Archive for the ‘SUKU JAMBI’ Category

Berdasarkan cerita rakyat setempat, nama Jambi berasal dari perkataan “jambe” yang berarti “pinang”. Nama ini ada hubungannya dengan sebuah legenda yang hidup dalam masyarakat, yaitu legenda mengenai Raja Putri Selaras Pinang Masak, yang ada kaitannya dengan asal-usul provinsi Jambi.

Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerin­ci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan pen­duduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.

Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan meru­pakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud mem­perluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa su­ku ini merupakan keturunan dari per­campuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut seba­gai suku Weddoid.

Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “ji­nak” diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tem­pat tinggal yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Se­dangkan yang disebut “liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.

Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pede­saan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarang­annya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup ma­syarakat desa.

Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-­istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kam­pung dsb.

Pakaian Pada awalnya masyarakat pede­saan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebu­dayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang mengge­lembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam mela­kukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi deng­an kopiah.

Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang.

Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian

Filsafat Hidup Masyarakat Setempat: Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
sumber:Depdagri

Setiap budaya memiliki dunia batinnya sendiri. Manusia dalam budaya tertentu mempersepsi dunia sekitar mereka dan memahaminya secara khas. Fenomena yang sama mungkin saja akan dilihat, dipersepsi dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang dari budaya berbeda. Misalnya angin ribut yang memporak-porandakan rumah mungkin akan dipahami sebagai gejala alam biasa oleh orang minang, dipahami sebagai pertanda tertentu oleh orang jawa, dan dipahami sebagai pekerjaan hantu oleh Orang Rimba.

Orang Rimba memiliki cara yang khas dalam memahami dunia sekitar yang merupakan hasil dari interaksinya dengan alam dan kelompok manusia lainnya selama ribuan tahun. Mereka mengembangkan dunia batin yang cocok dan sesuai dengan kondisi mereka. Dunia batin itu mempengaruhi cara mereka dalam memahami sesuatu dan dalam bertindak. Ide tentang dunia atau dunia batin mewujudkan dirinya dalam bentuk riil yakni sistem kepercayaan, mitos, adat, struktur sosial, trait psikologis dan sebagainya.

“Orang Rimba memiliki kepercayaan dinamisme dan animisme. Mereka mempercayai kekuatan alam. Mereka memuja roh nenek moyang. Mereka memiliki banyak Dewa yang mereka anggap Tuhan. Akan tetapi mereka sesungguhnya tidak benar-benar bertuhan. Mereka benar-benar masih merupakan masyarakat primitif….” Demikianlah salah satu komentar terhadap Orang Rimba yang dilontarkan oleh salah seorang penduduk desa yang dekat dengan kawasan hutan tempat tinggal Orang Rimba.

Komentar diatas menumbuhkan keingintahuan saya mengenai kepercayaan Orang Rimba. Dengan minat bagaikan anak kecil yang ingin tahu isi sebuah kebun binatang setelah mendengar betapa menariknya isi kebun binatang, saya berupaya mencari tahu seperti apa sebenarnya kepercayaan Orang Rimba. Sayangnya Orang Rimba yang saya temui tidak bercerita sebanyak yang saya harapkan. Tapi mungkin hal itu dikarenakan memang tidak banyak yang bisa mereka ceritakan. Untungnya ada beberapa literatur yang juga menceritakan mengenai kepercayaan Orang Rimba.

Mitologi Penciptaan

Sama seperti setiap sistem kepercayaan lainnya, Orang Rimba juga memiliki mitologi mengenai penciptaan. Mereka memiliki suatu mitologi yang menjelaskan terjadinya kehidupan. Menurut mitologi Orang Rimba, pada awal kehidupan tidak ada sesuatupun kecuali Tuhan. Dunia beserta segala sesuatu yang ada belum ada, yang ada adalah ketiadaan. Lantas Tuhan berkehendak menciptakan kehidupan. Maka diciptakanlah kuntul putih (langit) dan gagak hitam (bumi beserta segala isinya). Sejak penciptaan itulah maka kehidupan dimulai.

Mitologi penciptaan Orang Rimba tampaknya dipengaruhi oleh persentuhan mereka dengan para penganut agama Islam. Bukti kuat dari adanya pengaruh itu adalah kisah tentang manusia pertama. Menurut mereka, manusia pertama yang ada di bumi adalah Nabi Adam. Mereka adalah keturunan Nabi Adam dan merasa paling dekat dengannya. Kedekatan itu terbukti dalam pemeliharaan adat atau aturan yang berasal dari nenek moyang. Kaum yang tidak lagi memelihara aturan nenek moyang berarti keturunan yang jauh hubungannya dengan Nabi Adam. Berbeda dengan Orang Rimba yang selalu memelihara aturan dan adat dari nenek moyang. Artinya, merekalah yang paling dekat dengan Nabi Adam.

Penolakan terhadap agama lain selain apa yang sudah diyakini juga berasal dari keyakinan akan kedekatan hubungan dengan Nabi Adam. Menurut mereka agama yang mereka yakini adalah agama Nabi Adam. Mereka percaya dan yakin akan hal itu karena mereka dan nenek moyang mereka tidak pernah mengubah apapun yang sudah ada. Oleh karena itu mengikuti agama lain yang berasal dari nabi lebih rendah tidak mau mereka lakukan. Misalnya agama Islam tidak mau mereka ikuti karena dibawa oleh Nabi Muhammad yang merupakan nabi terakhir.

Orang Rimba percaya bahwa manusia berasal dari tanah. Hal itu terlihat jelas dari kepercayaan mereka mengenai ilmu kebal. Sehebat apapun orangnya, menurut mereka tidak ada orang yang kebal dengan senjata yang telah ditancapkan di tanah. Hal itu dikarenakan manusia berasal dari tanah. Oleh karena itu biasanya mereka menancapkan salah satu senjata ditanah sekitar rumah untuk berjaga-jaga kalau ada pengganggu yang memiliki ilmu kebal.

Ketuhanan Orang Rimba

Tuhan dalam konsepsi Orang Rimba adalah pencipta segala sesuatu. Esensi Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Namun kehadiran Dzat Tuhan itu sendiri sesuatu yang gaib. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Tuhan. Mereka membandingkan antara esensi Tuhan dengan Dzat Tuhan yang gaib dengan fenomena burung gading. Menurut kepercayaan Orang Rimba, burung gading adalah burung penjelmaan Tuhan. Ketika burung gading memperdengarkan suaranya yang merdu, saat itulah sama dengan esensi Tuhan yang bisa dirasakan, namun burung gading itu sendiri tidak pernah terlihat, halmana menunjukkan kegaiban dzat Tuhan. Kadang Orang Rimba menyebut Tuhan dengan ungkapan Allah. Tampaknya ungkapan itu merupakan hasil dari pengaruh Islam.

Orang Rimba mempercayai Dewo dan Dewi yang fungsi dan perannya mirip dengan Tuhan dalam konsepsi agama monotheis. Namun meski demikian nyatanya mereka juga mempercayai Tuhan tunggal sebagai pencipta alam, sehingga konsep ketuhanan Orang Rimba sangat unik sekaligus membingungkan. Peran Tuhan tertinggi sebagai pencipta alam seolah-olah hanya untuk menjelaskan tentang penciptaan kehidupan. Karena pada kenyataannya, meskipun eksistensi Tuhan tertinggi diakui akan tetapi hampir tidak pernah disinggung dalam kehidupan keseharian. Dewa serta Dewi yang selalu disinggung dan benar-benar berperan dalam kehidupan. Dewa dan Dewi adalah tujuan berdoa, tujuan meminta ampun, dianggap yang akan menjatuhkan kesenangan maupun kutukan, dan lainnya. Misalnya ketika takut melakukan sesuatu karena merupakan pantangan, mereka umumnya beralasan “nanti dikutuk Dewo.”

Mengikuti pendapat Wilhelm Schmidt, dalam bukunya ‘The Origins of The Idea of God’, Orang Rimba agaknya telah memiliki kepercayaan monoteis primitif. Namun lama kelamaan kepercayaan itu memudar karena Tuhan dianggap sesuatu yang suci dan sakral sehingga tidak ada ritus apapun yang memadai yang ditujukan untuk-Nya. Oleh karena itu kepercayaan terhadap Tuhan tunggal perlahan memudar karena tidak hadir dalam keseharian Orang Rimba, dan digantikan dengan kepercayaan terhadap banyak Dewa. Kepercayaan terhadap banyak Dewa terus bertahan karena lebih menarik dan bersifat praktikal. Baru setelah adanya persentuhan dengan dunia luar, terutama Islam, konsepsi Tuhan tunggal sebagai pencipta alam diadopsi kembali. Meski demikian perannya di dalam kehidupan tetap sangat kurang atau malah hampir tidak ada. Dewo dan Dewi yang dianggap sebagai pengatur tatanan kehidupan. Seluruh dimensi kehidupan diatur dan dimiliki oleh Dewo dan Dewi. Merekalah sumber dari kesehatan, kesenangan, rezeki, sakit dan segala sesuatu yang lainnya. Sehingga secara praksis Dewo dan Dewi-lah Tuhan mereka sesungguhnya. Oleh karena itu agaknya sah bila mereka disebut berkepercayaan polytheistik.

Sesuai sebutannya, Dewo dan Dewi berjumlah lebih dari satu. Tidak ada yang paling utama diantara Dewa dan Dewi itu. Mereka memiliki tempat tinggal tertentu, seperti di sungai (di hulu maupun di hilir), di pinggir sungai dan di puncak bukit. Yang menarik ternyata Orang Rimba mengklasifikasikan Dewo dan Dewi ke dalam dua kategori bertentangan, yakni Dewo dan Dewi pembawa kebaikan serta Dewo dan Dewi pembawa keburukan. Dewo dan Dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai pembawa kebaikan, sebaliknya yang tinggal dihilir sungai dianggap pembawa keburukan. Pembagian itu tampaknya terkait dengan interaksi Orang Rimba dengan orang Melayu. Daerah hilir sungai merupakan daerah orang Melayu. Melalui interaksi dengan orang Melayu, Orang Rimba mendapat berbagai penyakit menular dan ganas seperti cacar. Selain itu orang Melayu juga sering menangkap Orang Rimba untuk dijadikan budak.

Setan dan malaikat

Tidak berbeda jauh dengan konsepsi agama Abrahamik mengenai setan dan malaikat yang saling bertentangan satu sama lain, Orang Rimba pun memiliki konsepsi mengenai setan dan malaikat yang serupa. Setan adalah makhluk gaib yang sifatnya merusak dan mengganggu manusia. Setan memiliki wilayah kekuasaan tertentu, misalnya bukit. Menurut Orang Rimba, setan tidak meninggalkan daerah kekuasaannya. Daerah yang dianggap dikuasai setan tidak akan ditempati oleh Orang Rimba, karena akan menimbulkan berbagai musibah dan penyakit. Setan akan marah kalau daerah kekuasaannya diganggu. Oleh karena itu untuk menghindari kemarahan setan, daerah yang dianggap dikuasai setan tidak dilewati. Kalaupun terpaksa, tidak boleh merusak tumbuhan atau benda yang ada di tempat tersebut.

Di dalam rimba terdapat juga makhluk gaib sejenis dengan setan, yakni hantu. Tidak berbeda dengan setan, kerja hantu adalah merusak. Hantu dikonsepsikan sebagai mahluk gaib yang bisa bergerak. Hantu bisa menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan yang sangat deras serta lama. Apabila ada angin ribut atau hujan deras merusak rumah, ladang, dan hutan, maka menurut Orang Rimba pastilah ada hantu yang menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan tersebut.

Hampir setiap kelompok budaya di Indonesia mengenal adanya hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Misalnya etnis jawa mengenal jenis hantu yang disebut wewe. Demikian juga Orang Rimba mengenal jenis hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Mereka menyebutnya hantu garo-garo. Secara harfiah hantu garo-garo mungkin bermakna hantu pembuat gara-gara

Hantu garo-garo adalah hantu perempuan. Kemunculannya memiliki sejarah. Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang ibu yang kehilangan bayinya. Karena sangat sedih, maka sang ibu meninggal. Setelah meninggal, arwah sang ibu berusaha mencari anaknya dan rohnya berubah menjadi hantu. Namun karena menurut sang hantu anaknya tentu sudah beranjak besar, maka yang dicari adalah anak yang sudah cukup besar. Hantu garo-garo tidak akan menyembunyikan anak yang masih baru dilahirkan. Oleh karena itu anak-anak yang mulai tumbuh besar selalu dipasangi jimat oleh orang tuanya. Jimat itu berguna untuk menangkal hantu garo-garo. Biasanya jimat dipakaikan seperti kalung. Apabila hantu garo-garo sudah menyembunyikan anak, maka sang anak harus diminta kembali dengan cara tertentu. Bila tidak maka sang hantu tidak akan mengembalikan anak yang dibawa untuk selama-lamanya. Menurut cerita Sediah, salah seorang remaja rimba, adiknya, yakni Begenyek pernah disembunyikan hantu garo-garo selama beberapa hari. Begenyek sendiri mengakui bahwa dirinya pernah dibawa hantu garo-garo.

Fakta bahwa hampir setiap budaya memiliki cerita tentang hantu pembawa anak-anak sangatlah menarik. Mungkin cerita tentang hantu itu adalah penjelasan atas perginya anak-anak yang sering tidak diketahui oleh orang tuanya. Adalah hal biasa apabila anak-anak yang dibesarkan di lingkungan alam yang memiliki ruang luas seperti halnya desa maupun hutan, pergi untuk memuaskan rasa ingin tahunya maupun sebagai bentuk protes (minggat). Karena luasnya ruang, maka sang anak seringkali tidak dapat ditemukan dengan segera. Kadangkala sang anak tersesat. Dalam kondisi bingung, takut, ataupun tertekan, anak-anak biasanya menggunakan kekuatan fantasinya yang kuat sebagai mekanisme untuk menentramkan diri dan bertahan. Fantasi itu biasanya berkisar pada kenikmatan, baik karena makanan yang lezat maupun kondisi yang menyenangkan lainnya. Namun fantasi yang berkembang bisa juga hal-hal yang bersifat menakutkan.

Orang-orang dewasa hanya memiliki satu penjelasan mengapa sang anak tidak bisa ditemukan, yakni melalui kacamata supranatural. Anak hilang dianggap dibawa hantu. Hal itu wajar mengingat hampir setiap budaya di Indonesia sangat mempercayai kekuatan supranatural. Segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dijelaskan dengan nalar akan dikaitkan dengan dunia supranatural. Mereka belum atau tidak memiliki penjelasan dari sisi manusianya saja. Mereka tidak dapat menjelaskan alasan sang anak pergi berdasarkan kondisi psikologis sang anak semata. Maka penjelasan dari sisi supranatural adalah penjelasan yang paling masuk akal dan paling bisa diterima. Lalu cerita tentang dibawa hantu diperkuat oleh cerita dari sang anak hilang sendiri. Fantasi yang sangat kuat boleh jadi membuat sang anak merasakan fantasinya sebagai kenyataan. Meskipun ingatan tentang fantasinya sendiri samar-samar namun biasanya sang anak mampu menceritakan fantasinya yang luar biasa kepada orang-orang dewasa. Akibatnya orang-orang dewasa semakin yakin bahwa sang anak dibawa oleh hantu. Seterusnya berkembanglah cerita tentang hantu pembawa anak.

Cerita tentang hantu pembawa anak dipastikan fungsional dalam kehidupan. Bila tidak, cerita itu akan lenyap. Sebab hanya cerita yang bermanfaat yang akan terus bertahan. Fungsi pertama cerita itu adalah menjelaskan atas sesuatu yang belum diketahui. Sudah menjadi sifat manusia untuk memahami dan menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Apabila tidak dapat menjelaskan, manusia akan merasa terancam. Adanya cerita hantu pembawa anak menentramkan karena mereka tahu sebab kejadian anak hilang. Selain itu salah satu fungsi cerita hantu pembawa anak mungkin adalah untuk sarana menakut-nakuti anak-anak agar tidak berbuat tidak baik. Kenyataannya anak-anak rimba sangat takut bila ditakut-takuti dengan cerita hantu pembawa anak. Tampaknya cerita itu merupakan alat kontrol perilaku anak-anak yang ampuh.

Berbeda dengan setan dan hantu, malaikat adalah makhluk gaib yang menjaga manusia, terutama menjaga dari gangguan setan dan hantu. Menurut Orang Rimba, malaikat hampir setingkat dengan dewa akan tetapi selalu berada di sekitar Orang Rimba. Adanya malaikat membuat manusia aman. Namun demikian, apabila manusia berbuat tidak baik maka malaikat bisa pergi. Apabila ditinggal malaikat manusia menjadi rentan terhadap gangguan setan dan hantu. Orang yang diganggu hantu atau setan adalah mereka yang telah ditinggalkan malaikat.

Alam bagi Orang Rimba

Orang Rimba membagi alam dalam dua kategori yang berlawanan yakni dunia nyata (halom nio) dan dunia atas (halom Dewo). Halom Nio adalah alam raya yang ditempati Orang Rimba. Mereka menyebut juga sebagai halom kasar. Halom Dewo adalah dunia yang juga akan ditempati oleh Orang Rimba yang telah meninggal. Orang Rimba menyebutnya juga sebagai halom haluy (dunia halus). Antara kedua alam tersebut bisa saling berhubungan. Penghuni halom haluy bisa terus memantau keadaan Orang Rimba yang ada di halom kasar. Sebaliknya penghuni halom kasar juga bisa berhubungan dengan penghuni halom haluy melalui perantara malim atau pemimpin spiritual Orang Rimba.

Orang Rimba menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta (halom). Mereka adalah bagian yang integral di dalam alam. Orang Rimba adalah alam dan alam adalah Orang Rimba. Mereka dan alam adalah satu. Dalam kepercayaan Orang Rimba, alam semesta tidak berkembang. Sejak penciptaan, langit dan bumi seisinya sudah demikian adanya. Mereka hanya tinggal meneruskan apa yang sudah ada dan tidak perlu dirubah. Mereka memiliki keyakinan bahwa merubah alam akan merubah Orang Rimba, sebaliknya jika Orang Rimba berubah maka alam pun akan ikut berubah. Oleh sebab itu mereka sangat kritis dengan perubahan. Selain itu, keengganan untuk berubah juga ditunjang oleh ketakutan akan kutukan nenek moyang. Roh nenek moyang yang tinggal di halom haluy yang membuat berbagai macam aturan adat akan marah dan menjatuhkan kutuk apabila anak keturunannya, yakni Orang Rimba tidak menaati adat. Akibat dari kepercayaan itu mereka menjalani kehidupan yang kurang lebih sama dengan kehidupan yang dijalani nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka sangat berhati-hati dengan perubahan karena perubahan dianggap akan merubah alam (halom). Oleh karena itulah pada masa lalu Orang Rimba dikenal sangat anti dengan perubahan. Bahkan menurut cerita, dahulu mereka sama sekali tidak mau bertemu orang asing.

Ada ungkapan yang biasa dipakai Orang Rimba untuk menolak terjadinya perubahan, yakni “sejak gagak hitam, kuntul putih diciptakan Tuhan…”, yang artinya ‘sejak Tuhan menciptakan langit dan bumi seisinya…’. Ungkapan itu biasa digunakan dalam musyawarah untuk menolak terjadinya perubahan. Bila ungkapan diatas disampaikan, maka maknanya adalah sesuatu (yang dibicarakan, baik adat ataupun lainnya) tidak perlu dirubah karena sesuatu itu sudah demikian adanya sejak awal mula alam semesta diciptakan. Ungkapan lain yang menggambarkan paham fatalis dan pasifis terhadap perubahan adalah ‘alam sekato Tuhan’. Artinya alam seisinya termasuk manusia dalam keadaan yang telah ditakdirkan demikian oleh Tuhan. Apapun kondisinya itulah yang telah ditentukan Tuhan bagi alam dan manusia. Oleh karena itu manusia tidak berhak merubah apapun karena merubah dengan sengaja berarti menentang kehendak Tuhan.

Saat ini kepercayaan tentang alam yang statik mulai memudar seiring dengan persentuhan Orang Rimba dengan masyarakat luar yang tidak dapat dihindari. Misalnya pada awal proses pemberian pengajaran baca tulis dan berhitung yang diselenggarakan untuk Orang Rimba oleh LSM Warsi mendapat banyak tentangan dari Orang Rimba karena khawatir akan merubah alam. Mereka menyadari bahwasanya adanya pendidikan akan banyak mengubah berbagai dimensi kehidupan mereka. Namun saat ini mereka menjadi antusias dengan pendidikan karena menyadari bahwasanya apabila mereka tidak berubah menjadi pintar, mereka hanya akan menjadi orang-orang kalah. Demikian juga berbagai pengetahuan dan teknologi baru diserap dengan cepat oleh Orang Rimba.

Dalam kepercayaan Orang Rimba terdapat juga konsep tentang surga dan neraka. Kedua tempat itu berada di dunia sesudah mati. Surga merupakan tempat bagi manusia yang baik dan taat pada aturan adat. Sebaliknya neraka adalah tempat bagi manusia yang jahat dan tidak taat pada aturan adat. Neraka memiliki panas tidak terbayangkan. Percikan api neraka sama panasnya dengan seluruh api yang ada di dunia.

Namun agak mengherankan ketika beberapa Orang Rimba ditanya mengenai surga dan neraka, mereka menyatakan tidak khawatir dan tidak perduli dengan keberadaannya. Tampaknya mereka memang tidak terlalu perduli. Hampir tidak pernah didengar anak-anak ditakuti dengan ancaman neraka. Kosa kata nerakan hampir tidak pernah didengar. Artinya, surga dan neraka hampir tidak memiliki fungsi praktis dalam kehidupan keseharian.

Konsepsi tentang arwah

Orang Rimba percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang senantiasa berada di sekitar mereka dan mengawasi segala tindak tanduk Orang Rimba yang masih hidup. Roh nenek moyang dianggap mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Orang Rimba yang masih hidup. Mereka juga percaya bahwa roh mengalami emosi sebagaimana manusia yang masih hidup. Selain itu Orang Rimba meyakini bahwa roh masih dapat aktif berbuat sesuatu di dunia nyata dengan cara menjatuhkan kutuk.

Roh orang yang meninggal dunia akan berjalan ke hentew (suatu tempat yang dikonsepsikan sebagai alam roh dan berada di dekat dunia Tuhan). Roh orang yang belum tinggi tingkat spiritualitasnya akan tinggal di hentew. Sedangkan roh orang yang sudah tinggi tingkat spiritualitasnya juga akan pergi ke hentew namun untuk sementara. Di hentew, roh akan menanggalkan berbagai sifat keduniawian. Setelah bersih dari sifat-sifat duniawi, roh akan berjalan menuju dunia Tuhan dan menjadi malaikat. Apabila tingkat spiritulitasnya benar-benar mumpuni, setelah jadi malaikat roh bisa menjadi dewa.

Menurut Orang Rimba, roh nenek moyang bisa marah apabila Orang Rimba yang masih hidup melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan karena berarti tidak menghormati nenek moyang. Pelanggaran aturan meliputi melanggar pantangan, berbuat tidak sopan, dan merubah adat. Apabila roh nenek moyang marah, maka roh tersebut bisa menjatuhkan kutuk terhadap si pelanggar maupun terhadap Orang Rimba keseluruhan. Tanda bahwa Orang Rimba mendapat kutuk dari nenek moyang diantaranya adalah terkena musibah, hidup menderita, bertanam padi tidak pernah berhasil, berburu tidak dapat-dapat, menjerat tidak pernah kena, dan lainnya.
Tidak hanya marah, roh nenek moyang juga merasakan senang. Roh nenek moyang akan merasa senang apabila anak keturunannya taat pada aturan adat. Oleh karena itulah Orang Rimba akan berusaha sedapat mungkin melaksanakan aturan adat, karena selain untuk menghindari kutuk juga untuk menyenangkan roh nenek moyang. Tanda bahwa roh nenek moyang senang terhadap perilaku Orang Rimba adalah kehidupan yang aman dan tenteram, tidak ada musibah yang datang, berhasil dalam panen padi dan lainnya.

Orang Rimba memiliki upacara untuk menghadirkan roh nenek moyang. Esensinya tidak berbeda dengan berbagai upacara serupa yang dilaksanakan oleh berbagai budaya di seluruh dunia, seperti misalnya pesta aruh ganal oleh etnis Dayak di Kalimantan, atau upacara sesajen pada etnis jawa. Roh dihadirkan dalam rangka penghormatan dan atau untuk pengobatan. Upacara menghadirkan roh pada Orang Rimba disebut sale. Upacara tersebut di pimpin oleh malim, yakni pemimpin spiritual Orang Rimba.

Sale biasanya diselenggarakan ketika kelahiran bayi dan perkawinan. Tujuannya adalah menghadirkan roh nenek moyang agar memberkati. Selain itu sale juga diselenggarakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Upacara sale tertutup bagi orang luar. Sangat jarang ada orang luar yang diperbolehkan untuk melihat upacara sale.

Balai adalah tempat pelaksanaan sale. Balai juga tertutup bagi orang luar, setidaknya sampai selesai digunakan. Apabila balai sudah selesai digunakan barulah boleh dilihat. Oleh karena itu balai biasanya dibuat di tempat-tempat yang kecil kemungkinannya didatangi orang. Ketika saya pertama kali datang ke Kedondong Mudo, yakni suatu kawasan dimana sekelompok Orang Rimba Makekal tinggal, disana sedang ada ibu yang baru saja melahirkan dan akan diselenggarakan upacara sale. Oleh Orang Rimba saya diajak jalan agak berputar agar saya tidak melihat balai.

Menurut sebuah sumber, balai yang digunakan untuk upacara sale dalam rangka menyambut kelahiran bayi berukuran kurang lebih sekitar 3 X 5 meter. Balai dibuat oleh kerabat dekat dari yang akan diupacarakan, yakni sang bayi. Sedangkan balai untuk perkawinan ukurannya sekitar 8 X 12 meter dan dibuat secara bersama-sama oleh Orang Rimba. Balai dibuat berlantai panggung. Alasnya terdiri dari gelondongan batang kayu ukuran sedang. Dindingnya dari kulit kayu setinggi pinggang. Atapnya menggunakan daun serdang. Setiap balai hanya memiliki dua pintu keluar.

Melahirkan

Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kematian sangat tinggi seperti halnya Orang Rimba, kelahiran bayi merupakan kejadian yang dianggap sangat penting. Bayi yang lahir merupakan pertanda bahwa kelompok mereka bisa terus berlanjut. Upacara untuk menyambut bayi pun dilakukan. Pada saat hamil delapan bulan, anggota keluarga terdekat telah menyiapkan tempat khusus untuk melahirkan, yakni tano peranakan. Tempat khusus untuk melahirkan itu terpisah jauh dari rumah. Hanya suami, dukun bayi dan anggota keluarga terdekat yang boleh datang ke sana. Pada saat menjelang upacara sale mereka juga menyiapkan balai sebagai tempat upacara. Sale diselenggarakan pada hari dimana diperkirakan bayi akan lahir. Tujuannya agar sang bayi mendapat berkah dari nenek moyang serta berumur panjang.

Proses kelahiran bayi dianggap penuh dengan bahaya. Hantu-hantu akan berusaha mengganggu bayi dan ibunya. Tidak jarang gangguan yang berat bisa membunuh ibu dan bayi. Oleh karena itu dalam proses melahirkan, sang ibu ditunggui oleh suami, mertua, orangtua, kakek nenek suami, dan kakek neneknya sendiri. Mereka berharap ibu dan bayi yang ditunggui tidak akan didekati hantu pengganggu. Dengan cemas mereka menunggu. Proses melahirkan seolah dianggap pertarungan hidup mati. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena karena tingkat kematian ibu dan anak pada saat melahirkan sangat tinggi.

Setelah melahirkan, ubun-ubun dan tali pusat bayi yang baru lahir diolesi kulit pohon tenggeris. Kulit kayu yang hendak dioleskan itu terlebih dahulu dikerok dengan parang dengan aturan dari atas kebawah. Setelah itu kulit kayu dikeringkan dan siap digunakan. Dalam waktu tujuh hari, tali pusat akan tanggal dan kering. Dalam waktu tujuh hari pula ubun-ubun akan mengeras. Ari-ari bayi (bali anak) yang keluar ditanam di tanah. Disekitarnya diletakkan tiga ranting pohon setubung bercabang tiga. Ari-ari bayi diperlakukan sama seperti anak. Pekuburannya tidak boleh dilewati oleh siapapun dan juga tidak boleh dijadikan ladang.

Sakit dan Kematian

Angka kematian dikalangan Orang Rimba sangat tinggi. Tidak ada keluarga yang tidak memiliki riwayat kematian diantara anggota keluarganya. Umur harapan hidup mereka sangat rendah. Mereka yang berumur 40-an sudah dianggap tua. Secara fisik pun mereka memang cepat tua. Jarang ada yang berumur diatas 50-an, apalagi sampai berumur 70-an. Hal itu mungkin disebabkan oleh rendahnya derajat kesehatan dan kerasnya alam tempat hidup Orang Rimba.

Banyak kematian disebabkan oleh penyakit. Pada tahun 1800-an eksistensi Orang Rimba hampir punah karena serangan penyakit cacar yang mereka peroleh dari interaksi dengan orang luar. Oleh sebab itulah sampai sekarang mereka sangat ketakutan terhadap penyakit cacar. Ketakutan itu seolah mengendap ke bawah sadar. Pengaruhnya sampai merubah dimensi kepercayaan mereka. Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai mendapat predikat bukan Dewa-Dewi yang baik karena penyakit cacar datangnya dari arah hilir sungai, yakni dari daerah orang Melayu. Ditambah lagi dengan keberadaan para penangkap budak yang juga datang dari hilir, makin lengkaplah predikat itu. Hal ini menggambarkan dengan jelas kepada kita bahwasanya Orang Rimba secara terus menerus merubah konsep kepercayaannya agar tetap sesuai.

Dalam kepercayaan Orang Rimba, sebagian penyakit disebabkan oleh gangguan setan dan hantu. Setidaknya ada tiga penyakit yang dianggap perbuatan setan dan hantu, yakni flu, malaria, dan campak. Oleh karena itu mengobati penyakit yang disebabkan oleh setan dan hantu adalah dengan mengusir setan dan hantu tersebut. Pengusiran hantu dilakukan oleh malim. Selain itu penyakit juga bisa disebabkan karena jatuhnya kutuk atas diri si sakit atas perbuatan melanggar adat dan tabu yang dilakukannya.

Apabila terdapat penyakit yang menimpa beberapa orang sekaligus dan tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan tradisional mereka, maka malim, yakni pemimpin spiritual mereka diundang untuk melakukan upacara sale pengobatan. Upacara sale dilangsungkan sepanjang malam. Malim akan membuat ramuan-ramuan yang akan digunakan oleh semua yang sakit. Malim bertindak sebagai pemimpin upacara dan menyanyikan mantera-mantera panjang yang diucapkan tidak jelas. Keluarga si sakit mengikuti proses upacara dari rumah dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian agar setan dan hantu pergi.

Upacara pengobatan penyakit oleh Malim memiliki dimensi serupa dengan yang dilaporkan oleh antropolog Claude Levi Strauss tentang pengobatan oleh dukun. Kepercayaan seluruh masyarakat dan si sakit terhadap dukun menimbulkan suatu reaksi fisiologis sedemikian rupa sehingga si sakit akan sangat tergantung kondisi fisiologisnya terhadap sang dukun. Jika dukun mengatakan sembuh, maka seluruh fisiologis tubuh mengikutinya sehingga si sakit sembuh. Sebaliknya jika dukun mengatakan mati, maka fisiologis tubuh mematuhinya, dimana jantung dan aliran darah secara perlahan akan berhenti.

Ada kepercayaan dikalangan Orang Rimba bahwasanya pengobatan ala Orang Rimba tidak boleh bercampur dengan pengobatan ala orang luar. Bila sudah diobati menurut cara Orang Rimba maka tidak boleh lagi diobati menurut cara orang luar. Demikian juga sebaliknya. Apabila sudah diobati mengikuti cara oarang luar maka tidak boleh lagi diobati menurut cara Orang Rimba. Sediah, salah seorang anak Rimba menceritakan alasannya. Apabila kedua macam pengobatan dilakukan untuk satu jenis penyakit pada satu orang maka pengaruh pengobatan satu sama lainnya akan saling meniadakan. Pengobatan akan sia-sia karena pengobatan tidak akan bekerja, alias menjadi netral. Menurutnya, obat yang dimasukkan ke dalam tubuh hanyalah sarana untuk menyembuhkan tetapi yang menjadikan sembuh atau tidak adalah doa-doa yang menyertai obat tersebut. Pengobatan ala Orang Rimba tentu memakai doa-doa terhadap Dewa-Dewa, sedangkan pengobatan oleh orang luar memakai doa-doa kepada Tuhannya sendiri. Karena Doa yang dipanjatkan untuk Tuhan yang berbeda maka doa tidak akan membawa pebngaruh apa-apa. Artinya pengobatan tidak akan berhasil.

Selain oleh penyakit, kematian banyak disebabkan kecelakaan. Bahkan menurut seorang penduduk yang mengenal hampir seluruh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagian besar kematian laki-laki Orang Rimba disebabkan oleh faktor kecelakaan. Mereka meninggal karena tertimpa kayu, jatuh dari pohon, diserang binatang buas dan lainnya. Meskipun demikian penyakit usia tua tampaknya juga menunjang. Seseorang yang koordinasi geraknya sudah tidak bagus lagi namun tetap memaksakan diri naik pohon tentu saja berpeluang sangat besar untuk jatuh.

Jasad orang yang meninggal tidak dikubur. Biasanya jenazah hanya ditinggalkan saja didalam sebuah pondok yang memang dibuat khusus untuk menempatkan jenazah. Pondok jenazah itu disebut pusaron. Lantainya dibuat setinggi leher. Pusaron dibuat khusus ditempat dimana tidak ada orang yang datang. Disana sang jenasah dibiarkan membusuk. “Dari alam maka kembali ke alam”, demikian ungkap Orang Rimba.

Didalam pondok biasanya diletakkan makanan, kain, dan parang. Diluar pondok, anjing orang yang meninggal diikat. Mereka berharap kalau orang yang telah meninggal hidup kembali maka bisa memakan makanan yang disediakan, kain yang ada dipakai dan parang dibawa. Anjing yang diikat diluar akan menuntun orang tersebut kembali ke kelompoknya.

Besesandingon

Besesandingon adalah perpindahan tempat tinggal Orang Rimba dikarenakan adanya penyakit menular di tempat tinggal asal. Apabila mereka tidak pergi mereka khawatir akan tertular. Akan tetapi apabila pergi mereka harus meninggalkan yang sakit, yang artinya sama saja dengan membunuh si sakit. Namun pertimbangan kelanjutan kelompok tetap diutamakan. Mereka memilih untuk meninggalkan tempat terjadinya wabah.

Ada sebuah cerita memilukan mengenai besesandingon. Pada suatu masa pernah terjadi wabah penyakit campak. Beberapa orang telah terkena. Menurut ingatan mereka, penyakit campak adalah penyakit yang bisa membunuh oleh karena itu mereka tidak ingin yang sehat terkena dan meninggal. Kematian satu orang sangat mahal harganya bagi kelompok Orang Rimba yang berjumlah sedikit. Mereka yang belum terkena tidak mau mendekati yang terkena. Akibatnya yang sakit terisolasi dari kelompoknya. Ketika akhirnya diputuskan untuk besesandingon agar penyakit campak tidak menyebar dan menyebabkan kematian massal, mereka bertangis-tangisan dari jarak jauh. Namun akhirnya si sakit ditinggalkan meski meraung-raung meratap meminta jangan ditinggalkan.

Sebuah sumber mengatakan bahwa pada saat pergi besesandingon, mereka akan pergi sambil merangkak, lalu naik ke atas pohon, turun dan merangkak lagi sampai jarak tertentu. Kemudian mereka naik pohon lagi, turun dan merangkak lagi sampai merasa bahwa dirinya aman. Cara seperti itu dimaksudkan agar penyakit tidak dapat mengikuti kepergian mereka sehingga ditempat baru mereka akan bebas dari penyakit.

Melangun

Apabila ada Orang Rimba meninggal, maka kawasan tempat meninggalnya dianggap tidak baik lagi untuk ditinggali karena akan membawa sial. Oleh sebab itu mereka berpindah tempat mencari tempat baru. Perpindahan itu dikenal dengan istilah melangun, suatu tradisi berpindah yang boleh jadi sebagai tradisi Orang Rimba yang paling khas. Biasanya mereka berpindah cukup jauh dari tempat semula. Jaraknya bisa sehari perjalanan.

Melangun merupakan tradisi yang paling banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tradisi itulah yang menyebabkan Orang Rimba mendapat sebutan nomaden atau kelompok yang berpindah-pindah. Namun sebenarnya mereka bukanlah kelompok nomaden. Mereka pada dasarnya tinggal menetap. Mereka berpindah hanya apabila ada kematian salah satu anggota kelompok. Jadi bukan atas alasan mencari daerah baru yang lebih banyak binatang buruan sebagaimana anggapan banyak orang. Namun melangun memang sering mereka lakukan karena tingkat kematian yang sangat tinggi. Mereka melangun sebanyak terjadinya kematian di dalam kelompok. Orang yang telah berumur tua sangat mungkin telah mengalami melangun puluhan kali dalam hidupnya.

Perjalanan melangun persis seperti acara pindah rumah. Mereka membawa seluruh harta benda dan peralatan yang mereka miliki. Alat-alat dapur, kain, berbagai senjata tajam dan lainnya mereka bawa semua. Cukup sekali perjalanan semua barang-barang sudah bisa terangkut. Hal itu tidak mengherankan karena memang harta benda yang dimiliki tidak banyak. Paling-paling hanya kain saja yang dianggap sebagai harta berharga. Harta selebihnya merupakan perlengkapan standar mereka seperti periuk, tombak, parang, dan kecepek. Mereka tidak mengembangkan budaya materil karena tidak sesuai dengan kepercayaan mereka yang menghendaki mobilitas yang tinggi. Semua barang-barang dibuat atau disimpan karena berguna praktis. Kain sebagai harta yang paling berharga dan harus diperoleh dari luar berguna untuk dipakai, membayar denda dan untuk melamar.

Orang Rimba beranggapan bahwasanya kawasan tempat tinggal terdahulu yang ditinggalkan karena adanya kematian akan kembali netral setelah beberapa waktu. Kesialan tempat itu akan menghilang seiring waktu. Oleh karena itu mereka bisa kembali. Pada masa lalu lamanya melangun paling sedikit enam tahun, kemudian berubah menjadi dua tahun, lalu berubah lagi menjadi sekitar setahun.. Setelah itu mereka berkemungkinan kembali lagi ke tempat yang ditinggalkan. Kalaupun tidak persis ditempat yang dulu, biasanya tidak jauh dari sana.

Saat ini bagi sebagian Orang Rimba, melangun sepertinya hanya sebuah pengungsian sementara sampai kesialan tempat tinggal dahulu dianggap menghilang. Orang Rimba hampir selalu kembali lagi ke tempat tinggal semula. Hal itu dikarenakan mulai menguatnya budaya berladang. Mereka sayang meninggalkan tanaman-tanaman di ladang yang telah dapat menunjang kehidupan mereka lebih baik. Kini lamanya mereka melangun jauh lebih singkat. Hanya dalam hitungan bulan biasanya sudah kembali. Apalagi apabila ladang-ladang itu telah ditanami karet, mereka pasti akan kembali lagi.

Pada bulan Maret ada seorang perempuan yang meninggal pada saat melahirkan dalam kelompok Orang Rimba Makekal Hulu yang bertempat tinggal di kawasan Kedondoing Mudo. Bayinya selamat dan diasuh oleh salah seorang keluarga. Kebetulan perempuan yang meninggal tersebut adalah adik Temenggung, yaitu sang pemimpin kelompok. Maka sesuai tradisi. mereka yang tinggal di Kedondong Mudo pun melangun. Tempat mereka yang baru berjarak cukup jauh. Dari tempat lama ke tempat yang baru mereka harus bermalam di jalan.

Menurut salah seorang Orang Rimba yang tidak ikut melangun karena tidak tinggal di Kedondong Mudo, mereka yang pergi melangun paling kurang satu tahun baru kembali. Namun menurut Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati, mereka yang melangun akan kembali lagi tidak lebih dari sebulan. Informasi terakhir lebih saya percayai karena banyak harta benda yang tidak dibawa. Banyak kain yang ditinggalkan, padahal kain merupakan harta paling berharga milik Orang Rimba. Lalu ada seorang pasangan pengantin baru yang ditugaskan untuk menjaga ladang-ladang yang ditinggalkan. Itu artinya mereka memang tidak berniat untuk pergi lama. Namun tampaknya mereka tidak akan kembali kurang dari satu bulan.

Perubahan lamanya melangun merupakan gambaran jelas bahwa tradisi Orang Rimba perlahan mulai berubah. Desakan ekonomi memaksa mereka untuk lebih fleksibel dalam mempertahankan adat. Saat ini berpindah ke tempat baru secara mendadak hanya akan menyebabkan turunnya kesejahteraan karena tidak ada jaminan pasti bakal adanya sumber makanan yang memadai. Makanan pokok seperti halnya umbi-umbian sulit diperoleh dalam keadaan melimpah di hutan. Binatang buruan tidak banyak. Hanya babi yang berjumlah banyak tapi itupun dikawasan yang dekat pinggiran hutan. Sementara itu bila mereka tetap tinggal di ladang-ladang, maka setidaknya makanan pokok terjamin. Itulah mengapa mereka memilih untuk tidak lama-lama pergi melangun. Kalaupun mereka berpindah maka dilakukan secara bertahap sembari menyiapkan ladang baru.

Perubahan sikap terhadap tradisi melangun tergambar sangat jelas pada sosok Srine, salah seorang Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati. Ia menceritakan bahwa dirinya masih tetap akan melangun kalau ada yang meninggal. Akan tetapi tidak akan lama. Ia pernah melangun hanya selama 2 bulan ketika anaknya meninggal. Tapi kemudian cepat kembali lagi karena khawatir tanah yang diklaim miliknya akan diambil orang. Bahkan Laman, kakak Srine yang juga tinggal di Siamang Mati menurut cerita tidak akan pernah mau melangun lagi. Siapapun yang mati, dia tidak berkeinginan pergi melangun.

Tabu-Tabu

Masyarakat tradisional sebagaimana Orang Rimba mempertahankan keteraturan sosial dan adat melalui berbagai tabu atau pantangan. Pelanggaran terhadap tabu-tabu itu akan dikenakan denda. Fungsi denda adalah semacam penghukum (punishment) bagi perilaku yang salah. Siapapun yang berrtindak melanggar adat maka hukumannya sudah jelas dan tinggal ditetapkan. Pelaksanaan pemberian hukuman yang sangat ketat menjamin adat tetap terus dipertahankan oleh anggota kelompok. Itulah kunci mengapa adat dan tradisi Orang Rimba bisa tetap tidak berubah setelah ratusan tahun.

Menurut Orang Rimba, tabu atau pantangan telah ditetapkan oleh nenek moyang mereka sejak mereka ada. Oleh karena itu tidak ada yang berhak mengubahnya. Tabu-tabu itu telah dijalankan oleh nenek moyang mereka dan sudah seharusnya dijalankan dengan baik oleh mereka. Adanya tabu-tabu merupakan wujud dari kebijaksanaan nenek moyang dalam menjaga adat. Adapun denda sebagai alat penghukum bagi yang melanggar ditetapkan dalam musyawarah adat. Namun biasanya sudah ada ketentuan baku mengenai jumlah denda yang harus dibayarkan apabila terjadi pelanggaran.

Tabu-tabu yang ada bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu tabu-tabu mengenai makanan, tabu-tabu mengenai hubungan dengan sesama manusia, tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam, dan tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam supranatural. Empat kategori itu menunjukkan bahwa Orang Rimba telah mengatur seluruh kehidupannya agar sesuai dengan kepercayaan mereka. Semuanya sudah diatur dan memiliki hukum yang bersifat tetap. Perubahan telah diantisipasi dengan penerapan tabu-tabu yang beraneka ragam.

Salah satu tabu yang menarik adalah tabu untuk menceritakan mengenai kepercayaan mereka. Artinya sesungguhnya mereka dilarang untuk menceritakan kepada orang asing mengenai kepercayaan mereka. Hal inlah mungkin yang menyebabkan Orang Rimba sulit untuk berbicara mengenai kepercayaan mereka. Alasan dibalik tabu ini misterius. Namun mungkin disebabkan karena rendah diri dengan kepercayaan milik mereka sendiri sehingga mereka enggan menceritakan pada orang asing. Untuk itu mereka berlindung pada topeng tabu.

Tabu lain yang sangat menarik adalah tabu untuk membunuh binatang yang sedang minum di sungai atau telaga. Padahal binatang sangat mudah dibunuh ketika dalam posisi minum. Mereka lengah sehingga sangat mudah ditombak maupun ditembak. Salah seorang Orang Rimba menceritakan alasan dibalik tabu itu. Menurutnya binatang yang sedang minum berarti sedang berada di rumah Dewa, yakni pemilik dari binatang tersebut. Oleh karenanya binatang tidak boleh diganggu. Apabila nekat mengganggu maka Dewa akan menjatuhkan kutuk.

Bediom

Budaya Orang Rimba ternyata menyediakan mekanisme bagi siapa saja Orang Rimba yang ingin meninggalkan kehidupan hutan. Mereka yang ingin keluar dari hutan dan menetap secara tetap diluar hutan dan berkampung seperti penduduk desa tidak mendapat halangan. Istilah untuk hal itu adalah bediom. Dalam budaya Orang Rimba terjadi semacam ketentuan bahwa adat dan tradisi mereka hanya berlaku di dalam rimba. Ketika keluar dari rimba maka yang berlaku dan harus diikuti adalah adat dan tradisi orang Melayu. Adat dan tradisi rimba tidak boleh lagi digunakan dilua rimba. Oleh karena itu syarat bediom adalah meninggalkan hal-hal terkait dengan kehidupan di dalam rimba dan mengadopsi seluruh tatacara berkampung. Mereka mesti merubah kepercayaan dari kepercayaan yang memuja banyak Dewa kepada kepercayaan monotheis. Mereka juga sudah diperbolehkan memakan makanan yang semula diharamkan yakni daging serta segala produk sampingan dari binatang ternak yang dipelihara orang Melayu. Sebaliknya daging babi dan binatang lain yang diharamkan tidak boleh lagi mereka makan. Dari sisi hukum mereka juga telah dikenai hukum formal kenegaraan, tidak lagi memakai hukum adat.

Budaya rimba ternyata juga menyediakan mekanisme bagi Orang Rimba yang telah bediom untuk kembali lagi ke kehidupan rimba. Karena ternyata tidak semua yang bediom mampu beradaptasi dengan kehidupan ala berkampung. Namun sebelum diijinkan Temenggung kembali ke kelompok di rimba, mereka harus melakukan ritus persiapan masuk rimba. Salah satunya adalah selama 3 bulan mereka tidak boleh lagi makan-makanan yang ditabukan.

Binatang dalam kepercayaan Orang Rimba

Menurut kepercayaan Orang Rimba, binatang (natong dalam bahasa Orang Rimba) ada di dunia tidak dengan sendirinya. Binatang juga diciptakan oleh Tuhan. Penciptaan binatang bersamaan dengan penciptaan manusia. Sesuai dengan dunia batin Orang Rimba yang selalu menggolong-golongkan sesuatu ke dalam dua hal secara bertentangan. Binatang ada yang baik dan ada yang jahat. Binatang yang baik diciptakan bersama manusia di surga. Perannya adalah untuk menemani manusia. Oleh karena itu binatang yang baik tidak akan mengganggu manusia. Pun manusia dilarang keras mengganggunya. Binatang baik menurut Orang Rimba diantaranya adalah merego (harimau) dan kera. Ada satu lagi binatang yang pantang diganggu, yakni burung gading. Oleh Orang Rimba, burung gading dianggap sebagai burung suci karena merupakan penjelmaan Dewa. Apabila burung gading bersuara maka itu dianggap sebagai suara dewa. Oleh karena itu Orang Rimba akan berdoa.

Merego adalah binatang yang pantang dibunuh dan sebaliknya menurut kepercayaan Orang Rimba, merego juga berpantang membunuh Orang Rimba. Sampai saat ini belum pernah ada Orang Rimba menjadi korban merego meskipun mereka hidup bersama di dalam hutan. Menurut cerita yang disampaikan oleh Orang Rimba, ada sejarahnya mengapa terjadi saling pantang itu. Diceritakan pada zaman dulu merego mengamuk dan membunuh Orang Rimba. Korban yang terbunuh mencapai ratusan orang dalam sehari. Akhirnya sang merego ditangkap oleh Orang Rimba. Namun karena merego adalah binatang dari surga, maka merego tidak dibunuh tetapi diajak untuk membuat perjanjian. Isinya adalah bahwa merego tidak akan membunuh Orang Rimba. Kalau sampai terjadi pantangan itu dilanggar, maka satu Orang Rimba yang terbunuh harus dibayar satu nyawa merego. Kalau dua yang terbunuh, maka harus pula dibayar dua nyawa merego. Perjanjian itu berlaku sebaliknya. Apabila ada Orang Rimba membunuh merego maka Orang Rimba juga harus dibunuh satu, yakni sang pembunuh. Artinya diantara Orang Rimba dan merego berlaku hukum satu berbanding satu, “membunuh maka dibunuh”

Binatang yang jahat adalah binatang yang mengganggu. Binatang jahat diciptakan di neraka. Oleh sebab itulah binatang jahat boleh dibunuh, terutama bila mengganggu Orang Rimba. Yang termasuk binatang jahat diantaranya adalah beruang, babi, ular, tikus dan kaki seribu (lipan). Beruang adalah binatang yang sangat ditakuti oleh Orang Rimba. Bahkan ketika Orang Rimba ditanya apa yang paling membuat takut, hampir semuanya menjawab beruang.

Menurut sebagian ahli, Orang Rimba dan Orang Melayu memiliki nenek moyang yang sama. Hal itu dilihat dari kemiripan budaya, bahasa, dan rupa fisik. Namun demikian asal dari nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba belum disepakati secara tegas oleh para ahli. Sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat mengenai daerah asal usul nenek moyang orang Melayu dan Orang Rimba. Diperkirakan keberadaan Orang Rimba di pulau Sumatera dimulai sekitar 4000 tahun sebelum masehi, bersamaan dengan kedatangan kelompok manusia dari benua Asia, yakni dari daerah Yunan yang termasuk di dalam wilayah Cina Selatan. Mereka dikenal sebagai Melayu Tua atau Proto Melayu yang memiliki peradaban sangat sederhana. Menurut sebagian ahli, ras inilah yang menurunkan Orang Rimba.

Gelombang kedua kedatangan nenek moyang orang Melayu terjadi sekitar tahun 2500 sebelum masehi. Mereka diperkirakan datang dari daerah Dongson di sebelah utara Vietnam. Dimungkinkan mereka membawa teknologi dan keterampilan yang lebih canggih dibandingkan kelompok yang datang dari daerah Yunan. Di pulau Sumatera kedua kelompok bertemu dan bercampur melahirkan ras Deutro-Melayu. Menurut perkiraan sebagian ahli yang lain, ras Deutro-Melayu yang melahirkan Orang Melayu dan Orang Rimba.

Sejak ratusan tahun lalu, paling tidak sejak tahun 1500-an sesuai catatan para penjelajah eropa, Orang Rimba telah melakukan hubungan dagang dan menjalin hubungan kekuasaan dengan kerajaan Jambi. Orang Rimba membayar upeti (jajah) kepada kerajaan berupa barang yang bisa didagangkan dan hasil kerajinan agar keberadaan Orang Rimba diakui dan tidak diusik. Pada akhir abad 19 ketika masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia sedang kokohnya, banyak pejabat pemerintahan yang membuat catatan mengenai Jambi, khususnya mengenai keberadaan Orang Rimba yang saat itu disebut dengan Orang Kubu. Menurut sebagian catatan itu diceritakan bahwa Orang Kubu (termasuk Orang Rimba) adalah orang-orang yang mengalami tekanan kehidupan yang sangat keras dari Orang Melayu. Banyak Orang Kubu ditangkap orang Melayu untuk dijadikan budak. Oleh karena itulah Orang Rimba berupaya menjalin hubungan baik dengan pihak kerajaan agar aman.

Mitos riwayat asal muasal Orang Rimba memiliki beberapa versi yang berbeda. Namun demikian hampir seluruh versi itu sama-sama mengklaim bahwa pada awalnya Orang Rimba dan orang Melayu merupakan satu kelompok yang sama. Salah satu versi menyebutkan bahwa pada abad ke 11, di Jambi telah berdiri kerajaan maritim Sriwijaya yang menguasai sebagian selat Malaka dan memiliki hubungan internasional. Pada tahun 1025, kerajaan Chola dari India Selatan menaklukan Sriwijaya dan menguasainya. Pada saat itu, sebagian penduduk Sriwijaya yang tidak mau dikuasai orang asing berpindah ke hutan dan seterusnya hidup di hutan. Mereka ini disebut Orang Kubu, yang salah satu variasinya adalah Orang Rimba. Istilah kubu dimungkinkan bermakna benteng, yang bisa diartikan sebagai membangun benteng dengan mendirikan komunitas baru di daerah terpencil dan jauh di pedalaman hutan.

Riwayat lain mengkisahkan bahwa konon pada waktu lampau, raja Pagaruyung, yakni Daulat Yang Dipertuan, setelah sholat duduk di atas kura-kura besar yang disangkanya batu di pinggir sungai. Dia bersirih dan membuang sirihnya ke dalam sungai. Sirih tersebut dimakan oleh kura-kura. Setelah memakan sirih yang dibuang sang raja, si kura-kura hamil dan melahirkan anak manusia laki-laki. Kabar bahwa ada kura-kura memiliki anak manusia sampai ke telinga raja. Lalu dipanggillah anak tersebut ke istana. Akhirnya diakuilah anak tersebut sebagai anaknya oleh sang raja. Setelah dewasa, anak tersebut akan dijadikan raja di kota Tujuh, Sembilan Kota, Pitajin Muara Sebo, Sembilan Luruh sampai daerah terpencil Jambi. Namun sebagian penduduk tidak setuju karena anak tersebut adalah anak kura-kura. Sebagai bentuk penolakan, mereka menyingkir ke hutan dan hidup disana. Jadilah mereka Orang Rimba.

Menurut cerita lisan yang saya dengar dari beberapa Orang Rimba di TNBD, mereka mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang Padang (Minangkabau) di Sumatera Barat. Pada awalnya mereka semua berkampung sampai kedatangan orang Belanda. Karena enggan dikuasai oleh orang asing, mereka melakukan perlawanan. Namun karena tidak kuat melawan maka mereka lari. Sebagian dari mereka lari ke hilir (ke arah laut) dan sebagian ke arah hulu (ke gunung). Mereka yang menyingkir ke hilir menjadi Orang Minangkabau, sedangkan mereka yang menyingkir ke gunung dan hutan menjadi Orang Rimba. Lama kelamaan, karena ingin menghindari orang asing mereka sampai di jambi.

Versi lain mitos asal usul Orang Rimba berkaitan dengan sebuah cerita mengenai Putri Pinang Masak. Konon kabarnya, pada zaman dahulu kala Jambi dipimpin oleh Ratu Putri Selaras Pinang Masak yang berasal dari kerajaan Pagaruyung dari wilayah Sumatera Barat kini. Pada suatu masa, terjadilah pertentangan dengan raja Kayo Hitam yang berkuasa di lautan sampai dengan Muara Sabak (daerah Kuala Tungkal saat ini). Sang ratu merasa kewalahan sehingga ia meminta bantuan ke Pagaruyung. Maka dikirimkanlah serombongan pasukan oleh raja Pagaruyung. Namun belum sampai di Jambi, rombongan pasukan tersebut kehabisan bekal di sekitar wilayah TNBD sekarang. Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di dalam rimba karena apabila kembali ke Pagaruyung akan dihukum, sedangkan bila meneruskan perjalanan sudah tidak memiliki bekal lagi. Mereka juga bersepakat untuk tidak tunduk kepada siapapun, baik kepada raja Pagaruyung maupun ratu Jambi. Merekalah yang kemudian menurunkan Orang Rimba.

Dari salah seorang Orang Rimba Makekal, didapat cerita mengenai Bujang Perantau sebagai nenek moyang Orang Rimba. Diceritakan bahwa Bujang Perantau berasal dari Pagaruyung. Ia tinggal sendiri di dalam sebuah rumah di dalam hutan. Pada suatu hari ia memperoleh buah gelumpang. Pada malam hari ia bermimpi agar membungkus buah gelumpang dengan kain putih. Oleh bujang perantau mimpi tersebut dilaksanakan. Lalu muncullah putri cantik dari buah gelumpang yang dibungkus. Mereka berdua lalu kawin. Namun karena tidak ada yang mengawinkan maka mereka meniti batang kayu yang melintang diatas sungai. Pada saat kening mereka beradu, maka berarti perkawinan mereka sah. Dari hasil perkawinan mereka lahirlah empat orang anak, yakni Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, dan Putri Pinang masak.

Anak pertama dan terakhir, yakni Bujang Malapangi dan Putri Pinang Masak keluar dari hutan dan kemudian menjadi Orang Terang. Bujang Malapangi berkampung di desa Tana Garo. Putri Pinang Masak berkampung di Tembesi. Sedangkan Dewo Tunggal dan Putri Gading tetap tinggal di dalam hutan, yakni di wilayah hutan bukit Duabelas. Kedua anak dari Bujang Perantau yang tinggal di dalam hutan yang kemudian menurunkan Orang Rimba.

Mitos mengenai asal usul Orang Rimba menceritakan kepada kita setidaknya dua hal penting. Pertama, Orang Rimba mencoba mengaitkan asal-usul mereka dengan orang Melayu. Hal ini merupakan fakta penting. Sangat mungkin kebutuhan akan keberakaran atau asal usul merupakan pendorong terjadinya cerita semacam itu. Ketidakjelasan asal-usul secara psikologis akan menyebabkan kekosongan identitas. Kondisinya mungkin hampir serupa dengan seorang anak yang hidup sendirian dan tidak tahu siapa orangtuanya. Sang anak akan mencari tahu asal-usulnya karena tanpa tahu asal-usul ia merasakan suatu kekosongan identitas. Langkah logis pertama yang akan dilakukannya adalah mengkaitkan dirinya dengan kelompok yang secara fisik mirip dengannya dan paling sering ditemuinya. Apabila ternyata asal-usul orangtuanya tidak dapat ditelusuri lagi, maka biasanya kesadaran akan kelompok sudah cukup. Demikian juga yang terjadi pada Orang Rimba. Paling logis yang dilakukan adalah mengkaitkan riwayat asal-usul dengan orang Melayu yang secara fisik tidak banyak berbeda.

Kedua, sebagian besar cerita mengarah kepada orang Minangkabau, yang merupakan salah satu varian dari orang Melayu sebagai nenek Moyang Orang Rimba. Pengkaitan itu sulit dikatakan sebagai sebuah kebetulan. Tentu ada sebuah kesengajaan adanya mitos tersebut. Sebenarnya lebih masuk akal apabila Orang Rimba mengkaitkan nenek moyang mereka dengan Orang Melayu Jambi, yakni kelompok yang tinggal di dekat mereka dan merupakan kelompok yang paling sering berhubungan dengan mereka. Bahkan mereka pernah secara struktural mengakui keberadaan raja Jambi.

Terlepas benar tidaknya Orang Rimba berasal dari ranah minang dan memiliki nenek moyang orang Minangkabau, tampaknya ada alasan psikologis dibalik penciptaan mitos asal-usul Orang Rimba yang hampir selalu menyebutkan orang Minangkabau sebagai nenek moyang mereka. Mitos itu mungkin diciptakan sebagai perlawanan terhadap tekanan yang dilakukan kelompok Melayu Jambi terhadap Orang Rimba. Pada masa lalu di Jambi terdapat perbudakan. Orang Melayu Jambi mencari budak dengan cara menangkapi Orang Kubu (termasuk Orang Rimba). Setelah ditangkap, Orang Rimba dijadikan budak dan dipaksa melakukan berbagai pekerjaan. Pengalaman tidak menyenangkan yang dialami Orang Rimba tidak hanya itu, mereka juga diharuskan membayar upeti kepada pihak penguasa. Oleh sebab itulah mereka merasa tidak nyaman jika mengkaitkan nenek moyang mereka dengan Orang Melayu Jambi. Maka langkah paling logis adalah mengkaitkan nenek moyang mereka dengan orang Minangkabau, yakni kelompok yang tinggal tidak jauh dari mereka, cukup sering berinteraksi, mirip secara fisik, dan terpenting tidak melakukan tindakan yang tidak menyenangkan.

(Artikel ini adalah bagian dari tulisan panjang tentang Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Secara keseluruhan, artikel mengenai Orang Rimba bisa Anda temukan secara terpisah dalam rangkaian situs psikologi online)

Orang Rimba atau lazim disebut Suku Anak Dalam adalah sebuah entitas etnik minoritas yang namanya sangat populer dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik kerap menurunkan pemberitaan mengenai etnik tersebut. Namun mungkin dikarenakan keterbatasan ruang maupun waktu, pemberitaan itu sering sepenggal-sepenggal. Hal itu meninggalkan sebuah pertanyaan besar di benak banyak orang. “Seperti apakah sesungguhnya kehidupan mereka?” Naskah ini adalah jawaban bagi pertanyaan itu.

Apa yang diharapkan orang ketika mulai membaca sebuah naskah tentang etnik minoritas? Tipikal, rata-rata orang berharap untuk membaca sebuah eksotisme kehidupan. Sesuatu yang aneh, mencengangkan, langka dan mengejutkan diharapkan ada dalam naskah itu. Semoga naskah ini tidak mengecewakan dari sisi eksotisme. Bagaimanapun sebuah eksotisme dalam arti sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda adalah sesuatu yang sangat subjektif. Sesuatu yang eksotik menurut seseorang belum tentu eksotik menurut orang lain. Memuaskan semua orang adalah sesuatu yang sulit. Lebih sulit daripada apapun kata Kahlil Gibran. Lagipula sebuah eksotisme tentang kehidupan tidak bisa dicari-cari layaknya imajinasi. Ia ada jika memang ada. Jadi, akan tinggal tergantung anda apakah anda menangkap sebuah eksotisme atau tidak.

Orang Rimba tersebar diberbagai lokasi berbeda di hutan-hutan Jambi. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok berbeda dibawah temenggung atau kepala suku yang berbeda pula. Orang Rimba yang menjadi subjek dalam buku ini adalah Orang Rimba kelompok Makekal Hulu yang dipimpin oleh Temenggung Segrip. Ruang hidup mereka adalah daerah barat Taman Nasional Bukit Duabelas. Apabila tidak menyebutkan nama kelompok lain, berarti yang dimaksud adalah kelompok Makekal Hulu. Lokasi desa terdekat kelompok ini adalah desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.

Orang Rimba adalah masyarakat hutan yang benar-benar tinggal dan hidup didalam keteduhan hutan. Mereka memanfaatkan seluruh ruang hutan bagi kehidupan. Filosofi hidup mereka pun bersumber pada kehidupan hutan. Jumlah mereka sangat sedikit, sekitar 3000 jiwa. Jauh lebih sedikit daripada mahasiswa UGM jogja yang berjumlah sekitar 50 ribu mahasiswa. Jumlahnya hanya setara dengan jumlah dosen UGM. Satu desa di pedesaan pulau jawa saja masih lebih banyak penduduknya. Namun demikian, mereka menikmati kepopuleran nasional dan bahkan internasional.

Kehidupan yang unik dan eksotik adalah sebab kepopuleran mereka. Ditengah derap dunia yang melaju cepat, mereka masih saja terkungkung dalam kehidupan seperti yang dilaksanakan nenek moyang mereka ratusan atau bahkan ribuan tahun yang silam. Mereka berkeyakinan bahwa merubah alam adalah pembangkangan terhadap kehendak Tuhan dan merupakan pelanggaran adat. Namun sebenarnya mereka juga berubah, meski perlahan. Interaksi dengan masyarakat luar hutan dan perubahan lingkungan yang begitu cepat dalam beberapa dekade terakhir memaksa mereka untuk menyesuaikan diri. Orang Rimba saat ini adalah Orang Rimba yang sedang berubah.

Kehidupan Orang Rimba dalam buku ini adalah kehidupan kekinian yang benar-benar dijalani saat ini. Siapakah sebenarnya Orang Rimba, dimana mereka tinggal, bagaimana lingkungan hidup mereka, bagaimana dunia batin mereka, bagaimana penghidupan mereka, bagaimana kehidupan sosial dan gaya hidup mereka, adalah tema-tema yang coba dipaparkan. Selain itu dipaparkan pula mengenai sekolah rimba yang diselenggarakan untuk mereka didalam hutan dan kondisi emosi mereka. Tidak ketinggalan adalah pergulatan Orang Rimba dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat di sekeliling mereka.

Perkenalan dengan Orang Rimba dimulai pada akhir tahun 2003. Saat itu, Johan Weintre, teman dari negeri seberang laut, membawa setumpuk naskah dan data mengenai Orang Rimba yang merupakan hasil perjalanannya ke komunitas Orang Rimba di pedalaman Jambi. Saya kemudian menekuni naskah tersebut. Hasilnya tidak mengejutkan, saya menjadi sangat ingin untuk datang dan melihat langsung serta berinteraksi dengan Orang Rimba.

Sejak saat itu saya mulai memikirkan cara untuk dapat melakukan perjalanan ke Jambi. Beruntung saat itu saya belum menyusun skripsi. Jadi saya bisa pergi ke sana untuk memuaskan keinginan sekaligus sebagai perjalanan skripsi. Setelah proses beberapa minggu mencari tema penelitian, akhirnya saya memutuskan untuk meneliti mengenai emosi. Pada bulan september 2004, proposal saya yang berjudul ‘Emosi Orang Rimba’ disetujui. Bulan berikutnya saya sudah pergi dari Jogja dan memulai perjalanan untuk selama lebih dari setengah tahun. Pada awal November 2004 saya sudah berada di jambi. Dimulai saat itulah saya berinteraksi dengan Orang Rimba sampai dengan awal Mei 2005. Diselingi berbagai vakum interaksi, total sekitar 5 bulan saya benar-benar melakukan interaksi dengan Orang Rimba.

Pengalaman berinteraksi dengan Orang Rimba dan lingkungan sekelilingnya serta disintesakan dengan berbagai literatur mengenai Orang rimba menghasilkan keseluruhan isi naskah ini. Namun demikian naskah ini sesungguhnya hanyalah laporan perjalanan.

Orang Rimba sebagai salah satu etnik minoritas di Indonesia.

Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam merupakan salah satu etnik minoritas di Indonesia. Di keteduhan hutan hujan dataran rendah Sumatera mereka hidup dan mempertahankan tradisi budaya dari nenek moyang yang berpusat pada hutan sebagai sumber filosofinya. Kehidupan mereka relatif tidak banyak berubah dibandingkan dengan kehidupan nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka masih berburu, memungut, dan meramu hasil hutan. Saat ini sebagian dari mereka juga telah berladang. Oleh masyarakat luas mereka dikenal sebagai kelompok yang suka berpindah-pindah. Namun tidak seperti yang diduga banyak orang, mereka tidak berpindah secara terus menerus sepanjang waktu. Pada dasarnya mereka menetap. Mereka hanya berpindah apabila terjadi kematian salah satu anggota kelompoknya saja atau bila ada penyakit yang mewabah. Namun karena tingkat kematian yang tinggi, perpindahan sering terjadi. Akibatnya mereka terkesan sebagai kelompok nomaden.

Penggemar film dokumenter tentunya pernah menonton film mengenai kehidupan suku-suku asli rimba. Diantaranya adalah yang hidup di kedalaman hutan hujan amazon di Brazil yang diproduksi oleh National Geographic Society dan Discovery Channel. Filmnya banyak beredar di Indonesia dalam bentuk VCD. Kehidupan Orang Rimba sedikit mirip dengan kehidupan suku-suku tersebut. Beberapa stasiun televisi nasional juga pernah menayangkan film dokumenter mengenai kehidupan Orang Rimba. Meski tentu saja hanya sebagian kecil dimensi kehidupan Orang Rimba yang terekam dan ditayangkan.

Pedalaman Jambi merupakan ruang hidup Orang Rimba. Namun selain menjadi tempat hidup mereka, pedalaman Jambi juga merupakan rumah bagi etnik minoritas lain, yakni Orang Batin Sembilan. Bersama dengan Orang Rimba, Orang Batin Sembilan dikenal masyarakat luas dengan sebutan Orang Kubu. Bahkan tidak hanya itu, wilayah pedalaman Jambi dan bagian pulau sumatera bagian tengah lainnya juga menjadi ruang hidup beberapa etnik minoritas yang berbeda. Disana hidup Orang Sekak, Orang Talang Mamak, Orang Sakai, Orang Lom, Orang Duano, Orang Akit, Orang Bonai dan beberapa lainnya. Mereka hidup tersebar mulai dari kawasan pantai sampai di dekat kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ruang hidup mereka bervariasi. Ada yang mendiami kawasan hutan di antara sungai-sungai besar, di rawa-rawa pantai, maupun di pulau-pulau lepas pantai.

Jumlah keseluruhan Orang Rimba yang tersebar di seluruh pedalaman Jambi diperkirakan antara 2000 sampai 3000 orang. Jumlah yang sangat kecil ini menegaskan betapa minoritasnya Orang Rimba. Keseluruhan jumlah Orang Rimba hanya setara dengan jumlah penduduk satu desa di pulau Jawa, bahkan mungkin lebih besar jumlah penduduk satu desa di pulau jawa. Bandingkan misalnya dengan jumlah etnis Jawa yang berkisar 90 juta orang atau etnis Dayak yang berjumlah kira-kira 2 juta jiwa.

Selain berjumlah kecil, Orang Rimba merupakan kelompok marginal. Meski tidak sepenuhnya terisolasi, mereka memiliki akses sangat terbatas untuk mengikuti gerak dunia modern. Mereka hampir tidak tersentuh pendidikan formal. Tidak mengherankan apabila mereka tidak memiliki akses kekuasaan di pemerintahan sama sekali. Lantas menjadi tidak aneh apabila Orang Rimba menjadi kelompok yang sangat lemah. Ketika hutan mereka yang kaya kayu dijarah, mereka tidak berdaya. Mereka hanya bisa meratapi hutan yang dihancurkan, yang berarti pertanda bahwa kehidupan mereka terancam.

Pengakuan terhadap eksistensi Orang Rimba secara legal hukum oleh negara belum lama diberikan. Itupun tidak secara langsung. Orang Rimba di hutan Bukit Duabelas baru mendapat pengakuan sah dari pemerintah melalui surat keputusan penetapan hutan Bukit Duabelas menjadi taman nasional pada tahun 2000. Dalam penetapan itu disebutkan bahwa selain untuk konservasi, taman nasional juga menjadi cagar bagi Orang Rimba agar kehidupan dan penghidupan mereka di dalam hutan terjaga. Taman nasional ditetapkan sebagai perlindungan bagi Orang Rimba.

Manakah yang tepat ; Orang Rimba, Suku Anak Dalam, atau Kubu?

Orang Rimba merupakan salah satu nama. Ada penamaan lain sebagai identitas mereka, seperti Kubu, Orang Dalam, Sanak, dan Suku Anak Dalam. Sejak berabad-abad yang lalu, masyarakat umum mengenal kelompok Orang Rimba sebagai Orang Kubu. Sampai saat inipun, masih banyak anggota masyarakat yang menyebut mereka dengan sebutan kubu. Istilah kubu juga menjadi nama internasional bagi Orang Rimba. Hal ini disebabkan peran para etnographer awal abad ini yang selalu menyebut Orang Rimba sebagai kubu dalam tulisan-tulisannya. Akibatnya melekatlah nama kubu sebagai istilah resmi dalam literatur.

Saat ini kata kubu sangat dekat berasosiasi dengan sesuatu yang berbau primitif, kotor, dan tidak tahu sopan santun. Oleh orang-orang di desa-desa pinggir hutan, kata kubu digunakan untuk kata ejekan. Bila diterangkan tidak mengerti-mengerti akan disebut “memang kubu!” Maksudnya ‘bodoh’. Bila anak-anak disuruh mandi tidak mau, merupakan hal biasa bila orangtua mereka menakut-nakuti “tidak mau mandi, mau jadi Orang Kubu?!” Bila bertindak tidak mengikuti sopan santun menurut ukuran orang desa itu, adalah hal biasa bila diumpat “dasar kubu!”

Kebanyakan Orang Rimba pada saat ini enggan disebut kubu. Bahkan, ada Orang Rimba yang mengatakan pada saya bahwa dirinya sangat marah kalau disebut sebagai kubu. Hal itu mereka anggap sebagai ejekan. Secara konotatif, kubu memang bermakna negatif, yakni bodoh, bau dan jorok. Mereka lebih senang disebut sebagai Orang Rimba. Pada saat berbincang-bincang dengan mereka, untuk menyebut kelompok mereka sendiri, mereka sering mengatakan “kami Orang Rimbo…” Oleh sebab itulah dalam buku ini mereka disebut sebagai Orang Rimba.

Tidak jarang mereka juga menyebut diri mereka sendiri sebagai Orang Dalam. Sebab mereka adalah orang yang tinggal ‘didalam’ hutan sedangkan orang-orang desa dan lainnya tinggal ‘diluar’ hutan. Orang Rimba memiliki kosa kata khusus untuk menyebut orang desa dan semua orang yang bukan Orang Rimba yakni Orang Terang. Mungkin istilah itu berasal dari adanya perbedaan suasana tempat tinggal. Hutan tempat tinggal Orang Rimba selalu teduh karena terlindung oleh pepohonan hutan yang besar-besar dan tinggi. Sedangkan wilayah orang desa dan lainnya selalu terang karena jarangnya pepohonan.

Mula-mula saya menyebut Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam sebagaimana koran-koran dan televisi mempopulerkan demikian. Akan tetapi nyatanya ada Orang Rimba yang tidak tahu dengan istilah itu. Mereka malah balik bertanya, “Suku Anak Dalam tu apo?” Saya sempat kaget, mengapa yang diberi nama malah tidak tahu dengan namanya sendiri.

Suku Anak Dalam merupakan nama yang jauh lebih populer di mata masyarakat Indonesia daripada nama Orang Rimba. Hal itu merupakan peran media massa yang selalu mengekspos mereka dengan sebutan demikian. Pemerintah RI sendiri agaknya menggunakan nama Suku Anak Dalam sebagai istilah resmi. Hal ini terbukti dari penggunaan nama Suku Anak Dalam didalam berbagai dokumen resmi dinas-dinas pemerintahan.

Masyarakat desa di sekitar kawasan tempat tinggal Orang Rimba menyebut Orang Rimba sebagai sanak, yang memiliki arti harfiah ‘saudara’. Pada awalnya panggilan sanak untuk Orang Rimba diberikan oleh orang Minangkabau, namun kemudian seluruh masyarakat di sekitar hutan ikut-ikutan memanggil mereka dengan sebutan sanak. Ketika berbincang-bincang dengan masyarakat desa dan merujuk pada Orang Rimba, sayapun menyebut mereka dengan kata ganti sanak.

Dimana Orang Rimba tinggal?

Orang Rimba secara tradisional hidup di kawasan pulau Sumatera bagian tengah yang tercakup dalam wilayah administratif provinsi Jambi. Mereka tersebar di berbagai lokasi yang berbeda-beda, misalnya di selatan sungai Tembesi, di antara sungai Tembesi dan Merangin, di Taman Nasional Bukit Duabelas, dan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jumlah keseluruhan Orang Rimba diseluruh lokasi berkisar antara 2000 sampai 3000 jiwa. Populasi Orang Rimba terbesar berada di kawasan Taman nasional Bukit Duabelas. Berdasarkan sensus LSM Warsi pada tahun 2004, jumlah Orang Rimba yang hidup dikawasan Taman Nasional Bukit Duabelas adalah 1316 jiwa. Mereka tercakup dalam 3 kelompok besar, yakni kelompok Makekal, kelompok Kejasung, dan kelompok Air Hitam. Kelompok Makekal, khususnya Makekal Hulu yang tinggal di wilayah selatan-barat daya Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan Orang Rimba yang dibicarakan dalam buku ini.

Kawasan hutan Bukit Duabelas sebagai wilayah ruang hidup Orang Rimba ditetapkan sebagai Taman Nasional oleh pemerintah pada tahun 2000. Luas areal keseluruhan 60.500 hektar. Penetapan itu berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 258/Kpts-II/2000, tertanggal 23 Agustus 2000. Penetapan tersebut terutama diperuntukkan untuk perlindungan bagi Orang Rimba sebagai indigenous people di kawasan tersebut. Saat ini pengelolaan taman berada di tangan Dinas Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Taman Nasional Bukit Duabelas, lazim disingkat TNBD, terletak diantara 01o45’58” lintang selatan dan 102o03’02” bujur timur. Ketinggiannya berkisar dari 50 sampai 438 diatas permukaan laut. Tingkat kelerengannya antara 2-40%. Didalam kawasan tersebut terdapat beberapa sungai dengan anak-anak sungai yang menyerupai serabut akar tunggang. TNBD merupakan kawasan hutan hujan dataran rendah Sumatera yang masih tersisa dan merupakan daerah tangkapan air untuk daerah aliran sungai (DAS) Batanghari, dengan Sub DAS Air Hitam Hulu, Sub DAS Kejasung, dan Sub DAS Makekal. Nama Bukit Duabelas diperoleh dari keberadaan duabelas bukit yang membujur dari timur ke barat. Bukit tertinggi adalah bukit Kuran dengan ketinggian 438 dpl.

Secara administratif TNBD tercakup dalam tiga wilayah kabupaten, yakni Sarolangun, Batanghari dan Tebo. Kecamatan yang mencakup wilayah TNBD adalah kecamatan Air Hitam dan Mandiangin (Sarolangun), kecamatan Tebo Ilir (Tebo) dan Maro Sebo Ulu (Batanghari). Untuk memasuki kawasan TNBD, perizinan tidak melalui dinas pemerintahan tetapi melalui pengelola kawasan, yakni dinas BKSDA Jambi.

Apabila berkeinginan memasuki Taman Nasional Bukit Duabelas, perizinan harus diurus di Dinas BKSDA Jambi yang beralamat di Jl. Arief Rahman Hakim No. 10B Lt. 2, Telanai Pura, Jambi, kode pos 36124, atau melalui Seksi Konservasi Wilayah I Bangko, Jl. Jendral Sudirman Km 3, Bangko. Pos terdekat BKSDA dengan kawasan Taman adalah pos BKSDA di desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.

Ruang hidup Orang Rimba

Hutan adalah ruang hidup Orang Rimba. Hutan merupakan rumah, sumber penghidupan dan perlindungan bagi Orang Rimba. Hutan adalah tempat anak-anak rimba tumbuh berkembang menjadi manusia yang arif terhadap alam. Dalam keteduhan pepohonan, Orang Rimba menganyam kehidupan..

Sebagaimana ditulis dimuka, Orang Rimba yang menjadi subjek dalam buku ini adalah Orang Rimba yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas. Suatu kawasan dimana terdapat konsentrasi Orang Rimba terbesar. Lebih khusus lagi, subjek buku ini adalah Orang Rimba yang berada di kawasan selatan-barat daya Taman Nasional Bukit Duabelas yang dikenal sebagai kelompok Makekal Hulu. Penetapan hutan Bukit Duabelas menjadi Taman Nasional sendiri tidak lain merupakan upaya perlindungan bagi Orang Rimba. Pembentukannya serupa dengan pembentukan berbagai taman nasional yang ditujukan bagi orang Indian di Amerika Serikat.

Taman Nasional Bukit Duabelas (lazim disingkat TNBD) merupakan salah satu hutan ruang hidup Orang Rimba yang terpenting. Disana kondisi hutannya relatif masih memungkinkan kehidupan tradisi budaya Orang Rimba berjalan dengan baik. Sebab hanya hutan yang masih terjagalah yang akan terus dapat menjadi ruang hidup bagi masyarakat rimba. Hutan yang rusak sama artinya dengan kehancuran eksistensi mereka. Rimba sendiri secara harfiah bermakna hutan. Orang Rimba berarti orang yang hidup di dalam hutan. Tidak seperti para petualang atau pencari kayu yang tinggal hanya beberapa waktu di dalam hutan, Orang Rimba hidup di dalam hutan sepanjang hayat. Tidak seperti para petualang yang meskipun tinggal bertahun-tahun lamanya di dalam hutan namun selalu memiliki rumah tempat kembali pulang, hutan adalah rumah Orang Rimba. Mereka telah menjadi bagian ekosistem hutan dimana mereka tinggal. Orang Rimba adalah alam itu sendiri. Dalam konteks TNBD, mereka adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam ekosistem taman.

TNBD terletak di jantung provinsi Jambi dan merupakan hutan hujan dataran rendah sumatera. Ada sumber menyebutkan bahwa kawasan itu merupakan satu-satunya hutan dataran rendah sumatera yang masih tersisa. Oleh karena itu selain demi peruntukan Orang Rimba, TNBD juga merupakan kawasan konservasi bagi vegetasi dan fauna hutan hujan dataran rendah. Vegetasi hutan Bukit Duabelas sangat kaya. Ratusan jenis pepohonan tumbuh meneduhi tanah. Banyak diantaranya bernilai ekonomis tinggi. Tidak sedikit pula tumbuhan yang berkhasiat obat. Pohon-pohon kayu keras menjulang tinggi membentuk kanopi yang membawa kesejukan bagi siapapun yang berada didalam hutan. Hasil-hasil tetumbuhan hutan mengundang uang datang menghampiri siapapun yang mau mengambilnya.

Hutan di TNBD memiliki kerapatan yang tinggi. Sinar matahari sulit menorobos dedaunan. Oleh karena itu meskipun Orang Rimba tidak memakai baju, mereka tidak kepanasan karena hutan selalu sejuk. Kondisi tanahnya ada yang berbukit-bukit dan ada yang datar. Berjalan di dalam rimba akan sering naik turun bukit sehingga menguras tenaga. Namun bagi Orang Rimba, tidak pernah ada keluhan akan hal itu. Mereka hanya berjalan sedikit melambat ketika mendaki bukit.

Jenis tanah di TNBD umumnya adalah jenis tanah padsolik merah kuning, latosol dan litosol yang terdiri dari bahan induk batuan endapan, batuan beku dan metamorf. Meskipun curah hujan cukup tinggi, sekitar 2000-3000 mm per tahun akan tetapi tanahnya relatif tidak terlalu subur. Ketebalan tanah yang subur sangat tipis. Oleh karena itu sistem pengolahan tanah secara intensif tidak menguntungkan. Tanaman yang ditanam di darat hanya subur pada beberapa penanaman pertama ketika lahan baru dibuka. Apabila sudah lama, tanah akan cepat menjadi tandus. Oleh karena itu biasanya tanah akan dibiarkan ditumbuhi belukar lagi. Setelah beberapa tahun, tanah akan kembali subur.

Sebagai masyarakat hutan, Orang Rimba telah sejak dulu membedakan berbagai area hutan yang memiliki nilai kemanfaatan berbeda. Misalnya ada area yang dinamakan halom bungaron, yaitu kawasan hutan yang masih utuh dan memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi. Area ini nyaris tidak dimanfaatkan oleh Orang Rimba. Lalu ada halom balolo dan ranah yang merupakan kawasan dimana Orang Rimba biasa berburu dan mengambil berbagai hasil hutan. Kemudian ada area halom benuaron dan humo yang dimanfaatkan untuk berladang. Bila digunakan analogi konsentris dengan lingkaran-lingkaran, maka halom bungaron adalah lingkaran terdalam, dibagian luarnya adalah halom balolo, dan terluar adalah halom benuaron. Namun kondisinya tentu tidak persis seperti itu. Tempat berladang Orang Rimba tersebar di pinggir dan di dalam kawasan hutan.

Hampir setiap area di dalam hutan diberi nama. Hal itu tentu untuk memudahkan Orang Rimba dalam menentukan letak. Biasanya nama suatu daerah didasarkan pada nama sungai yang mengalir. Namun jangan dibayangkan kita bakal menemukan suatu tanda-tanda fisik bahwa suatu tempat bernama tertentu. Kelompok inti Makekal Hulu misalnya tinggal disuatu kawasan yang bernama Kedondong Mudo. Lalu kelompok-kelompok kecil lainnya tersebar di kawasan yang berbeda-beda dan memiliki nama tersendiri, misalnya Siamang Mati, Air Behan, Sungai Meranti, Sungai Tengkuyung, dan lainnya. Nama tempat kadang juga menjadi identitas mereka. Mereka menjelaskan seseorang sekaligus dengan nama tempat tinggalnya. Misalnya “Nijo, dari air hitam”, “Nalitis, dari siamang mati”, dan lainnya.

Flora Rimba

Flora rimba sangat banyak. Ratusan jenis tumbuhan membentuk vegetasi hutan hujan dataran rendah yang sangat kaya. Berbagai jenis pohon yang bernilai tinggi baik untuk pengobatan, industri maupun makanan banyak terdapat di hutan. Berbagai tumbuhan di dalam hutan dimanfaatkan oleh Orang Rimba baik untuk keperluan mereka sendiri maupun untuk dijual. Mereka menggunakan segala yang ada dihutan secara intensif. Ada pohon yang khusus diambil buahnya untuk dimakan, ada pohon yang diambil getahnya untuk dijual, ada yang diambil daunnya untuk atap, ada yang diambil akarnya untuk tuba, ada yang diambil batangnya untuk rumah dan sebagainya.

Jenis kayu meranti jenis kayu yang paling dincar karena kayunya bernilai ekspor. Ketika belum ada penetapan hutan Bukit Duabelas menjadi TNBD, orang-orang luar sangat aktif mengambil jenis kayu tersebut sampai masuk jauh ke dalam hutan. Saat ini keadaannya relatif aman. Meskipun pencurian dan penjarahan tetap terjadi namun tidak sehebat dulu. Oleh Orang Rimba kulit kayu pohon meranti yang muda dibuat untuk suluh atau penerangan. Getahnya diambil untuk dijual. Selain meranti, pohon getah yang bernilai adalah damar (persis seperti meranti), jelutung, dan balam. Ada juga pohon yang buahnya menghasilkan getah yang bernilai sangat tinggi, yakni pohon jernang. Harga perkilonya bisa mencapai 1 juta.

TNBD merupakan tempat hidup sekurang-kurangnya 10 jenis rotan. Orang Rimba memiliki sebutan masing-masing untuk setiap jenis rotan. Mereka sangat jeli membedakan jenis rotan satu dengan yang lainnya, padahal selintas sangat mirip. Mereka memanfaatkan rotan untuk membuat berbagai kerajinan, tali pengikat, dan juga untuk dijual.

Beberapa pohon buah yang tumbuh di TNBD adalah kedondong, manggis, duku, durian, tampui, petai, cempedak, dan rambutan. Pohon kedondong dikenal juga dengan nama pohon sialang yakni pohon yang disukai lebah madu untuk bersarang. Oleh karena itu pohon kedodong dianggap sebagai pohon buah yang bernilai paling tinggi. Selain tumbuhan buah, tumbuhan lain yang dimanfaatkan untuk makanan adalah berbagai jenis umbi-umbian.

Rimba menyimpan puluhan jenis tumbuhan yang berkhasiat obat. Beberapa diantaranya adalah tumbuhan bedaro putih, pulai, kayu selusuh, pinang, petaling dan petai. Khasiatnya macam-macam dan telah dipergunakan oleh Orang Rimba sejak lama sebagai pengobatan tradisional mereka. Berdasarkan penelitian oleh tim dari fakultas Kehutanan IPB Bogor tentang khasiat-khasiat dari tumbuhan obat Orang Rimba, ternyata TNBD memang menyimpan potensi obat yang sangat luar biasa. Hutan Orang Rimba adalah gudang obat. Tumbuhan pulai berkhasiat sebagai obat demam, tonikum, perut kembung, malaria, penyubur rambut, sakit gigi, dan sesak nafas. Tumbuhan pinang berkhasiat sebagai obat sakit kuning, rheumatik, patah tulang, penurun panas, pemacu enzim pencernaan seluruh badan, dan bisa digunakan untuk menambah nafsu makan. Tumbuhan pasak bumi bisa digunakan untuk memperkecil pupil mata, obat cacing, penyubur kandungan, serta tonikum. Tumbuhan kayu selusuh dijadikan obat antipiretik dan malaria. Tumbuhan petaling berkhasiat mengobati keputihan. Tumbuhan merajakane berkhasiat memperlancar persalinan. Tumbuhan akar kunyit bermanfaat untuk obat demam, pembersih badan, dan sesak nafas. Tumbuhan akar penyegar berkhasiat sebagai obat antivacum, obat kuat, dan penyubur kandungan. Tumbuhan kemenyan hitam digunakan sebagai obat pereda sakit dan obat cacingan. Diluar itu masih banyak lagi tumbuhan yang berkhasiat obat.

Fauna rimba

Fauna yang hidup di TNBD terdiri dari hampir seluruh kelas, mulai dari mamalia, burung, ikan, reptil, amfibia, ikan, serangga, sampai hewan-hewan tidak bertulang belakang lainnya. Jenis faunanya mungkin ribuan. Semuanya membuat hutan tidak terasa lengang. Ada saja suara-suara yang dikeluarkan oleh binatang-binatang itu, mulai dari suara burung yang merdu, suara siamang yang memecah udara sampai bunyi serangga yang membuat berdiri bulu roma.
Beberapa binatang mamalia besar yang hidup di TNBD dan dagingnya dimanfaatkan untk dimakan adalah babi hutan, rusa, kijang, serta tenuk (sejenis tapir). Daging beruang kadang mau juga mereka makan. Akan tetapi sangat jarang diperoleh karena Orang Rimba menghindari beruang. Harimau atau disebut juga merego banyak terdapat didalam hutan. Dagingnya pantang dimakan.

Binatang mamalia kecil yang terdapat di dalam rimba diantaranya kelelawar, landak, tikus, kera, kancil, napui, dan musang. Kelelawar menghuni gua-gua di dalam rimba. Daging kelelawar biasa diambil untuk dimakan. Landak adalah jenis binatang yang memiliki bulu-bulu duri berwarna putih hitam yang sangat keras dan besar. Landak diburu dan dagingnya dijadikan lauk. Kancil serta napui adalah binatang kecil favorit buruan Orang Rimba. Keduanya biasa diperoleh dengan cara menyuluh.

Berbagai jenis burung hidup di dalam rimba. Ada burung enggang, atau sering juga disebut rangkok, Suaranya sangat keras dan menggema ke seantero hutan. Kepalanya memiliki mahkota. Paruhnya berukuran besar. Burung enggang termasuk jenis burung besar. Ada juga burung kuao, dugang, punai, gagak, bangau, kutilang atau balam dan masih banyak lainnya. Menurut cerita Gemambun, Orang Rimba Makekal, di wilayah Kejasung terdapat gua walet. Orang Rimba kelompok Kejasung biasa mengambil sarang walet di gua tersebut. Mereka menjualnya ke orang luar. “Harganya mahal” ungkap gemambun. Dalam rimba ada juga sarang burung yang bernilai tinggi yakni sarang burung cinto kasih. Kabarnya sarang itu berwarna putih dan biasa menempel di kayu. Mungkin yang mereka maksud burung cinto kasih adalah sejenis burung walet. Namun hal itu belum jelas, yang pasti burung cinto kasih memang ada.

Reptil yang hidup di TNBD diantaranya adalah berbagai jenis ular, yang paling banyak adalah jenis ular sawah (ulo sawo dalam bahasa Orang Rimba), selain itu ada ular tedung, ular sampung arit dan lainnya.. Ular sawo banyak diburu. Daging ular dimakan. Kulitnya disamak dan dijual. Sayangnya kini ular sudah semakin jarang. Menurut cerita Selambai, Orang Rimba di Kedondong Mudo, ular sudah tidak ada lagi karena habis diburu. Tapi saya kira maksudnya tidak benar-benar habis hanya saja sudah sangat sedikit. Selain ular, biawak adalah reptil yang paling sering dimanfatkan oleh Orang Rimba. Hewan ini sejenis kadal tetapi berukuran jauh lebih besar. Biawak lebih tepat bila disebut miniatur komodo. Daging biawak diambil untuk dimakan. Kulitnya diambil untuk dijual.

Keluarga kera di dalam rimba terdiri dari beberapa jenis seperti beruk, lemur, kera atau cegak, dan siamang. Beruk berwarna abu-abu dan tidak berekor. Oleh orang desa, beruk biasa dilatih untuk mengambil buah kelapa yang pohonnya tinggi-tinggi. Lemur adalah sejenis kera tapi berukuran mungil. Kera atau sering di sebut cegak adalah jenis yang paling banyak jumlahnya. Warnanya abu-abu. Ekornya panjang. Kadang ada Orang Rimba yang memeliharanya. Siamang adalah jenis kera berwarna hitam legam. Suaranya sangat ramai. Dari jarak beberapa kilometer suaranya bisa terdengar. Mereka bersuara saling bersahut-sahutan dan terus berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya. Daging keluarga kera tidak dimakan oleh Orang Rimba. Menurut mereka, kera satu keluarga dengan manusia oleh karena itu pantang dimakan.

TNBD menyimpan kekayaan berupa ratusan jenis serangga yang sangat indah seperti beragam jenis kupu-kupu. Bagi kolektor kupu-kupu, saya rasa TNBD adalah tempat yang layak dikunjungi. Disana banyak kupu-kupu yang sangat indah dan itu hanya pernah saya jumpai di sana. Melihat keindahan kupu-kupu dengan bentuk dan warna yang luar biasa selalu membuat fantasi saya melayang ke dunia peri. Orang Rimba menamai kupu-kupu sebagai reramo atau ramo-ramo. Selain kupu-kupu ada juga beragam jenis capung yang sangat indah. Orang Rimba menamainya encang-encang. Jenis serangga lain yang menarik adalah jenis serangga yang mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat keras. Mendengarnya membawa kita seolah-olah berada di dunia lain.

Banyak binatang air yang dimanfaatkan oleh Orang Rimba. Berbagai jenis ikan, seperti ikan huloton, limbat, ikan tano dan semacamnya dipancing untuk diijadikan lauk. Demikian juga berbagai jenis siput dan katak mereka makan. Labi-labi adalah binatang air sejenis penyu yang sangat terkenal. Lehernya panjang. Labi-labi selebar telapak tangan dengan berat 1 kg akan memiliki leher paling pendek sejengkal atau sekitar 20 cm. Moncongnya mirip penyu kepala babi. Karapak punggungnya tidak keras. Keberadaannya sudah sangat jarang. Orang Rimba biasa mengambilnya dengan cara memancing atau mencari-cari didalam air dengan sejenis tombak yang disebut tiruk. Alat ini sebesar jari tangan yang semakin ke ujung semakin meruncing. Buaya yang menurut cerita juga terdapat di sungai-sungai dalam rimba menjadi mitos tersendiri. Penduduk desa sekitar selalu mengagumi kemampuan Orang Rimba menaklukkan buaya. Mereka berani terjuan ke sungai yang ada buayanya dan dengan tangan kosong menangkap buaya. Apabila ada buaya yang tertangkap, kulitnya diambil dan dijual.

Jalan hitam di dalam rimba

Orang Rimba mengenal hutan dengan isinya sebaik mereka mengenal telapak tangan mereka sendiri. Orang Rimba tidak akan tersesat di hutan mereka. Di dalam rimba ada jalan-jalan setapak yang menjadi jalur lintas utama. Keadaan tersebut persis seperti pulau Sumatera yang memiliki jalur lintas tengah, jalur lintas timur dan jalur lintas barat sebagai jalur jalan utama, atau di pulau jawa yang memiliki jalur pantura dan jalur selatan. Satu tempat dengan tempat lain dihubungkan dengan jalan-jalan yang mudah dikenali. Orang luar yang baru pertama kali masuk rimba dijamin tidak akan tersesat jika jeli mengikuti jalan lintas tersebut.

Menurut cerita yang didapat dari Orang Rimba dan rekan dari LSM Warsi, jalur-jalur jalan di dalam hutan selalu berhubungan dengan jalan-jalan lain yang semuanya bisa menuju keluar hutan. Artinya seseorang bisa masuk rimba dari suatu tempat di daerah timur dan bisa keluar di tempat lain di daerah barat, utara atau selatan. Misalnya seseorang yang masuk rimba dari wilayah desa Bukit Suban (wilayah kabupaten Sarolangun) yang berada disebelah selatan Taman Nasional bisa keluar melalui desa Tanah Garo (wilayah kabupaten Bungo) yang berada di sebelah utara taman.

Mengenali jalan Orang Rimba sangat mudah. Namun demikian jangan dibayangkan jalur jalan di dalam rimba sama seperti jalur jalan di pedesaan yang dibersihkan dari apapun dan diratakan. Jalur jalan didalam rimba hanyalah jalan setapak. Sangat sulit melewati jalan tersebut bila bersisian. Berjalan disana harus beriringan. Lebar jalan paling-paling sekitar setengah sampai satu meter. Jalan di rimba terjadi karena tanah sering dilewati sehingga tidak ditumbuhi tumbuhan karena mati terpijak.

Jangan kaget bila ditengah jalan melintang kayu bulat besar. Tidak tanggung-tanggung, diameter kayu yang melintang bisa lebih dari 1 meter. Kita harus melompatinya jika ingin terus. Kadangkala kayu yang melintang sekalian dijadikan jalan oleh Orang Rimba. Apabila melintasi sungai kecil, Orang Rimba biasanya membuat jembatan dengan merobohkan batang-batang kayu melintangi sungai tersebut. Namun tidak jarang jalan berakhir di pinggir sungai. Artinya kita harus menyeberangi sungai dengan masuk ke air. Di seberang sungai kita akan disambut jalur jalan berikutnya.

Berjalan di dalam rimba

Sebagaimana kita juga, berjalan tidak pernah menjadi perkara yang sulit bagi Orang Rimba. Bagusnya lagi tidak ada orang cacat diantara Orang Rimba sehingga mereka semua bisa berjalan normal, dan cepat. Mereka merupakan pejalan-pejalan yang tangguh. Kecepatan mereka berjalan sangat mengagumkan. Saya pernah mengikuti ritme berjalan Orang Rimba. Waktu itu saya ingin mengetahui seberapa cepat Orang Rimba berjalan. Apabila mereka bertanya sudah lelah apa belum, saya selalu menjawab belum. Hasilnya luar biasa, baru 20 menit berjalan saya sudah kehabisan nafas dan terkapar. Jantung serasa mau meledak. Apabila KONI ingin mencari bibit atlet untuk cabang jalan cepat, Orang Rimba patut dipertimbangkan.

Sejak kecil, Orang Rimba merupakan pejalan kaki. Kemanapun, baik di dalam hutan maupun keluar hutan, Orang Rimba melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Efeknya luar biasa. Mereka tidak ada yang mengalami kegemukan. Tidak ada yang berperut buncit dan leher menggelambir. Perempuan Rimba selalu langsing. Meskipun baru saja melahirkan, tubuh perempuan rimba tidak berubah menjadi kegemukan. Agaknya orang-orang kota perlu mencontoh Orang Rimba agar tidak mengalami obesitas, yakni berjalan kaki kemana-mana.

Orang Rimba pada umumnya memakai sandal ketika berjalan kaki. Namun tampaknya tanpa sandalpun tidak terlalu menjadi soal. Yang dikhawatirkan bila tanpa sandal hanyalah duri yang berpotensi menusuk telapak kaki. Orang Rimba memiliki telapak kaki yang kuat dan keras hasil dari perjalanan bertahun-tahun. Kelemahan telapak kaki mereka hanyalah jalan aspal yang panas dan duri.

Hasil kebiasaan berjalan selama hidup menjadikan Orang Rimba tidak saja pejalan cepat tetapi juga pejalan yang pandai mengatur ritme berjalan. Hanya di tempat-tempat tertentu mereka berhenti. Seolah-olah ada tempat-tempat khusus yang sengaja disiapkan untuk beristirahat di sepanjang jalur jalan. Agaknya mereka enggan berhenti di sembarang tempat, persis seperti kereta api yang hanya berhenti di stasiun. Biasanya tempat berhenti ditandai dengan adanya batang-batang kayu sebesar lengan yang dipakai sebagai tempat duduk.

Apabila kita berjalan di dalam rimba, jangan lupa menyiapkan penangkal pacet penghisap darah, misalnya tembakau. Pacet sangat menyukai darah manusia. Jadi kalau berjalan jangan lupa sering-sering melihat kaki. Tanpa kita sadari, sang pacet boleh jadi telah menguras darah kita. Bayangkan darah hasil makan sehari ternyata hanya dipersembahkan pada pacet. Orang Rimba sendiri biasa terkena pacet, apalagi kita. Bagusnya pacet hanya banyak pada hari-hari lembab, yakni dimana hujan belum lama turun. Bila musim terang, pacet jarang kita temui.

Sungai

Taman nasional Bukit Duabelas adalah daerah tangkapan air untuk sungai Batanghari yang merupakan sungai terbesar di Jambi sekaligus salah satu sungai terbesar di Indonesia. Di dalam kawasan mengalir sub daerah aliran sungai Makekal, Kejasung dan Air Hitam Ulu. Sungai-sungai kecil mengalir ke ketiga sungai tersebut yang kemudian mengalir ke sungai Batanghari. Bentuk aliran sungainya seperti serabut akar.

Di dalam kawasan tempat hidup Orang Rimba Makekal di daerah selatan-barat daya taman nasional tidak ada sungai besar. Sungai-sungainya kecil-kecil, sehingga lebih mirip selokan karena aliran airnya pada umumnya memiliki ukuran terlebar tidak lebih dari 2 meter. Airnya juga sangat dangkal, tidak sampai setinggi lutut. Bila tidak keruh dasar sungai terlihat sangat jelas. Ikan-ikan yang bersliweran di dalam air bisa dilihat seperti melihat ikan di dalam aquarium. Sungai yang cukup besar misalnya sungai Ponti Kayu berukuran lebar sekitar 4 meter. Alirannya mengalir melewati desa Bukit Suban, yang kemudian oleh pemuda desa Bukit Suban, nama sungai itu dijadikan nama perkumpulan karang taruna.

Sungai di dalam rimba adalah sumber air minum bagi Orang Rimba. Mereka meminum air langsung tanpa dimasak dahulu. Oleh karena itu mereka berpantang untuk membuang kotoran ke dalam air. Membuang hajat di air sangat ditabukan. Bila mereka ingin membuang hajat, maka itu dilakukan di darat. Istilahnya adalah bingguk. Untuk membersihkan diri, Orang Rimba menggunakan daun-daunan atau kulit kayu, yang disebut dengan istilah becuka. Ketika berada di dalam rimba. para pengajar Orang Rimba dari LSM KKI Warsi selalu berbekal tisu toilet sebagai alat untuk membersihkan dubur usai buang hajat. Jadi bila ingin masuk hutan Orang Rimba, sedangkan kita tidak mau menggunakan daun atau kulit kayu sebagai pembersih dubur maka bawalah tisu banyak-banyak.

Bahaya Rimba

Orang Rimba sangat mengenal tanda bahaya yang ada didalam hutan. Apabila ada angin kencang mereka tidak akan melakukan perjalanan malam hari karena ancaman kejatuhan cabang-cabang pohon yang runtuh. Demikian juga apabila mereka memilih tempat untuk mendirikan bubung, mereka akan memilih tempat dimana tidak ada cabang-cabang pohon diatas mereka yang memiliki kemungkinan runtuh.

Saya pernah mengikuti Orang Rimba yang membuat bubung untuk rumah sekolah. Dalam jarak sekitar 150 meter, mereka hanya menemukan 2 tempat yang sesuai untuk mendirikan rumah. Kata mereka, “mencari tempat yang tidak kejatuhan kayu kalau ada angin kencang”
Bahaya lain di dalam hutan adalah lintah. Binatang penghisap darah ini cukup ditakuti karena konon kabarnya bisa masuk ke lubang dubur. Kalau sudah begitu sangat sulit untuk di keluarkan. Bebayang, salah satu Orang Rimba bercerita bahwa untuk mengeluarkan lintah, maka perut harus diasapi dan dipanasi. Baru kemudian lintah itu mau keluar. Lintah biasanya hidup di air. Oleh karena itu di dalam rimba mesti berhati-hati bila sedang di dalam air. Sebenarnya ada binatang penghisap darah yang lain yang hidup di darat, yakni pacet. Namun berbeda dengan lintah, pacet tidak dianggap berbahaya. Terkena pacet merupakan hal biasa. Tapi toh meski demikian, setetes darah yang dihisap pacet mungkin merupakan hasil kita makan seminggu.

Beruang adalah binatang mamalia besar yang paling ditakuti. Bertemu beruang bisa berarti petaka. Sudah sering terjadi Orang Rimba terluka karena diserang beruang. Tembuku, seorang anak muda rimba pernah diserang beruang hingga menyebabkan kakinya sobek. Menurut mitologi Orang Rimba, beruang bersama dengan ulo (ular), kalo (kalajengking) dan tikus merupakan binatang yang berasal dari neraka sehingga selalu bermusuhan dengan manusia.

Lingkungan Orang Rimba

Kawasan TNBD dikelilingi sekitar 26 desa yang tercakup dalam 4 kecamatan, dan 3 kabupaten yang berbeda. Ke 26 desa tersebut merupakan penyangga keberadaan taman dan Orang Rimba. Beberapa diantara desa tersebut adalah wilayah pemukiman warga transmigrasi dari pulau jawa, misalnya desa Bukit Suban dan desa Pematang Kabau, selebihnya adalah desa-desa yang dihuni oleh penduduk Melayu Jambi. Mata pencaharian penduduk desa beragam. Kebanyakan dari mereka adalah petani. Namun ada juga desa yang hampir separuh penduduk desanya merupakan perambah hutan.

Orang Rimba Makekal Hulu tinggal di kawasan selatan-barat daya TNBD. Desa yang paling dekat dengan mereka adalah Bukit Suban. Tidak mengherankan apabila berbagai urusan mereka dengan Pemerintah Daerah dan Dinas Kehutanan melewati pemerintah desa Bukit Suban. Misalnya program pengadaan rumah untuk Orang Rimba dari Dinas Sosial di pinggir taman dilaksanakan melalui pemerintah desa Bukit Suban. Apabila terjadi permasalahan hukum yang melanda mereka, pemerintah desa Bukit Suban pula yang menangani pertama kali.

Masyarakat di sekitar hutan adalah ruang interaksi pertama Orang Rimba. Mereka menjual berbagai hasil hutan di desa-desa sekitar. Demikian juga mereka memperoleh berbagai alat kebutuhan yang tidak dihasilkan di hutan dari desa-desa sekitar. Sayangnya kadang terjadi perselisihan antara Orang Rimba dan penduduk desa. Apalagi biasanya yang merusak hutan adalah penduduk desa sekitar. Untunglah di desa Bukit Suban, citra Orang Rimba Makekal Hulu sangat baik. Mereka dianggap sebagai kelompok Orang Rimba yang baik hati dan ramah.

Disekeliling hutan terdapat perkebunan sawit maupun karet milik penduduk. Tidak jauh dari sana terdapat perkebunan sawit dalam skala luas. Keadaan ini mau tidak mau mempengaruhi Orang Rimba. Banyak Orang Rimba tertarik untuk menanam sawit maupun karet. Saat ini beberapa Orang Rimba telah menanam sawit. Sedangkan menanam karet bahkan telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu.

Penghancuran Rimba

Laman, salah seorang Orang Rimba Makekal Hulu yang bermukim di Siamang Mati, persis dipinggir taman nasional bercerita tentang hutan mereka. “tengoklah hutan itu. Kelihatan garang dimuka, tetapi keropos didalamnya. Ibarat buah kelapa digerogoti tupai. Utuh diluar tapi berlubang-lubang tidak karuan di dalamnya.”

Cerita Laman menggambarkan hasil dari perusakan hutan yang terjadi di dalam kawasan taman. Tingginya nilai ekonomis kayu-kayu di dalam hutan mengundang para penjarah nekat melakukan pencurian kayu di dalam taman. Sejauh beberapa kilometer masuk ke dalam taman, kayu-kayu bagus yang bernilai tinggi telah habis di tebang oleh para pebalok (istilah untuk para pencari kayu). Bebalok (mencari kayu) dilakukan secara terbuka tanpa ada hambatan.

Menurut cerita warga desa Bukit Suban yang menjadi jalur keluar kayu-kayu curian, mula-mula kayu-kayu curian diangkut dengan ditarik kerbau sampai di jalan lintas. Dari pinggir jalan lintas, barulah kayu-kayu tersebut diangkut dengan truk. Namun tidak perlu menunggu lama, jalan-jalan menuju dalam hutan segera dibuat, truk-truk pengangkut kayu mulai hilir mudik setiap hari mengangkat kayu-kayu hutan. Saat ini, sebagai efek dari perubahan status hutan Bukit Duabelas dari cagar biosfer menjadi taman nasional, penebangan secara terbuka di kawasan dekat desa Bukit Suban telah berhenti. Namun demikian masih ada saja orang-orang yang nekat mencuri kayu di dalam taman.

Pemandangan memilukan sering saya lihat. Kebun sawit penduduk desa ditanam menyuruk ke dalam rimba. Kondisinya jadi mirip teluk. Mereka sudah pernah ditentang oleh Orang Rimba akan tetapi Orang Rimba malah dimarahi dan diancam sehingga oleh Orang Rimba dibiarkan saja. Hebatnya mereka tidak saja menanam sawit dihutan yang mereka buka tetapi juga menyuruk didalam semak hutan. Bekinya, salah seorang remaja rimba pernah mengajak saya untuk melihat tanaman sawit penduduk yang ditanam disebalik semak di dalam hutan. Otomatis dimasa depan mereka akan menebang pohon disekitar tanaman tersebut. Itu artinya minimal 100m2 hutan bakal hilang digantikan batang sawit.

Keluhan Orang Rimba mengenai perilaku penduduk desa yang menebangi hutan mereka diungkapkan oleh semua orang. Mulai dari bapak-bapak, anak-anak sampai ibu-ibu. Nijo, Kopiah, Tembuku, Sergi dan banyak yang lainnya yakin bahwa kalau dibiarkan, maka dalam setahun paling kurang 50 meter ke dalam hutan akan dibabat habis. “Orang desa pintar, mereka menebang sedikit demi sedikit, lama kelamaan banyak yang ditebangi” demikian ungkap mereka. Kalau tidak bertindak mereka yakin tidak akan kebagian lahan hutan. Oleh karena itu mereka berniat membuka ladang diantara hutan dan tebangan penduduk desa agar penduduk desa tidak berani menebang hutan disebaliknya. Menurut mereka itulah satu-satunya cara mencegah penebangan lebih lanjut.

Suatu pagi saya bersama Nuju, seorang anak perempuan Rimba, berjalan bersama menuju rumah belajar yang berada tidak jauh di dalam patok taman nasional. Tidak seberapa jauh dari sana ada orang yang sedang menggergaji kayu memakai gergaji mesin. Suaranya meraung-raung menggiriskan. Dengan trenyuh, Nuju berkata pada saya “Hutan lindung kami sedang dihancurkan. Kemana lagi kami hendak berlindung?”

Saya ikut sedih mendengar keluhannya. Nuju benar. Apabila hutan dibabat habis, maka hilang pula rumah Orang Rimba. Tidak akan ada lagi Orang Rimba. Mungkin mereka akan berladang dan berkebun para (karet) seperti umumnya orang kampung. Sesuatu yang memang diharapkan terjadi dalam jangka panjang. Namun, fakta yang ada saat ini adalah mereka kemudian tinggal di kebun-kebun sawit atau karet milik penduduk desa ketika kehilangan hutan.

Kebun sawit jelas bukan hutan rimba yang menyediakan berbagai keperluan Orang Rimba. Di dalam kebun sawit tidak akan ditemui tanaman yang bisa dimakan, tidak ada hasil hutan yang bisa dijual, dan sangat jarang ada binatang buruan yang bisa diperoleh. Begitupun air di dalam kebun-kebun sawit merupakan air-air yang terkontaminasi pupuk. Boleh dibilang, tinggal di kebun sawit bagi Orang Rimba mirip dengan tinggal di kolong-kolong jembatan dan rumah kardus di kota. Kebun karet penduduk umumnya menjadi tempat tinggal yang lebih baik karena air yang kurang terkontaminasi. Biasanya ada juga binatang yang hidup disana.

Apabila melakukan perjalanan dari desa Pematang Kabau sampai ke kota Bangko melalui Muara Delang sejauh kurang lebih 60 km, kita pasti akan menemui minimal satu kelompok Orang Rimba yang tinggal di pinggir jalan, yang berada di dalam kebun sawit atau karet. Tanda-tanda adanya Orang Rimba di sebuah lokasi sangat jelas. Mereka membuat penanda daerah dengan meletakkan kain-kain yang disampirkan di kayu yang dibuat mirip jemuran persis di pinggir jalan. Tanda itu sebagai informasi bahwa tidak jauh dari sana ada kelompok Orang Rimba. Tidak hanya itu, tanda itu juga bermakna peringatan bahwa seseorang harus berhati-hati masuk ke lokasi tersebut karena bila melanggar pantangan tertentu bisa menyebabkan denda dijatuhkan.