Archive for the ‘SUKU BETAWI’ Category

Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan- aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pasang,an pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya se¬hingga peikawinan ini mendapat pengabsahan di masyarakat, tata cara, rangkaian adat istiadat perkawinan itu terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan.
Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh sebab itu dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi dengan tatarias wajah, tatarias sanggul, serta tatarias busana yang lengkap dengan berbagai adapt istiadat sebelum perkawinan da sesudahnya.

Berikut ini akan diuraikan gambaran adat istiadat dan upacara perkawinan pada masyarakat Betawi.

Tujuan Perkawinan
Pada masyarakat dan budaya Betawi, beranggapan bahwa per¬kawinan mempunyai tujuan mulia yang wajib dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritasnya memeluk agama Islam, yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah (petun¬juk lewat perbuatan dan perkataan) Nabi Muhammad SAW bagi umatnya, sehingga dapat dipandang sebagai suatu perintah agama untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan ciptaan Tuhan yang mulia.

Alasan keagamaan yang mereka kemukakan di atas, menye¬babkan orang Betawi beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan-ketentuan adat perkawinan tersebut diberi nilai tradisi yang disakralkan, sehingga harus dipenuhi dengan sepenuh hati oleh warga masyarakat dari generasi ke generasi.

Ketentuan-ketentuan adat setempat memang masih cukup kuat pengaruhnya terhadap pola-pola kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga pergaulan muda-mudi pun berorientasi kepada norma-norma adat dan agama. Karena itu tidak heran kalau peranan orang tua masih cukup besar dalam menentukan pemilihan jodoh dan perkawinan bagi anak-anak mereka.

Di bawah ini akan digambarkan secara ringkas bagaimana nilai-nilai budaya diaktifkan dalam berbagai gejala kehidupan sosial budaya masyarakat Betawi, terutama dalam masalah perkawinan dan hubungan kawin.

Perkenalan
Perkenalan adalah suatu saat di mana kedua remaja itu saling tertarik satu dengan yang lainnya. Begitu seorang anak tumbuh menjadi seorang pemuda atau gadis remaja, orang tua mereka su¬dah bersiap-siap mencarikan jodoh yang sesuai dengan kedudukan dan martabat keluarga mereka. Dahulu, perkenalan biasanya melalui perantaraan seorang kerabat atau yang dituakan; pada masa sekarang perkenalan dengan usaha sendiri hanyak dilakukan. Setiap muda mudi boleh dikatakan mencari jodohnya sendiri, orang tua hanya memberi putusan terakhir atas pilihan teman hidup anak-anak mereka.

Jika ternyata kedua remaja itu memang sudah saling men¬cintai, maka dapat dilanjutkan dengan acara pertunangan. Sebelum proses menuju pertunangan, kedua remaja segera memberitahukan kepada orang tua mereka masing-masing. Masa perkenalan sampai saat-saat sebelum pertunangan atau perkawinan dikenal dengan istilah “masa besukaan” atau “masa demenan”.. Ada juga yang menyebut dengan istilah, “ngelancong”. Cara ngelancong yang baik adalah membawakan sekedar buah tangan, teman minum kopi untuk orang tua si gadis.

Persetujuan kedua belah pihak si gadis dan si pemuda secara resmi diikrarkan dalam sebuah ikatan pertunangan. Pertunangan secara resmi ditandai dengan pemberian sesuatu (bisa dalam ben¬tuk uang atau barang), sebagai pengikat dan bukti kesungguhan kedua belah pihak. Upacara pertunangan ini hanya dihadiri oleh kedua belah pihak, beberapa wakil dan keluarga, satu atau dua tokoh informal dalam masyarakat.

Ikatan pertunangan ini, biasa ditandai dengan memakai cincin di jari manis sebelah kiri kedua belah pihak si gadis dan si pemu¬da. Semenjak itu, maka si gadis dan si pemuda tidak diijinkan lagi menjalin hubungan dengan pemuda/gadis lain. Jika si gadis akan bepergian ke tempat lain, maka ia harus meminta persetujuan dari pemuda tunangannya, begitu pula sebaliknya.

Peranan orang tua kedua belah pihak menjadi penting sekali dalam menjaga masa pertunangan yang dianggap kritis ini. Keselamatan mereka harus tetap dijaga sebaik mungkin sampai selamat ke gerbang perkawinan. Soal waktu pertunangan sampai saat per¬kawinan tidak tentu, adakalanya enam bulan atau lebih singkat biasanya tidak lebih dan dua tahun.

Syarat- Syarat Perkawinan
Perkawinan sebagai salah satu pranata sosial meliputi sejum¬lah norma yang mengatur perkawinan itu, termasuk syarat-syarat untuk kawin menurut adat. Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan menurut adat, adalah usaha-usaha tertentu yang harus diPenuhi oleh kedua helah pihak, agar ikatan perkawinan sah dan diakui masyarakat_ Selama syarat-syarat ini belum dipenuhi, per¬kawinan Itu dianggap tidak sah dan tidak diakui oleh masyarakat. Jadi, betapapun berat syarat-syaratnya, kedua belah pihak akan tetap memenuhinya sebagaimana yang akan diadatkan.

Umur Perkawinan
Pada setiap perkawinan secara adat, umur calon pengantin ti¬dak menjadi syarat perkawinan yang harus dipenuhi. Adat perka¬winan tidak menetapkan ketentuan umur berapa sebaiknya sese¬orang dapat melangsungkan perkawinan. Dalam menentukan umur, seorang wanita sudah boleh menikah jika si gadis telah mendapat haid. walaupun tingkah lakunya masih kanak-kanakan. Demikian juga bagi seorang laki-laki, apabila perkembangan fisiknya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia adalah seorang laki-laki dewasa atau perjaka, maka pemuda tersebut telah dianggap matang dan siap untuk kawin. Jadi, pada masyarakat Betawi, perkawinan dalam usia demikian itu dianggap wajar dan baik.

Pada masa sekarang, anggapan-anggapan tentang umur perka¬winan seperti yang telah dijelaskan di atas, umur perkawinan yang demikian dianggap sebagai perkawinan muda dan dianggap kurang baik. Dan beberapa keterangan yang diperoleh menyatakan bahwa perkawinan yang diharapkan pada seorang anak perempuan adalah antara 17-20 tahun, dan untuk laki-laki sebaiknya berumur antara 22-25 tahun,. Umur demikian dianggap sudah matang dan siap untuk berumah tangga.

Mas kawin dan Serahan
Penyerahan mas kawin, biasa dilakukan sebelum upacara akad nikah dilaksanakan, dibawa oleh pihak laki-laki, biasanya berupa uang tunai, perhiasan emas, atau seperangkat alat sembahyang dengan kitab suci Al Quran, disimpan di atas sebuah nampan.

Acara serahan, biasa dilaksanakan beberapa hari sebelum pesta perkawinan, yaitu mengatur sejumlah harta benda, diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan yang biasanya berupa perhiasan, uang, dan peralatan rumah tangga seperti: tempat tidur, lemari, peralat¬an dapur, dan sebagainya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya. Jumlah mas kawin dan serahan ti¬dak ditentukan jumlahnya, tetapi semakin besar jumlah mas ka¬winnya, derajat pihak keluarga calon mempelai laki-laki pun makin tinggi.

Ngelamar
Gadis Betawi yang sederhana biasanya akan menikah pada usia sekitar 16-17 tahun. Sedangkan pemuda Betawi pada usia sekitar 22-24 tahun. Ikatan batin antara sepasang muda-mudi yang telah erat terjalin dalam proses “demenan” atau “ngelancong”, akan berlanjut, di mana sang pemuda memberitahukan kepada pihak orang tuanya agar pergi melamar gadis idamannya. Jadi, lamaran atau pinangan pada masyarakat Betawi dilakukan oleh pihak laki¬-laki kepada pihak perempuan.

Pelaksanaan peminangan ini dilakukan berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Biasanya dilakukan pada siang hari. Pihak keluarga wanita biasa menyiapkan jamuan makan dan minum un¬tuk menyambut kadatangan keluarga yang akan bermaksud mela¬mar anak gadisnya.

Memastikan seorang gadis sebagai calon mempelai ditandai de¬ngan upacara “nentuin”, yaitu orang tua calon mempelai laki-¬laki bersama teman-teman dan keluarganya yang berjumlah 10 hingga 15 orang, datang ke tempat orang tua calon mempelai wanita. Mereka datang membawa makanan seperti gula, kopi, dodol, uli, wajik, pisang nanas, dan lain-lain. Pada saat itu, orang tua pihak calon mempelai laki-laki sudah memastikan calon gadis yang akan dilamar.

Acara dilanjutkan dengan acara “adat melamar” yang disertai acara “nyerahi duit”. Sebelumnya pihak calon mempelai laki-laki sudah harus mengetahui apakah pihak tuan rumah akan bicara sendiri atau diwakilkan kepada seorang wakil dalam upacara lamaran ini. Hal ini perlu diketahui sebelumnya, karena bila pihak calon mempelai wanita menggunakan wakil, maka pihak pria akan menggunakan wakil pula. Dengan atau tanpa wakil uang yang di¬berikan oleh pihak laki-laki akan diterima oleh calon mempelai wanita.

Pada kesempatan ini dijelaskan kalau terjadi perceraian, sementara kesalahan ada di pihak wanita, maka ia harus mengembalikan jumlah uang tersebut sebanyak dua kali lipat. Sedangkan bila ke¬salahan ada pada pihak laki-laki, ia hanya menerima salah saja.

Dalam acara ini juga dilaksanakan acara ”kudangan”, yaitu orang tua si gadis yang ditujukan bagi anak gadisnya. Permintaan ini biasanya menyangkut suatu keinginan anak gadis, misalnya keinginan untuk memakai perhiasan. Dalam hal ini ayah si gadis biasanya akan berkata,

“Nanti kalo udah besar, baek bicara lu, ada jodoh lu, gue kudangin kalung emas”.

Berat ringannya kudangan selalu dipenuhi dan merupakan tang¬gungan laki-laki, dan pihak laki-laki akan berusaha keras untuk memenuhi kudangan tersebut. Kudangan harus dipenuhi, karena sebenarnya kudangan adalah keinginan istri yang akan mengan¬dung dan melahirkan anak.. Dengan demikian, sudah seharusnya kalau kudangan ini dipenuhi.

Setelah tanda lamaran diterima, tahap ini biasanya ditandai dengan saling mengantarkan makanan oleh kedua belah pihak.

Pelaksanaan Upacara Perkawinan Upacara Serahan
Upacara Serahan biasa dilaksanakan di rumah kediaman pihak mempelai wanita. Waktunya ditentukan pada waktu acara mela¬mar. Acara serahan dilaksanakan sehari sebelum hari perkawinan, waktunya pagi hari, kadangkala dilaksanakan juga sore hari. Pada acara serahan ini, pihak mempelai laki-laki datang membawa barang-barang tertentu dan sejumlah uang, istilahnya “bantu hajatan”.

Pada acara serahan ini, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita mengundang para kerabatnya. Pihak wanita yang mene¬rima serahan tersebut terdiri dari kedua orang tuanya, nenek atau kakeknya dan kerabat dekat lainnya. Barang serahan terdiri dari : uang (tidak ditentukan jumlahnya, tergantung pada kemampuan), peralatan rumah tangga, tempat tidur, lemari, peralatan dapur, dan juga beberapa macam kue-kue yang dihias dan diletakkan di atas nampan.

Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-¬laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya dan mengetahui barang-barang apa saja yang dibawa¬nya, semakin banyak barang bawaannya, maka pihak calon mem¬pelai laki-laki akan semakin meningkat pula deraiatnya di mata masyarakatnya.

Dalam kesempatan ini secara tidak resmi juga pihak mempelai laki-laki membantu siempunya hajat dengan mengantar bahan-bahan yang diperlukan untuk kepentingan pesta, seperti misalnya: beras, ayam, daging, sayuran, bumbu, dan lain-lain.

Sementara itu pihak mempelai wanita mengurus pelaksanaannya. Kerabat mempelai wanita datang untuk membantu memasak, bahkan mereka yang tinggal jauh di tempat lain, dalam kesempatan seperti ini biasanya akan datang dan menginap untuk memBantu.

Kedatangan rombongan pihak mempelai laki-laki pada acara serahan ini disambut dengan ramah tamah oleh pihak keluarga mempelai wanita. Setelah barang-barang bawaan diserahkan, dilanjutkan dengan acara pengajian oleh sekelompok ibu-ibu pengajian yang terdiri dari 10 sampai 15 orang. Setelah selesai acara ini, tamu-tamu disuguhi makanan dan kue-kue. Tamu dari pihak laki-laki kembali ke rumah masing-masing, dan bersiap¬siap untuk keesokan harinya guna menghadiri upacara akad nikah.

Pesta Perkawinan
Pesta perkawinan dilaksanakan setelah selesai upacara “akad nikah”. Upacara akad nikah ini biasanya dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Waktu pelaksanaan akad nikah biasanya diten¬tukan dengan perhitungan orang-orang tua, dengan maksud supaya selamat, agar segalanya berjalan dengan lancar, dan baik. Upacara ini biasa dilakukan pada pagi hari. Ada juga yang melaksanakan akad nikah di masjid.

Pada waktu yang telah ditentukan, mempelai laki-laki dibawa dalam sebuah prosesi adat ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan upacara akad nikah. Dalam prosesi itu mempelai laki-laki diiringkan oleh para kerabat dekatnya, teman-teman, kedua orang tuanya, para tokoh adat, dan lain-lain. Untuk mengawal mempelai wanita disiapkan pula dua orang pengiring gadis-gadis cilik.

Di belakang pengantin laki-laki berjalan para pengiring yang diiringi dengan musik terompet atau “rebana ketimpring”. Pengantin laki-laki membawa seikat kembang yang akan diserahkan nanti kepada pengantin wanita. Pengantin laki-laki ini berjalan sambil dipayungi oleh seorang anak muda. Para pengiringnya membawa bendera yang terbuat dari kertas warna-warni.

Pengantin laki-laki mengenakan busana adat pengantin Betawi, yaitu berupa “pakaian haji” dan “alpiah” (peci), lengkap dengan perhiasannya yang diatur oleh juru rias. Pengantin wanita memakai busana adat Betawi, berupa baju kurung yang mengkilap dan memakai perhiasan lengkap dengan hiasan mahkota yang berjum¬bai.

Sebelum rombongan pengantin laki-laki berangkat menuju rumah pengantin wanita, biasa diadakan jamuan alakadarnya kepada semua yang akan ikut mengantarkan pengantin. Dengan diawali ucapan “Bismillaahirrakhmaanirrakhim”, maka berangkat¬lah rombongan menuju rumah calon mempelai wanita, dengan diawali juga dengan bunyi mercon. Mercon ini dibunyikan lagi tatkala rombongan ini tiba di rumah mempelai wanita.

Setibanya di rumah mempelai wanita, dan para tamu telah duduk di tempat yang telah disediakan, maka seseorang yang ber¬tindak sebagai wakil rombongan pengantin laki-laki memberikan salam dengan ucapan “Assalaamualaikum”. Salam disambut oleh pihak pengantin wanita dengan ucapan “Waalaikumsallam”. Selesai bersalaman, pengantin laki-laki duduk di atas “taman”, (puade) di mana telah duduk pengantin wanita, dan mereka duduk bersanding.

Tempat duduk pengantin dan perlengkapannya dikenal dengan nama “taman”. Dalam pelaksanaan akad nikah ini, pengantin pria didampingi oleh kedua orang tuanya. Demikian pula pengantin wanita di¬dampingi oleh kedua orang tuanya yang sekaligus bertindak sebagai wali yang mensahkan perkawinan

Upacara akad nikah dipimpin oleh seorang penghulu, dan di¬awali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian di¬sampaikan pidato sambutan dari penghulu yang menjelaskan tentang maksud-maksud upacara. Pidato ini biasanya di sertai juga dengan pemberian nasihat dan petunjuk-petunjuk mengenai hidup bersuami istri yang patut ditiru oleh kedua mempelai.

Selanjutnya dilakanakan upacara sesuai dengan ketentuan akad nikah menurut ajaran Islam. Jika akad nikah sudah selesai dibacakan oleh pengantin pria, maka dibacakanlah doa selamat oleh penghulu diikuti bersama-sama oleh para tamu dan kerabat yang hadir. Mas kawin biasa berupa uang tunai atau seperangkat alat sembahyang lengkap dengan kitab suci Al Quran diserahkan setelah selesai upacara akad nikah. Pada kesempatan ini pihak mempelai wanita mengajukan wakilnya untuk menjelaskan kepada para tamu yang hadir, bahwa mas kawin dan uang serta barang serahan telah diterima, dengan demikian menantu pun diterima.

Acara selanjutnya, pengantin laki-laki bersujud kepada kedua mertuanya serta kedua orang tuanya. Kemudian diikuti oleh pengantin wanita yang juga bersujud kepada mertua dan kedua orang tuanya. Dalam acara ini biasanya diiringi dengan tangis kedua pengantin maupun kedua orang tuanya. Tangisan ini biasa¬nya merupakan tangis haru, di mana masa remaja telah dilalui dan mulai dengan menempuh hidup baru.

Sebelum acara pemberian selamat kepada kedua mempelai dan menikmati hidangan, biasanya terlebih dahulu dibunyikan mercon, pertanda acara yang dianggap sakral telah selesai. Sampai di sini, tugas penghulu dianggap telah selesai, dan ia pun biasanya segera meninggalkan tempat upacara.

Kedua mempelai duduk bersanding di atas “taman” atau “puade”, didampingi oleh gadis cilik sebagai pendamping dalam busana adat, serta orang tua kedua belah pihak. Kemudian kedua mempelai menerima ucapan selamat dari para tamu. Para tamu yang terdiri dari para kerabat, teman dan handai taulan berdatangan memberikan selamat dengan cara menjabat tangan kedua mempelai serta kedua orang tuanya. Setelah itu mereka menikmati hidangan yang telah disediakan.

Dalam pesta perkawinan ini, ada hal yang menarik, di mana mempelai wanita sering kelihatan duduk di atas “taman” ditemani oleh para teman wanitanya yang sebaya. Sebaliknya, pengantin Iaki-laki tampaknya lebih bebas bergerak, kadangkala ia berada di tengah-tengah para undangan bersama kawan-kawannya, di muka panggung, atau bergabung dengan para tamu.

Pada malam harinya biasa dimeriahkan dengan kesenian, seporn lenong, topeng, tanjidor, gambang kromong, cokek, wayang kulit, dan sebagainya.

Adat Menetap Setelah Menikah
Yang dimaksud dengan adapt menetap sesudah menikah adalah pola menetap di lingkungan mana pengantin baru bertempat tinggal. Ada yang menetapkan bahwa pengantin baru harus mene¬tap di lingkungan pihak wanita atau harus menetap di pihak laki-laki. Bahkan norma-norma adat memberi kebebasan memilih di lingkungan mana pengantin baru hendak menetap. Ada ber¬macam-macam bentuk adat menetap sesudah menikah yang di¬kenal oleh masyarakat dan kebudayaan di dunia (Koentjaraning¬rat, 1967 : 97-98). Dalam masyarakat dan kebudayaan tertentu, adat menetap sesudah menikah dianggap sangat penting sebab adat menetap sesudah menikah biasanya berhubungan erat dengan prinsip garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, sehingga pengantin baru serta keturunannya dapat dipengaruhi oleh lingkungan mereka bertempat tinggal.

Dalam masyarakat dan kebudayaan Betawi, adat tidak me¬nentukan di lingkungan mana pengantin baru itu harus tinggal menetap. Pengantin baru diberi kebebasan memilih di mana mereka akan tinggal menetap. Dalam hal ini pengantin baru boleh memilih apakah mereka akan menetap di lingkungan suami atau di lingkungan keluarga istri. Pola menetap sesudah menikah seperti ini dikenal sebagai adat menetap yang ambilokal atau kadang-¬kadang disebut juga utrolokal. Ada juga pengantin baru yang lebih suka tinggal di tempat lain yang tak ada hubungannya dengan lingkungan keluarga masing-masing pihak. Pola menetap seperti ini dikenal sebagai adat neolokal (Koentjaraningrat,1967 : 97-98).

Walaupun pada masyarakat dan kebudayaan Betawi berlaku Pola menetap yang ambilokal/utrolokal, tetapi ada kecenderung¬an pada pola menetap yang matrilokal/unorilokal. Artinya, pe¬ngantin baru cenderung untuk tinggal menetap di sekitar ling¬kungan keluarga istri.

Sangatlah ideal bagi pengantin baru bila mereka dapat segera menetap di tempat kediaman mereka yang baru. Akan tetapi mengingat biaya, hal ini hampir tidak mungkin dijalankan. Untuk itu pasangan pengantin baru biasanya tinggal di rumah orang tua salah satu pihak yang mampu dan mau menerima mereka. Meski¬pun demikian, orang lebih suka kalau pengantin baru tinggal di rumah orang tua laki-laki, untuk kemudian biasanya setelah lahir anak pertama, dengan bantuan orang tua mereka, mereka pindah ke rumah sendiri.

Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Foto : http://www.denieksukarya.com

Fungsi yang demikian sarat, telah menjadikan Jakarta sebagai melting-pot. Tempat bertemu aneka suku bangsa, agama  dan budaya. Ini nampak sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan profil masyarakat Betawi. Dan setidaknya,  sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, menyajikan kenyataan itu.

“Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven,” kata si sopir bajaj. “Oke deh, ane reken isi dompet  dulu. Bangsa goban sih ada,” jawab si penumpang.

Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane – saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa  (goban – lima puluh ribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah  satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan. Dalam  pada itu, seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi, Ridwan Saidi, sambil mengutip pendapat Bern Nothover (1995), mencatat bahwa, apa yang dikenal kini sebagai Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu dialek Nusa Kalapa (bersama Pakuan merupakan dua kota penting pada jaman kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi yang kemudian namanya berganti menjadi Jakarta) yang telah dipergunakan di Jakarta paling sedikit sejak abad 10 (Babad Tanah Betawi, 2002). Penduduk Nusa Kalapa sendiri sebelum abad 10, sebagaimana halnya seluruh penduduk Nusa
Jawa, besar kemungkinan berbahasa Kawi atau Jawi. Memang, tidak semua kosa kata Betawi lama berasal dari bahasa  Kawi/Jawi, karena juga terdapat campuran bahwa Melayu Polinesia, dan kemudian pada abad 16 mendapat pengaruh Portugis, di samping juga pengaruh bahasan Sunda pada abad 14, ketika kekuasaan Sunda memfungsikan pelabuhan Kalapa, dan bahasa-bahasa lain pada masa-masa berikutnya.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil  perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan  asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku  dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di  semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan  dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang  terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten  bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini  mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan  kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman,  antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan  bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum
sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan  menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit  sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali  menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat  Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab,  sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang  bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan  Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri
Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk  dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang  Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok  terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga  dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai  diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja
Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun ribuan orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di  dalam dan di luar kota.

Di luar kota pada tahun 1673 hidup kurang lebih lima ribu orang Indonesia dan kurang lebih enam ratus Indo-Belanda. Orang-orang Indonesia bebas datang ke Batavia, terutama dari luar Jawa, semisal Sulawesi Selatan, Banda, Ambon dan Bali. Di antara orang Indonesia itu beberapa diantaranya mencapai posisi cukup baik, misalnya para kapten yang sering memperoleh tanah luas, orang Bali yang mengimpor budak, pemilik kapal Bugis dan Melayu serta para mandor dari Jawa  (pemahaman masa itu tentang orang Jawa sering mencakup orang dari Banten sampai Jawa Timur serta bahkan dari  Kampung Jawa di Palembang) yang mendatangkan kuli-kuli untuk perkebunan tebu, bengkel kayu serta galangan kapal.
Beberapa nyai termasuk juga kelompok orang berada. Nyanya Rokya misalnya, pada tahun 1816 memiliki dua puluh dua budak belian. Adapun tentang apa yang disebut dengan “orang” atau “Suku Betawi” sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang  Melayu. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul dalam data  sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut  diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Simpul terakhr yang berpijak pada berita resmi
Kolonial itu ditolak keras Ridwan Saidi. Alasan tokoh Betawi ini dilandaskan pada teori Bern Nothofer, jauh sebelum Belanda tiba di wilayah ini, antara abad 8-10, demi mempertahankan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya atas tanah Nusa Kalapa telah menghadirkan migran Suku Melayu yang berasal dari Kalimantan Barat, yang juga sekaligus menjadi awal penyebaran secara meluas bahsa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa Sunda Kawi.

Selain itu, sejak masa Salakanagara, diduga muncul pada tahun 130 M, orang Nusa Kalapa sudah mulai mengenal masyarakat internasional melalui kedatangan para pelancong dari India, Cina dan Arab. Pengenalan meluas ketika pelabuhan Kapala menjadi pelabuhan samudra pada abad ke-14. Dan, pada abad ke-16 orang Betawimengenal orang Portugis, kemudian pada abad ke-17 mengenal orang Belanda dan pada permulaan abad ke-19 orang Betawi mengenal orang Perancis dan Inggris, serta sejak pertengahan abad ke-19 secara pro-aktif orang Betawi engenal masyarakat internasional melalui pelayanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Terlepas dari semua itu, sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta pada umumnya, dan Jakarta Pusat pada khususnya dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ‘suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Adapun di Jakarta Pusat, menurut Sensus tahun 2000, populasi penduduk dengan etnis Betawi ini masih cukup tinggi, mencapai 31,16 persen, tersebar di semua Kecamatan di Jakarta Pusat, dengan dominasi utama di Kecamatan Kemayoran dan Tanah Abang. Memang, sebagian dari ereka semakin telah terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Namun sebetulnya, ‘suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ‘suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

sumber: http://www.bapekojakartapusat.go.id/node/14

Gambang Kromong adalah musik Indonesia dari etnis china yang lahir di pinggiran kota Jakarta. Ini juga merupakan salah satu gaya paling jelas dan dari dinding musik di Indonesia. Istilahnya  berasal dari instrumen, gambang (xylophone) dan kromong (gong) yang dimainkan dengan  berbagai suling, dan rebab (biola).

Ini memiliki irama yang ceria tapi mungkin fitur yang paling khas adalah para pengiringnya dengan  semirapped vokal keras dari laki-laki, sementara perempuan meratap dengan kemahiran khas mereka. Sebuah musik campuran,  gambang kromong menggabungkan bahasa Indonesia, Cina, dan kadang-kadang instrumen Barat. tahun 1990 rekaman gambang kromong ini terfokus pada dua pengulangan bait yaitu: bait-bait klasik dan modern yang  sekarang jarang didengar,atau yang  menggabungkan unsur musik Cina dan Indonesia, dan repertoar popular paling modern, yang terdengar seperti musik gamelan yang dipadukan dengan musik jazz dalam kelompok kecil yang populer  tahun 1920-an dan 1930-an.

Sedangkan sebuah grup musik Gambang Kromong terdiri Dari beberapa alat musik. Alat-alat musik tersebut adalah:

Sedangkan sebuah grup musik Gambang Kromong terdiri dari beberapa alat musik. Alat-alat musik tersebut adalah:

  • Gambang
    Gambang
  • Kromong
    Kromong
  • Kendang
    Kendang + Kemong
  • Krecek
    Krecek
  • Kemong
    Kendang + Kemong
  • Gong
    Gong
  • Suling
    Suling
  • Kongahyan
    Kongahyan
  • Tehyan
    Tehyan
  • Sukong
    Sukong
  • Penyanyi
    Penyanyi

Sumber :

Consulate General of The Republic of Indonesia

Dr. martina claus-bachmann

“Mak, udik kita dimana sih?” “Wan, kita orang sini, gak punya udik.” Itulah cuplikan dialog yang masih lekat dalam ingatan seorang Ridwan Saidi, mengungkap proses pencarian identitas dirinya saat berusia enam tahun.

Dari proses itu dia yang oleh teman-teman dari ras la…in disebut sebagai orang Betawi kemudian melakukan pengamatan, penghayatan dan sekaligus menelusur untuk belajar budaya, tradisi dan adat istiadat Betawi.

Orang Betawi adalah komunitas suku yang dalam naskah-naskah abad XVI dan XVII disebut sebagai orang Melayu atau orang Melayu di Jawa. Dasar eksistensi sebuah kesatuan etnis adalah peradaban.

Tiap kesatuan etnis di Indonesia mestilah berafiliasi pada sebuah sistem peradaban masa lampau. Karena satuan komunitas tanpa afinitas cultural tentu sulit dikatakan sebagai sebuah suku bangsa.

Dari sini Ridwan Saidi menarik benang merah. Berdasarkan fakta sejarah dan pesilangan budaya yang berkembang, untuk membaca Indonesia masa lalu secara benar kita tidak bisa melepaskan Indonesia dari konteks pertarungan kekuasaan yang berlangsung puluhan abad di Asia barat dan Egypt.

Dalam epos Tjindur Mato ada seorang raja perempuan di Pagaruyuang yang berlokasi di kaki bukit Batu Patah. Dia dijuluki Bundo Kanduang. Aceh dimasa lampau pun pernah diperintah oleh tujuh Sultanah, raja perempuan.

Selain itu Kerajaan Kalingga pada abad VII M dipimpin Ratu Sima. Di Singosari juga ada perempuan yang sangat dihormati bernama Ken Dedes. Kemudian Majapahit di puncak kejayaannya dipimpin oleh Ratu Tribuwana Tunggadewi.

Dengan cara pengungkapannya sendiri kebudayaan Betawi juga mengenal preferensi terhadap perempuan. Dalam rumah dimana nenek tinggal bersama misalnya, persoalan keluarga lebih sering kata putusnya dari nenek. Kakek dalam konteks ini dianggap ‘gong time’, gong terbuat dari timah yang dipukul pun tidak bersuara.

Demikian juga untuk memimpin upacara ritual seperti nyadran dalam budaya Betawi diserahkan kepada perempuan. Tradisi mengutamakan perempuan itu tidak ada dalam tradisi oriental seperti Cina dan Jepang. Tidak ada juga di India, yang dengan Kama sutra-nya hanya menjadikan perempuan sebagai objek seks.

Maka penelusurannya hanya bisa dilacak dari tradisi keagamaan Egypt. Dalam tradisi keagamaan Egypt terdapat dewi Isis. Dia sangat dihormati karena melahirkan Horus, dewa yang tak kalah pamor dengan dewa-dewa lain di Egypt.

Tradisi keagamaan ini berkembang pada masa dinasti XIX atau sekitar abad XIII SM, dimasa Pharao Rameses II. Kekerabatan purba yang terjadi di Indonesia (khususnya Sumatera dan Jawa) memang bukan dengan bangsa-bangsa Polynesia saja, tapi juga dengan bangsa-bangsa maghribi khususnya Egypt dan dan Asia barat khususnya Jerussalem.

Migrasi orang Jerussalem terjadi setelah setelah pendudukan Jerussalem oleh Raja Babylonia pada abad VI SM. Migrasi berikutnya orang Israil terjadi pada abad III SM, tatkala Mesir ditaklukan Alexander the Great, yang di dunia Timur disebut Iskandar Zulkarnain.

Dia tokoh yang ditakuti sebagai sang penakluk. Para pendatang itu mengidentifikasi dirinya sebagai keturunan Iskandar Zulkarnain. Seperti diterangkan dalam tambo (pitutur Minang), mereka tidak langsung dari Tana Baso menuju Sumatera melainkan singgah di Alangkapuri.

Sangat mungkin mereka singgah dalam waktu lama, hingga terjadi percampuran budaya dengan penduduk setempat. Egypt di buku sejarah Indonesia memang tidak pernah menjadi penting.

Demikian juga bangsa-bangsa Polynesia yang tidak pernah mendapat tempat yang semestinya. Ilmu sejarah tidak berkembang, karena para sejarahwan dan arkeolog di sini mematok masa lalu sampai dengan kedatangan agama Budha dan Hindu saja.

Temuan yang berasal dari masa sebelum itu dikatakan sebagai berasal dari era pra sejarah. Akibatnya kerap terjadi inkonsistensi, seperti yang terkait dengan situs Batu Jaya sekarang ini. Para arkeolog yang bekerja untuk KemBudPar mengatakan bahwa situs yang berada di tengah persawahan perkampungan orang Betawi di desa Segaran, Batu Jaya, Karawang itu berasal paling sedikit dari abad II SM.

Anehnya mereka mengatakan bangunan itu dari Budha dan Hindu. Padahal Budha baru datang ke sini pada abad IV M dan Hindu pada masa sesudahnya. Lalu arkeolog bernama hasan Ja’far mengatakan situs ini dipengaruhi oleh kebudayaan Budha periode Nalanda.

Padahal Nalanda baru muncul pada abad IX M. Para arkeolog yang bertugas tidak menghiraukan adanya kerangka manusia dengan tinggi mencapai 172-175 cm dan Unur Serud (sebuah pemandian yang tidak terdapat dalam tradisi Hindu dan Budha melainkan Mesopotamia).

Mereka juga tidak menghiraukan adanya ragam hias pada unur Blandongan yang berbentuk crawl (lingkaran seperti obat nyamuk). Crawl adalah ragam hias Asia Barat dan Egypt yang bermakna enerji, yang tidak dikenal dalam tradisi Hindu dan Budha. Dari kerangka situs Batu Jaya yang digali, dinding makamnya diberi batu sesuai tradisi bangunan pemakaman di Egypt.

Kerangka dikubur celentang dan ada yang bertumpuk, tetapi penghadapan kerangka ke arah Jerussalem. Di samping kerangka terdapat gerabah dan semacam jimat-jimat. Ini dimaksudkan sebagai bekal kubur. Penemuan kerangka dengan bekal kubur juga terdapat dalam ekskavasi di tepi kali Ciliwung.

Ini terkait dengan persepsi masyarakat yang hidup dizaman pra Masehi, bahwa perjalanan setelah kematian itu memerlukan perbekalan. Hidup adalah pengamalan yang merupakan perwujudan budi pekerti yang baik. Pengamalan berangkat dari jiwa. Maka jiwalah yang harus disempurnakan, bukan wadag, kemasan, sistem dan kelembagaan teologis. Mungkin itu sebabnya salah satu unur di Batu Jaya disebut unur Jiwa. Kekerasan dijauhkan.

Sebaliknya perdamaian, kerukunan dan keteduhan yang dicari dalam kehidupan. Kepercayaan keagamaan penduduk Nusantara jika diukur dengan kedatangan bangsa-bangsa Polynesia tentu berakar lebih dalam lagi. Dapat diperkirakan kedatangan orang-orang dari Polynesia jauh lebih awal dari orang-orang Egypt dan Asia Barat. Lexicografi Maori banyak mengandung unsur spiritualistik, sebagian diserap dalam bahasa Melayu Betawi seperti ‘unur’.

Unur Blandongan sepertinya difungsikan sebagai ‘aben’, tempat duduk-duduk. Blandongan sendiri berasal dari bahasa Kawi yang artinya tempat menerima tamu. Ritual rutin dalam tradisi agama Egypt yang dilakukan pagi dan sore. Ini tidak beda dengan apa yang tampaknya dilakukan di Batu Jaya.

Unur lainnya adalah Serud, yang dalam bahasa Maori bermakna menutup pandangan. Bangunan seperti unur Serud hanya ada di Mesopotania. Ini adalah kolam pemandian yang arsitekturnya sudah water treatment. Sangat mungkin air itu diberi ramuan barus agar wangi. Tradisi pemandian di Batu Jaya memang tidak jelas dilakukan dalam rangka apa, tapi tentu saja ada kaitan dengan religi.

Dari uraian di atas sama sekali tidak ada petunjuk bahwa situs Batu Jaya didirikan untuk keperluan agama Budha atau Hindu. Sudah waktunya menurut Ridwan para sejarahwan dan arkeolog mengubah asumsi lapuk bahwa sejarah Indonesia dimulai dengan kedatangan agama Budha dan Hindu.

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan, bahwa jauh sebelum agama Budha dan Hindu dilahirkan manusia Indonesia telah mengenal konsep ketuhanan yang monotheistik. Melalui buku “SEJARAH JAKARTA DAN PERADABAN MELAYU BETAWI” ini Ridwan Saidi juga berusaha meluruskan anggapan yang keliru tentang Sang Tagaril (si pembawa amarah), Fatahillah.

Ditegaskan, dalam profesinya sebagai soldier of fortune Fatahillah baru diulamakan setelah 350 tahun kewafatannya. Selama dua belas tahun menjadi penguasa pelabuhan Kalapa (1527-1539) Fatahillah tidak melakukan Islamisasi seperti anggapan para sejarahwan amatiran.

Islam yang sudah tersebar di Nusa kalapa adalah Islam yang dibawa orang-orang Champa yang mengerti peradaban Melayu yang terpengaruh gagasan keagamaan Egypt, Malayalam, dan malayo Polynesia. Mesjid Marunda yang diklaim didirikan oleh Fatahillah adalah kedustaan sejarah yang lainnya.

Mesjid itu dibangun pada paruh kedua abad XIX oleh seorang saudagar Bugis bernama H. Sapiudin. Nama H. Sapiudin menjadi terkenal karena rumahnya di Marunda pernah dijarah Si Pitung. Menurut sejarahwan belanda Mergriet van Tiel, Si Pitung beroperasi antara tahun 1886-1894. Fatahillah juga tidak membangun Kalapa.

Yang dilakukan bersama penerusnya Tubagus Angke dan Ahmad Jaketra hanya melakukan jualan kavling di utara pelabuhan kepada Inggris dan Belanda, yang oleh pemilik baru itu kemudian dijadikan loji dan benteng.

Dari situ jelas bahwa penyerangan pelabuhan Kalapa 1526/1527 sama sekali tidak mermotifkan Islam dan tidak bermotifkan anti kebo bule ( orang-orang Eropa). Motivasi yang ada semata-mata harta dan kekuasaan.

Sejarah adalah kekuatan untuk membangun bangsa jika dipahami dan dituturkan dengan benar. Sebaliknya sejarah akan merusak karakter dan kepribadian bangsa jika dituturkan secara tidak benar.

Itulah yang ditekankan Ridwan Saidi sebelum memaparkan juga sejarah perlawanan petani Batavia dan sekitarnya terhadap kolonial belanda, lanskap peradaban dalam budaya Betawi kini, dan peranan suku bangsa di era modern.

( © Resensi by Cici A.Ilyas, penulis Cerpen Betawi/Forum Kajian Budaya Betawi/Matar Kamal)

Sumber : http://www.pasulukanlokagandasasmita.com

Diambil dari buku “Cerita Rakyat Daerah DKI Jakarta” terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982.

Pada masa dahulu ketika Kompeni Belanda masih berkuasa di Indonesia, di daerah kemayoran tinggallah seorang pemuda bernama Murtado. Ayahnya adalah bekas seorang lurah di daerah tersebut. Karena sudah tua, kedudukannya digantikan oleh orang lain. Murtado mempunyai sifat-sifat yang baik, tidak sombong, baik kepada anak kecil, hormat kepada orang tua dan senantiasa bersedia menolong orang-orang yang mendapat kesusahan. Di samping itu dia tekun menuntut ilmu agama, mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu bela diri dan sebagainya. Oleh karena sifat-sifatnya yang terpuji itu, maka Murtado disenangi oleh penduduk di kampung tersebut.

Ketika itu, keadaan masyarakat di daerah Kemayoran tidak tenteram. Penduduk selalu diliputi rasa ketakutan, akibat gangguan dari jagoan-jagoan Kemayoran yang berwatak jahat ataupun gangguan dari jagoan daerah lainnya yang datang ke daerah ini untuk mengacau atau merampas harta benda penduduk, kadang-kadang mereka tidak segan-segan membawa lari anak perawan ataupun istri orang yang kemudian diperkosa dan kalau melawan disiksa dan dibunuh.

Penduduk di daerah itu kebanyakan merupakan petani-petani kecil, di samping itu ada juga berdagang kecil-kecilan seperti membuka warung kopi dan sebagainya. Akibat gangguan-gangguan keamanan ini, banyaklah warung-warung mereka ditutup, sehingga mereka jatuh melarat dan menjadi bangkrut. Di samping gangguan keamanan itu, pihak kompeni sebagai penguasa turut menyusahkan mereka dengan jalan memungut segala macam jenis pajak kepada rakyat. Di samping itu juga mereka diwajibkan menjual hasil buminya kepada kompeni dengan harga yang murah sekali. Kemudian mereka juga diperas oleh tuan-tuan tanah bangsa Belanda dan Cina yang memungut sewa tanah ataupun rumah dengan semaunya saja tanpa belas kasihan.

Selain itu penguasa baru yang disokong kompeni sebagai kakitangannya yaitu orang pribumi sendiri ialah Bek Lihun dan Mandor Bacan telah turut pula bertindak sewenang-wenang seperti merampas harta rakyat, merampas istri-istri orang ataupun anak perawan yang diculik, dikawini dan diperkosa. Tindakan mereka berdua sangat kejam dan mereka hanyalah memikirkan keuntungan pribadinya saja serta mengambil muka kepada penguasa kompeni. Pada waktu itu wakil kompeni yang ditunjuk oleh Belanda untuk menguasai daerah Kemayoran itu, adalah bernama tuan Rusendal, seorang Belanda. Di dalam melaksanakan perintah di daerah ini, Rusendal memerintahkan Bek Lihun memeras rakyat dengan segala macam pajak. Lalu Bek Lihun menugaskan pula bawahannya Mandor Bacan untuk melaksanakan segala macam pungutan liat tersebut. Siapa yang membangkang akan mereka siksa dan mereka bunuh.

Pihak kompeni di dalam melaksanakan pemerintahan di daerah ini, tidaklah memperhatikan kepentingan rakyat. Mereka tidak memperhatikan jaminan keamanan di kampung tersebut. Kalau ada para pengacau memasuki kampung, mereka tidak memperdulikan, melainkan hanya menjaga kesalamatan mereka sendiri saja. Ataupun selama kepentingan mereka tidak terganggu, mereka bersikap apatis terhadap gangguan-gangguan perampok tersebut. Tetapi kalau sampai kepentingannya dihalangi, misalnya ada seorang jagoan yang berwatak baik mencoba menghalangi para perampas rakyat kakitangan kompeni, mereka baru bertindak dengan mengadakan penangkapan-penangkapan. Setelah berhasil ditangkap, lalu dijebloskan ke dalam penjara.

Pada suatu hari di kampung Kemayoran diadakan derapan padi (panen memotong padi). Setelah meminta izin kepada penguasa, maka rakyat diperbolehkan melaksanakan upacara tersebut dengan syarat setiap lima ikat padi yang dipotong, satu ikat adalah untuk yang memotong, sisanya empat ikat untuk kompeni. Petugas yang mengawasi jalannya upacara itu ditunjuk Mandor Bacan.

Beberapa waktu setelah upacara itu berjalan, ada seorang anak gadis yang cantik ikut memotong padi. Murtado sebagai pemuda kampung itu juga ikut di samping gadis tersebut. Mereka rupanya sudah lama berkenalan. Tiba-tiba Mandor Bacan melihat ke arah gadis itu dan menegurnya dengan kasar “Hei, gadis cantik, kamu jangan kurang ajar dan berlaku curang ya! Coba saya lihat ikatan padimu, ini terlalu besar”.

Setelah berkata demikian, Mandor Bacan menarik ikatan padi itu dengan belatinya, kemudian gadis itu dipegangnya. Dengan menyeringai melihat wajah gadis itu, Mandor Bacan mulai ingin mempermainkan gadis ini. Dia menjadi bernafsu melihat kecantikan wajahnya. Tetapi ketika Mandor Bacan ingin memegang pipi gadis ini, tiba-tiba pisau belatinya ada yang menangkisnya, sehingga terpental jauh. Rupanya Murtado yang melihat kejadian tersebut merasa gemas akan sikap Mandor Bacan. Lalu terjadilah perkelahian antar Mandor Bacan melawan Murtado. Dalam perkelahian itu Murtado memperlihatkan ketinggian ilmu beladirinya, sehingga Mandor Bacan dapat dikalahkan dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Kejadian ini dilaporkannya kepada Bek Lihun. Mendengar laporan mandornya, Bek Lihun menjadi marah dan mengancam Murtado. Tetapi Murtado sudah mempersiapkan diri dan ketika dicari oleh Bek Lihun dan anak buahnya, tidak dapat dijumpainya.

Setelah puas mencarinya, tetapi tidak bertemu Murtado, pada suatu hari Bek Lihun yang merasa penasaran mampir untuk minum-minum di sebuah warung kopi. Kemudian di warung itu ada beberapa orang anak muda, yang ternyata mereka itu adalah teman-teman Murtado, tetapi Bek Lihun tidak mengetahuinya. Beberapa waktu kemudian, ketika sedang minum-minum, lihatlah Murtado di depan warung itu. Melihat Murtadi lewat lalu Bek Lihun bangkit dari duduknya dan mengejar pemuda itu. Setelah bertemu lalu dihadangnya. Tetapi Murtado tenang-tenang saja.

Ketika Murtado akan meneruskan langkahnya, tiba-tiba Bek Lihun memegang bahunya seraya berkata:

“Hei, pemuda sombong! Kamu sok jago ya? Jangan berlagak membela rakyat. Aku jijik melihat sikapmu. Kalau kamu benar-benar berani coba rasakan kepalan tanganku ini!”

Murtado masih saja bersikap tenang, kemudian menjawab:

“Hei Lihun pemeras rakyat, kamu jangan murtad ya! Kalau kerjamu hanya memeras rakyat, pastilah Tuhan akan menghukummu. Tidak ada satupun perbuatan keji demikian yang direstui oleh Tuhan. Kelak kamu pasti akan hancur musnah, akibat perbuatan jahatmu itu. Sekarang insyaflah kamu, bahwa yang kamu peras itu adalah bangsa dan rakyatmu sendiri. Kalau kamu tidak insyaf aku sendirilah yang pertama akan menentangmu!”

Mendengar kata-kata Murtado in makin marahlah Bek Lihun. Kemudian berkata:

“Hei anak kemarin, kamu jangan banyak bicara! Kamu masih belum tahu apa-apa, ilmumu belum seberapa, jangan berani mencoba-coba. Aku pecahkan kepalamu, kamu baru tahu”.

Sambil berkata demikian, Bek Lihun mengayunkan kepalannya ke kepala Murtado. Tetapi Murtado mempersiapkan ilmu beladiri sebaik-baiknya. Dia merasa yakin, bahwa dia pasti ditolong Tuhan karena dia membela yang benar, membela rakyatnya daripada pemerasan kakitangan penjajah Belanda.

Ayunan kepalan tangan Bek Lihun, dapat ditangkis oleh Murtado. Kemudian Murtado mengayunkan kakinya, tepat mengenai dada Bek Lihun. Bek Lihun tidak dapat mengelak, lalu tertelentanglah tubuhnya ke tanah. Dengan rasa yang mendongkol, lalu dia mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Tetapi Murtado tidak khawatir. Murtado hanya memperbaiki sikap berdirinya, kemudian dengan mata yang awas dan tenang, dia memperhatikan gerak-gerik Bek Lihun. Ketika Bek Lihun menyerang dengan golok itu, dapat dielakkannya dan dengan sekali pukul dapatlah dipukulnya punggung Bek Lihun. Golok itu terpental dan Bek Lihun menjerit tersungkur ke dalam selokan di pinggir jalan. Tubuhnya terbenam ke dalam lumpur dan kakinya terasa sakit sekali tidak dapat digerakkan. Murtado yang masih merasa kesal akan perbuatan Bek Lihun, lalu mengangkat Bek Lihun dan memutar-mutar tubuhnya, sehingga Bek Lihun menggelinting-gelinting dan ketakutan. Mendengar suara teriakan Bek Lihun meminta tolong dan kesakitan pemuda-pemuda teman Murtado yang sedang duduk di warung, datang melihat ke tempat kejadian itu. Dilihatnya Bek Lihun minta ampun dan mengaduh-aduh kesakitan dan Murtado hanya tersenyum saja sambil meninggalkan tempat itu. Setelah pemuda-pemuda mengetahui, bahwa Bek Lihun yang mengaduh-aduh kesakitan, lalu diantarkan merekalah Bek Lihun ke rumahnya. Ketika orang-orang kampung bertanya, tatkala para pemuda itu telah pulang ke rumah mereka masing0masing. Bek Lihun yang merasa malu dikalahkan Murtado menerangkan bahwa dia habis dikeroyok oleh teman-teman Murtado. Dia tidak menerangkan, bahwa dia dikalahkan oleh Murtado sendiri. Dan ketika teman-temannya bertanya kepada Murtado tentang Bek Lihun, Murtado hanya tersenyum-senyum saja sambil menjawab:

“Ah, tidak apa-apa. Saya hanya bercanda dengan Bek Lihun. Saya hanya mengusap kepalanya saja, tahu-tahu dia jumpalitan saja ke bawah”.

Tetapi di dalam hatinya, dia memang ingin memberikan pelajaran kepada penguasa kampung yang memeras rakyat tersebut. Dia merasa bahwa hal itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya yaitu membela kepentingan rakyat.

Semenjak kejadian itu, Bek Lihun bertambah penasaran hatinya. Dia ingin membalas dendam untuk mengalahkan Murtado agar dapat lebih leluasa memeras penduduk Kemayoran. Untunk mencapai maksudnya ini, dicarinya dua orang tukang pukul dari Tanjung Priok untuk membunuh Murtado. Pada suatu malam, Murtado pulang ke rumahnya, tiba-tiba ia dicegat orang. Kedua orang ini mengancam Murtado adar menghentikan tindakan-tindakannya membela penduduk kampung dan jangan menghalang-halangi tindakan Bek Lihun. Mendengar mereka berdua adalah suruhan Bek Lihun. Tetapi Murtado tetap pada pendiriannya untuk melawan setiap tindakan pemerasan yang dilakukan oleh Bek Lihun dan kompeni. Dengan pikiran demikian, maka tidak gentar hatinya menghadapi kedua orang tersebut. Maka terjadilah perkelahian antara Murtado melawan kedua orang suruhan Bek Lihun itu. Dalam perkelahian itu salah seorang musuhnya dapat dikalahkan dan mati. Seorang lagi lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu dan melaporkan semua kejadian ini kepada Bek Lihun. Mendengar laporan orang suruhannya itu Bek Lihun menjadi jengkel, kemudian mulai mengatur siasat memfitnah Murtado membunuh orang di daerah Kwitang.

Murtado setelah kejadian itu, tatap saja tenang. Dia merasa yakin, bahwa orang yang berbuat baik selalu dilindungi Tuhan. Murtado kemudian menggabungkan diri bersama-sama teman-temannya untuk melatih diri menyanyi Kasidah. Sedang mereka bernyanyi lagu-lagu Kasidahan itu, tiba-tiba datang dua orang polisi kompeni untuk menangkap Murtado dengan tuduhan telah melakukan pembunuhan di daerah Kwitang. Namun teman-teman Murtado membela dan mempertahankan bahwa Murtado semenjak sore berada di tempat ini, jadi tidak mungkin melakukan pembunuhan malam itu. Akhirnya karena pembelaan teman-teman itu, maka polisi kompeni tidak berhasil menangkap Murtado. Lalu gagal pulalah rencana Bek Lihun untuk mencelakakan Murtado.

Menghadapi kejadian ini, Bek Lihun belum puas hatinya. Ia lalu berpikir bagaimana caranya agar dapat mencelakakan Murtado. Setelah kegagalan rencananya itu, lalu dipanggilnya lagi tiga orang jagoan yang berwatak jahat, yang berasal dari daerah Pondok Labu, Kebayoran Lama. Ketiga orang jagoan yang berwatak jahat ini, setelah diberi upah dan bayaran yang tinggi bersedia melenyapkan Murtado. Ketiga orang itu bernama Boseh, Kepleng, dan Boneng.

Ketiga orang itu ditugaskan Bek Lihun untuk membunuh Murtado di rumahnya ketika sedang tidur di malam hari. Caranya ialaha dengan menggasir (menggali tanah untuk masuk ke dalam) di malam hari. Melalui lubang yang digali itu mereka akan dapat masuk ke dalam rumah Murtado.

Dengan rencana yang jahat itu, pada suatu malam yang sepi, berangkatlah Boseh, Kepleng, dan Boneng menuju rumah Murtado. Setelah dilihatnya keadaan Murtado sepi, mulailah ketiga orang itu menggali lobang dalam tanah yang menembus ke lantai rumah Murtado. Setelah beberapa lama menggali, lalu tembuslah lobang itu ke dalam rumah Murtado. Ketika itu Murtado sedang tidur, tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang berbisik-bisik. Setelah diintipnya, terlihat dua orang yaitu Kepleng dan Boneng sedang merangkak-rangkak dalam lobang itu, sedang bersiap-siap untuk masuk. Di tangannya terlihat golok yang sangat tajam.

Sekarang mengertilah Murtado, bahwa dia sedang dcari oleh dua orang penjahat untuk membunuhnya. Melihat situasi yang gawat ini, lalu dengan cepat Murtado berpikir, bahwa dia harus segera melakukan tindakan. Dia berdo’a kepada Tuhan, agar Tuhan melindunginya. Lalu teringatlah dia akan lampu tempel yang terpasang di pintunya. Dengan cepat lampu ditendangnya sehingga ruangan menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan itu terjadilah kegaduhan. Rupanya Kepleng dan Boneng terkejut dan tersungkur saling bertindihan. Mendengar suara ramai-ramai ini, lalu masuk pulalah Boseh yang sedang bertugas menjaga di luar. Ketika sampai di dalam dilihatnya ruangan sudah gelap gulita. Ketika dia sedang meraba-raba, terabalah tubuh Kepleng. Kepleng mengira Murtado, lalu dibabatlah dengan goloknya. Terpekiklah boseh kesakitan. Dalam keributan itu, Murtado menggunakan kesempatan yang baik untuk memukul lawan-lawannya.

Perkelahianpun terjadi antara Murtado melawan musuh-musuhnya yang jahat itu. Akibat teriakan-teriakan Boneng, tiba-tiba penduduk kampung menjadi ramai dan teman-teman Murtado mengepung rumah itu karena dikiranya ada maling. Setelah penduduk membawa lampu, terlihatlah perkelahian antara Murtado melawan kedua orang jagoan suruhan Bek Lihun itu, sedang seorang lagi tergeletak di lantai berlumuran darah. Kedua orang ini akhirnya dapat dikalahkan Murtado dan dengan bantuan penduduk ketiga orang ini dapat diserahkan kepada Bek Lihun sebagai penguasa kampung. Penduduk sangat marah, ingin mengeroyok ketiga penjahat itu, tetapi dapat dicegah oleh Murtado yang memerintahkan agar diserahkan saja kepada yang berwajib. Dengan tuduhan ingin merampok, maka ketiga orang itupun ditahan oleh kompeni.

Rupanya Bek Lihun belum puas dengan rencana-rencananya untuk mencelakakan Murtado ataupun untuk membalas sakit hatinya. Pada suatu malam, didatangilah rumah gadis teman baik Murtado yang dahulu bersama-sama memotong padi dengan Murtado. Setelah masuk ke dalam rumah itu, lalu ditangkaplah gadis tersebut untuk diperkosanya. Gadis tersebut menjerit. Kebetulan Murtado akan berkunjung ke rumah tersebut. Mendengar teriakan ini, Murtado buru-buru masuk ke dalam rumah gadis tersebut. Setelah dilihatnya di dalam kamar ternyata Bek Lihun akan memperkosa gadis ini, hilanglah kesabarannya. Dengan sangat marah ditendangnya dan dihajarnya Bek Lihun hingga babak belur. Akhirnya Bek Lihun minta ampun dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.

Setelah kejadian-kejadian itu, maka mulai insyaflah Bek Lihun. Dia mulai menghargai pemuda kampungnya yang bernama Murtado.

Ketika itu beberapa gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa mulai mengganas di Kemayoran. Setiap malam mereka menggarong dan merampas harta benda penduduk. Kadang-kadang juga melakukan pembunuhan. Menghadapi hal ini Bek Lihun merasa kewalahan dan karena mendapat teguran dari kompeni, karena tidak lagi dapat menjaga keamanan di kampungnya, sehingga pajak-pajak yang diharapkan kompeni tidak berjalan dengan lancar. Bek Lihun akhirnya meminta bantuan kepada Murtado. Murtado menyadari, bahwa mereka juga bertanggung jawab atas keamanan kampung tersebut, akhirnya menyetujui permohonan Bek Lihun. Bersama dua orang temannya yang bernama Saomin dan Sarpin dicarinyalah markas perampok-perampok itu di daerah Tambun dan Bekasi, tetapi tidak ditemui.

Kemudian mereka pergi ke daerah Kerawang. Di sana dijumpainyalah gerombolan Warsa dan dengan kegagahan serta ilmu beladiri yang tinggi, dapatlah gerombolan itu dikalahkan dan menyerah. Warsa sendiri mati dalam perkelahian itu. Oleh Murtado dan teman-temannya semua hasil rampokan gerombolan itu diambil dan dibawanya pulang kembali ke Kemayoran. Kemudian dikembalikan lagi kepada pemiliknya masing-masing. Akhirnya semua rakyat di daerah Kemayoran merasa berhutang budi kepada Murtado dan merasa berterima kasih. Demikian pula penguasa kompeni Belanda sangat menghargai jasa-jasa Murtado dan ingin mengangkatnya menjadi Bek di daerah Kemayoran menggantikan Bek Lihun. Tetapi tawaran Belanda ini ditolaknya, karena dia tidak ingin menjadi alat pemerintah jajahan dan lebih baik hidup sebagai rakyat biasa dan ikut bertanggung jawab akan keamanan rakyat serta berusaha untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan, penindasan, dan pemerasan.

Benyamin S lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Benyamin Sueb memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Lebih dari 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut.

Bang Ben lagi serius ame kegirangan

Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular.

Bang Ben meringis sama ketawa girang

Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karir musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.

Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia.

Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi.

Orkes Gambang Kromong Naga Mustika dilandasi dengan konsep musik Gambang Kromong Modern. Unsur-unsur musik modern seperti organ, gitar listrik, dan bass, dipadu dengan alat musik tradisional seperti gambang, gendang, kecrek, gong serta suling bambu.

Setelah Orde Lama tumbang, yang ditandai dengan munculnya Soeharto sebagai presiden kedua, musik Gambang Kromong semakin memperlihatkan jatidirinya. Lagu seperti Si Jampang (1969) sukses di pasaran, dilanjutkan dengan lagu Ondel-Ondel (1971).

Lagu-lagu lainnya juga mulai digemari. Tidak hanya oleh masyarakat Betawi tetapi juga Indonesia. Kompor Mleduk, Tukang Garem, Bang Puase, dan Nyai Dasimah adalah sederetan lagunya yang laris di pasaran.

Terlebih setelah Bang Ben berduet dengan Bing Slamet lewat lagu Nonton Bioskop, nama Benyamin menjadi jaminan kesuksesan lagu yang akan ia bawakan.

Setelah Ida Royani hijrah ke Malaysia tahun 1972, Bang Ben mencari pasangan duetnya. Ia menggaet Inneke Kusumawati dan berhasil merilis beberapa album, seperti Djanda Kembang, Semut Djepang, Sekretaris, Penganten Baru dan Palayan Toko.

Lewat popularitas di dunia musik, Benyamin mendapatkan kesempatan untuk main film. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beberapa filmnya, seperti Banteng Betawi (1971), Biang Kerok (1972), Intan Baiduri serta Si Doel Anak Modern (1977) yang disutradari Syumanjaya, semakin mengangkat ketenarannya.

Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Gambang Kromong Al-Hajj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut.

Benyamin meninggal dunia seusai main sepakbola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung.

Sebutan Gambang Kromong di ambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluhpencon’). Orkes Gambang Kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Cina. Secara fisik unsur Cina tampak pada alat-alat musik gesek yaitu Tehyan, Kongahyan dan Sukong, sedangkan alat musik lainnya yaitu gambang, kromong, gendang, kecrek dan gong merupakan unsur pribumi. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendarahaan lagu-lagunya. Disamping lagu-lagu yang menunjukan sifat pribumi seperti Jali-jali, Surilang, Persi, Balo-balo, Lenggang-lenggang Kangkung, Onde-onde, Gelatik Ngunguk dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Cina, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya seperti Kong Jilok, Sipatmo, Phe Pantaw, Citnosa, Macuntay, Gutaypan dan sebagainya.

Orkes Gambang yang semula digemari oleh kaum peranakan Cina saja, lama-kelamaan digemari pula oleh golongan pribumi, karena berlangsungnya proses pembauran. Bila pada masa lalu popularitas orkes Gambang Kromong umumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat keturunan Cina dan masyarakat yang langsung atau tidak langsung banyak menyerap pengaruh kebudayaannya, pada perkembangan kemudian, penggemarnya semakin luas, lebih-lebih pada tahun 70-an. Bebagai faktor yang menyebabkan diantaranya karena mulai banyak seniman musik pop yang ikut terjun berkecimpung didalamnya seperti Benyamin S pada masa hidupnya, Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain-lain.

Gambang Kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun didaerah sekitarnya, lebih banyak penduduk keturunan Cina dalam masyarakat Betawi setempat, lebih banyak pula terdapat grup-grup orkes Gambang Kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat misalnya, lebih banyak jumlah grup Gambang Kromong dibandingkan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Dewasa ini terdapat istilah Gambang Kromong asli dan Gambang Kromong kombinasi.

Sebagaimana tampak pada namanya Gambang Kromong kombinasi, ialah orkes Gambang Kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern yang kadang-kadang elektronis, seperti gitar melodis, bass, gitar ,organ, saxophone, drum dan sebagainya. Disini berlangsung perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonis tanpa terasa mengganggu.

Dengan penambahan alat musik itu warna suara gambang kromong masih tetap terdengar, serta masuknya lagu-lagu pop berlangsung secara wajar, tidak dipaksakan. Terutama bagi generasi muda tampaknya gambang kromong kombinasi lebih komunikatif, sekalipun kadang-kadang ada kecenderungan tersisihnya suara alat-alat gambang kromong asli oleh alat musik elektronis yang semakin dominan.

Rombongan-rombongan gambang keromong asli pada umumnya dimiliki dan dipimpin oleh golongan pribumi yang ekonomi lemah, seperti rombongan Setia Hati pimpinan Amsar di Bendungan Jago, rombongan Putra Cijantung pimpinan Marta (dahulu dipimpin oleh Nya’at yang sekarang telah meninggal), rombongan Garuda Putih pimpinan Samad Modo di Pekayon, Gandaria. Sedang gambang kromong kombinasi pada umumnya dimiliki oleh golongan yang ekonomi relatif kuat, seperti rombongan Naga Mas pimpinan Bhu Thian Hay (alma), Naga mustika pimpinan Suryahanda, Selendang delima pimpinan Liem Thian Po dan sebagainya.

Sedangkan sebuah grup musik Gambang Kromong terdiri dari beberapa alat musik. Alat-alat musik tersebut adalah:

  • Gambang
    Gambang
  • Kromong
    Kromong
  • Kendang
    Kendang + Kemong
  • Krecek
    Krecek
  • Kemong
    Kendang + Kemong
  • Gong
    Gong
  • Suling
    Suling
  • Kongahyan
    Kongahyan
  • Tehyan
    Tehyan
  • Sukong
    Sukong
  • Penyanyi
    Penyanyi

Sumber dari situs pribadi Dr. martina claus-bachmann

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Seorang budak belian perempuan dari Bali. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18

Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.

Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkanjalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

Sumber : BAMUS