagai jenis tikus, tikus gunung, tikus sawah, tikus rumah dan beberapa jenis tikus yang lain, yang dimasak menjadi berbagai jenis hidangan.

Festivals

Spring Festival atau lebih dikenal di Indonesia dengan Imlek, merupakan hari penting juga untuk Etnis Li, sama seperti mayoritas penduduk China. Mereka akan menyiapkan Nian fan dan Nian jiu (hidangan dan arak Tahun Baru), dan juga Deng ye (semacam rice cake).

Hari pertama Tahun Baru Imlek, mereka tinggal di rumah dan bersembahyang kepada leluhur. Di hari ke 2, mereka akan keluar rumah dan berkunjung ke sanak saudara dan tetangga untuk saling mengucapkan selamat Tahun Baru.

Di hari ke 3 adalah khas Etnis Li. Mereka akan mempersiapkan acar-acaran dari sayuran yang dipetik dari lahan mereka, arak dan kue-kue untuk dibawa sebagai buah tangan kepada sesepuh desa di mana tinggal. Kemudian dilanjutkan dengan acara para pria muda berburu dan menangkap ikan, para wanitanya membakar ikan dan menanak nasi. Ketika senja tiba, acara tari-tarian dan menyanyi lagu-lagu daerah dimulai.

Acara ini sekaligus menjadi ajang mencari jodoh pria dan wanita yang masih single. Pria dan wanita muda yang menemukan pasangan yang dirasa cocok, mereka akan berbagi makan Deng ye (rice cake) yang diisi gula-gula di dalamnya. Si wanita akan memakaikan ikat pinggang yang berwarna cerah yang dibuat dengan tangannya sendiri ke pinggang si pria, sementara si pria akan mengenakan anting serta hiasan kepala ke si wanita.

Kehidupan Beragama

Etnis Li memuja Leluhur dan Alam, serta memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatunya memiliki jiwa, roh dan kehidupan. Etnis Han memengaruhi mereka dengan ajaran Taoisme. Juga kekristenan yang menyebar sejak para misionaris mewartakan ajaran Kristen. Ada gereja juga di Panyang Region di Ledong County.

Tabu dan Pantangan

Pantangan mengerjakan lahan pertanian

Pantangan untuk mengerjakan pekerjaan pertanian pada Hari Persembahan Yang Meninggal dilaksanakan. Biasanya di keluarga yang baru saja mengalami kematian salah satu anggota keluarganya. Pantangan ini berlaku 3 tahun berturut-turut.

Hari Persembahan ini diperingati setiap tahun, yaitu hari di mana anggota keluarga tsb meninggal.

Pantangan seputar pernikahan

Sangat ditabukan perkawinan antara dua orang yang masih bersaudara, baik dekat maupun jauh. Sajian dari ayam yang berwarna putih dipantangkan, karena dipercaya kalau disajikan dan memakan sajian dari ayam yang berwarna putih, pasangan yang menikah tsb akan sering bertengkar di kemudian hari.

Pantangan seputar kematian

Dalam masa berkabung, keluarga yang ditinggalkan tidak diperkenankan mengenakan pakaian mereka seperti seharusnya. Pakaian harus dikenakan terbalik, dalam 2 arti, terbalik bagian dalam dan luar juga terbalik depan belakangnya. Tidak diperkenankan mandi dan keramas di hari-hari berkabung tsb.

Juga dilarang membunyikan bunyi-bunyian, bernyanyi bahkan bersenandung sekalipun, juga dilarang mengerjakan pekerjaan pertanian. Nasi juga tidak diperkenankan untuk disajikan kepada anggota keluarga, namun daging, arak dan jenis pangan selain padi diperbolehkan.

Referensi & foto:
chinatravel.com
china.org.cn
chinadaily.com
chinaculture.org
wikipedia
Catatan pribadi, buku, risalah, majalah
Chen Hai Wen

Sejak beribu-ribu tahon orang Tionghoa menganggap bahwa mereka adalah turunan dari dua emperor Yan dan Huang. Menurut sejarah dan legenda kira2 5000 tahon yang lalu di negara Tionkok terdapat tiga golongan masyarakat yang terpenting. Tiga golongan ini hidup dan bercocok tanam di tepi sungai Huang-he (Sungai Kuning) dan Chang-jiang (Sungai Yangtse). Tiga golongan masyarakat ini adalah:

1. Masyarakat yang dipimpin oleh Yan-di (emperor Yan) orang Tionghoa juga menamakan beliau “Yan besar”. Golongan masyarakat ini hidup didaerah yang itu waktu disebut Jiang-shu. Sekarang tempat2 ini terkenal sebagai Bao-ji di provinsi Shaan-xi. Golongan masyarakat ini memakai nama dari tempat  mereka lahir, karenanya mereka ini disebut orang2 Jiang atau orang2 Jiang-Yan.. Penemuan2 archeologis membuktikan bahwa orang2 Jian-Yan hidup menurut kebudayaan batu yang chusus bagi mereka sendiri. Kebudayaan Jiang-Yan sangat berbeda dengan kebudayaan golongan masyarakat yang tinggal di pusat Ganshu-Qinghai dan Si-Chuan yang berkembang dalam masa yang bersamaan. Yan-di adalah emperor yang terkenal dengan penemuannya dalam bidang pertanian. Beliau mengajar rakyatnya bagaimana harus menanam gandum, karenanya beliau dinamakan oleh orang2 Tionghoa Shen-nong atau “Dewa pertanian atau Dewa petani.” Yan-Di juga terkenal dengan percobaan2nya dalam obat2 ramuan (Materia Medica) untuk pengobatan bagi orang2 yang sakit. Buku materia Medica yang beliau tulis ternama dengan titel “Shen Nong Ben Cao Jing”.Didalam buku tsb.diuraikan 365 macam obat2an dan merupahkan pharmacopae pertama didunia dan merupahkan handbook para dokter pada jamannya. Sampai sekarang pun buku tersebut masih sering disitir dalam kedokteran Tionghoa (Zhong Cao Yao). Orang2 Jiang-Yan kemudian bergerak menuju ke timur jurusan Shan-dong. Keturunan mereka berpencaran di daerah2 Henan, Hubei, Shandong bahkan sampai Gansu dan Qinghai. Shen-Nong meninggal sewaktu beliau mencobah ramuan2, dimana beliau memakai dirinya sebagai orang percobahan. Kuburan Shen-Nong dapat ditinjau di gunung Tian-Tai.

Shen Nong

2. Masyarakat yang dipimpin oleh emperor Huang-Di (dibarat terkenal dengan julukan Yellow Emperor). Golongan masyarakat ini asalnya dari Sungai Ji. Penduduknya dapat nama-keluarga Ji. Masyrakat Ji ini daerahnya sebelahan dari masyarakat Jiang-Yan yang tinggal di Shaan-xi. Menurut legenda orang2 Tionghoa Yan-Di dan Huang-Di adalah saudara kandung dan ibunya ialah Fu-Biao. Fubiao adalah selir dari emperor You-Xiong,, beliau adalah emperor dari daerah yang sekarang dikenal sebagi Xinsheng dan Henan. Karena kedua emperor adalah saudara sekandung maka penduduk dari kedua daerah ini dibolehkan saling nikah. Kemudian karena salah paham kedua masyarakat ini berselisih mengenai sebuah daerah, diantara kedua masyarakat ini timbullah peperangan. Dalam peperangan ini masyarakat Jiang-Yan kalah dan kedua masyarakat ini kemudian disatukan dan dipimpin oleh The Yellow Emperor (Huang-Di). Huang-Di dilahirkan didaerah Shou-Qiu, tidak jauh dari Qu-Fu,tempat kelahiran Kong Fu-Zhi (Confucius), filosof Tionghoa yang besar. Karena Huang-Di, (Huang berarti kuning), maka untuk orang Tionghoa warna kuning adalah warna yang suci. Rakyat tidak boleh memakai baju berwarna kuning, warna ini chusus dipakai untuk raja2 Tiongkok. Huang-Di dianggap oleh Rakyat Tiongkok sebagai bapak dari civilization dan kebudayaan Tionghoa. Maka timbullah kata2 ras kuning (orang Tionghoa), dan Sungai Kuning dianggap sebagai sumber dari kebudayaan Tionghoa. Namun penemuan2 dan analyse dari berbagai kultur Neolitis di daerah Qing-Lian Gang di propinsi Jiangsu, Da-Wen-Kou di propinsi Shan-Dong dan Ma-Jia Bang di propinsi Zhe-Jiang menunjukkan bahwa perkembangan dari civilisasi Tionghoa sebetulnya bersumber di berbagai daerah. Daerah2 ini adalah The Yellow River valley, Chang-Jiang River (sungai Yang Tse) Valley dan Zhu-Jiang River (Pearl River) Valley dan lain2. Di-daerah2 yang subur ini karena berlainan lokasinya dan hawa udaranya, maka dalam seluruh periode prehistoris berkembanglah berbagi-bagi kultur dan norma2 hidup.

3. Masyarakat yang dipimpin oleh Chi-You, golongan masyarakat ini bergerak ke central China dan didaerah Hebei, mereka sering berperang dengan koalisi dari tentara Jiang-yan dan Huang-Di. Tentara koalisi ini dipimpin oleh The Yellow Emperor.  Legenda mengatakan bahwa Chi-You dan rakyatnya menyerbu Shan-dong dan berperang dengan masyarakat yang dipimpin oleh Yan-Di, dan kemudian Yan-Di mundur keberbatasan dengan Huang-Di. Huang-Di membantu saudaranya dan ber-sama2 memukul tentara Chi-You. Mereka menundukkan Chi-You di daerah Zhuo-Lu, satu daerah yang sekarang dikenal antara kota Beijing dan Zhang-Jia Kou di barat-utara Tiongkok, propinsi Hebei. Chi-You melarikan diri ke selatan. Sesudah peperangan ini terjadilah konflict antara dua saudara Yan dan Huang. Yan-Di dikalahkan dalam peparangan ini dan melarikan diri ke selatan, rakyatnya yang tetap tinggal di utara, bercampur dengan rakyat dari Huang-Di dan juga dengan rakyatnya Chi-You. Maka ketiga masyarakat ini disatukan dibawa pipimnan Huang-Di. Masyarakat ini kemudian bermigrasi ke central China dan menamakan dirinya bangsa Hua, nenek moyang dari bangsa Han. Rakyat yang disatukan ini kemudian berkembang biak di Central China dan terkenal dengan masyarakat Hua-Xia dan pemerintahnya dinamakan dinasti Xia. Emperor dari Xia dinasti ini adalah Yu The Great (Yu Besar) yang menurut sejarah Tiongkok adalah keturunan dari Huang-Di.

Huang Di - Fu Xi - Shen Nong

Huang Di, Fu Xi and Shen Nong (3 ancient emperors)

Di masa pimpinan Huang-Di pertanian berkembang sangat pesat demikian pula dengan pekerjaan tangan. Huang-Di perkembangkan bahasa dan tulisan Tionghoa yang sebelonnya sudah ada namun masih belon berkembang. Menurut analisa sekarang tulisan karakter Tionghoa adalah kreasi dari Cang-Jie, seorang intellectual yang hidup dijaman Huang-Di. Menurut pandangan saya kenapa dikatakan Huang-di yang menemukan tulisan karakter2 Tionghoa karena orang2 Tionghoa biasanya sangat modest dan tidak ingin menonjolkan kepandaiannya. Mitsalnya Meng Zhi (Mencius), Xun Zhi (filosof bukan ahli perang) filosof2 yang besar yang telah memperkembangkan falsafat Confucius mengatakan bahwa falasafanya adalah confucianisme. Demikian pula dengan Lao Zhi dan Zhuang Zhi, Zhuang Zhi yang briljan itu meperkembangkan Daoisme mengatakan bahwa fasafanya adalah daoisme. Lain halnya dengan filosof2 Barat meskipun Plato adalah muridnya Socrates dan beliau menulis apa yang dikatakan oleh Socrates, karena Socrates sendiri tidak menulis, toh filosofinya adalah platonisme. Demikian pula dengan Aristoteles, muridnya Plato dan bahkan berkumpul dengan Plato kira dua puluh tahon lamanya tidak menyebut karyanya sebagai socratesisme atau platonisme tetapi pakai namanya sendiri. Memang harus diakui bahwa Plato telah memperkembangkan falsafatnya Socrates, demikian pula dengan Aristoteles yang memperkebangkan falsafanya Plato.

Juga kedokteran berkembang dengan cepat dimasa Huang-Di, diwaktu itu hidup dua ahli kedokteran Tionghoa yang terkenal ialah:  Qi-Bo dan Lei-Gong. Huang-Di sendiri adalah seorang ahli kedokteran dijamanya, kita kenal buku yang di edit oleh Huang-Di: Huang-Di Nei-Jing, suatu tulisan kedokteran klassik Tionghoa. Dalam buku ini dapat orang mempelajari penyakit, prevention, diagnostiek dan pengobatannya, dari materia medica, acupunctur, massage, Qigong sampai sexualitas. Huang-Di mengumpulkan ahli2 kedokteran yang ternama diseluruh negeri dan beliau bertanya jawab (semacam symposium pada jaman modern)dengan dokter2 tersebut, lalu secretarisnya mencatat semua tanya jawab itu. Demikian pula beliau mengadakan symposium mengenai sexualitas yang merupahkan tanya jawab antara para wanita dan Huang-Di. Dengan demikian Huang-Di adalah orang pertama yang menulis sexualitas secara ilmiah pada jamannya, dan yang penting pula dilihat dari sudut wanita.. Buku ini sampai sekarang dipakai untuk mahasiswa2 di fakultas kedokteran Tionghoa, baik di daratan Tiongkok maupun di-Taiwan. Saya kira buku2 Huang-Di Nei-Jing, Shen-Nong Ben Cao-Jing tidak ditulis pada masa hidupnya oleh kedua emperor, namun pikiran2nya di deteruskan turun menurun, baru2 kira2 600 tahon sebelon masehi dituliskan menjadi buku. Dijaman Huang-di banyak penemuan2 baru seperti kapal laut dengan alat tujuan yang senantiasa menuju ke utara, dan alat ini merupahkan precursor dari kompas. Istri dari Huang-Di, Lei-Zhu memperkembangkan penenunan sutra dan beliau dianggap sebagai ibu suri yang menemukan cultuur ulat sutra. Orang Tionghoa pada masa itu menjulukkan Lei-Zhu Dewi Sutra. Sejarah Tiongkok mengatakan bahwa economi, cultuur dan civilisasi meningkat dengan pesatnya, dimana masyrakat primitif meningkat mernjadi masyarakat yang berklas. Keturunan2 Huang-Di ialah Shao-Hao, anaknya Huang-Di dan kuburannya berada di kota Qu-Fu di Shandong, tempat kelahiran Confucius. Yao generasi kelima dari huang-Di, emperor yang ibu kotanya berada di Peng-Yang sekarang Lin-Feng in propinsi Shanxi. Shun, adalah generasi ke sembilan dari Huang-Di dan orang2 Tionghoa mendirikan satu tempel untuk menghormatinya. Tempel itu terletak di Shun-Wang selatan timur dari Shao-Xing. Yao dan Shun adalah emperor2 yang sangat bijaksana dalam sejarah Tiongkok dan banyak disitir oleh Confucius kebijaksanaannya. Sampai sekarang kedua figur Yan-Di dan Huang-Di masih dihormati oleh orang Tionghoa yang dianggap sebagai ayah dari bangsa Tionghoa. Setiap tahon banyak pengunjung2 Huayi (keturunan Tionghoa yang telah mendapatkan warga negara dimana mereka tinggal) dan Hua Chiao (keturunan Tionghoa yang hidup diluar negeri, tetapi  masih memegang paspor Tiongkok) dari luar negeri yang mengunjungi kuburannya di Mount Tian-Tai, untuk menghormat mereka sebagai nenek moyang legendaris dari bangsa Tionghoa. Saya berpendapat dari literatur2 yang saya baca Huang-Di lebih ternama dari Yan-Di. Rakyat Hua menganggap bahwa mereka hidup ditengah-tengah (Zhong, Hokkian dibaca Tiong) dari dunia, maka mereka menamakan bangsanya Tionghoa (mandarin Zhonghua atau bangsa Central Hua) atau sekarang disingkat Hua-Ren. Tiongkok (Zhongguo) berarti negara yang letaknya di-tengah2 dunia, dan rakyatnya disamping Hua Ren (Orang Hua) disebut juga Zhongguo Ren (orang Tiongkok).
China dinamakan oleh regime Guo Ming Dang “ Zhong Hua Ming Guo” (Republik Zhung Hua) dan oleh regime Gong Chang Dang “Zhong Hua Ren Ming Gong He Guo” (Republik Rakyat Zhong Hua). Kedua2nya memakai kata2 Zhong Hua (Tionghoa) untuk mengistilahkan China. Disini dapat kita tinjau begitu pentingnya perkataan Zhong Hua bagi rakyat Tiongkok. Sekarang semua rakyat Tiongkok tidak melihat etnisnya, mayoritas atau minoritas disebut Hua ren dan bahasa mandarin disebut Hua-Yu (Yu berarti bahasa) atau Han-Yu.
Asal usul China (Cina) berasal dari Barat yang menghubungkan orang Tionghoa dengan emperor Chin (Qin) yang telah mempersatukan Tiongkok jaman The Warring States. Setelah mempersatukan Negara Tiongkok, dinasti Qin hanya memerintah antara 221-206 sebelon Masehi. Emperor Qin memerintah negara Tiongkok dengan kejam, beliau membakar buku2 filosof2 ternama Tiongkok dan membunuh intelectual2 ternama. China adalah negara Tiongkok yang dihubungkan dengan emperor Qin (Orang Ingeris menulisnya dengan Chin) dan orang Tionghoa di sebut Chinese.
Saya menulis artikel2 ini agar anak2 mudah Huayi (keturunan Tionghoa) bisa mengenal identitasnya, karena saya anggap mengenal identitas itu penting bagi integrasi orang2 Tionghoa  ke masyarakat dimana mereka tinggal. Menbangun rumah memerlukan fondasi yang kuat dan untuk integrasi juga membutuhkan fondasi, karena bila kita mengetahui identitas kita maka kita menjadi warga negara yang sadar dan tidak sampai menuju ke extremitas atau menderita crisis identitas.

Dr. Han Hwie Song
Breda ( Nederland), 12-10-2001