Archive for the ‘BUDAYA JAWA-SUNDA’ Category

ETIKA JAWA

Posted: 27 Februari 2023 in BUDAYA NUSANTARA, SUKU JAWA-MADURA
  1. Pendahuluan
  2. Apa Itu “Orang Jawa”?

Pertama, buku ini tidak mengenai seluruh masyarakat yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa. Sebagaimana akan dijelaskan dalam pasal II, di antara para pemakai bahasa Jawa dapat dibedakan antara mereka yang secara sadar mau hidup sebagai orang Islam, dan mereka, di samping orang Kristen dan orang Jawa bukan Islam lain, yang walaupun menamakan diri beragama Islam, namun dalam orientasi budaya lebih ditentukan oleh warisan pra-Islam. Kepustakaan antropologis sering bicara tentang orang Jawa-santri dan orang Jawa-abangan. Walaupun kedua golongan itu merupakan orang Jawa sungguh-sungguh, namun dalam buku ini, dibatasi pada orang Jawa dengan orientasi Jawa pra-Islam. Dengan ini tidak mau dikatakan bahwa orang Jawa-Islam tidak menunjukkan banyak dari ciri-ciri yang akan disebut sebagai khas Jawa, melainkan dalam mencari ciri-ciri Jawa itu kami hanya mempergunakan bahan-bahan tentang orang Jawa dengan orientasi dasar pra-Islam.

Namun, kesulitan terbesar dalam penentuan “orang Jawa” bersifat metodologis: apakah ada “si orang Jawa” itu? Lebih dari dua puluh tahun lamanya saya hidup di Jawa dan bersama orang asli Jawa, namun mereka berbeda satu sama lain, semua mempunyai individualitasnya yang kuat, tidak ada yang “khas tipe Jawa”: ada yang polos dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus dan ada yang kasar, ada yang berterus-terang dan ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya dan ada yang bekerja fanatik, ada yang tidak berani bertindak sendirian dan ada yang tidak banyak perduli akan sikap kelompoknya. Celaka lagi, sifat-sifat itu juga saya temukan pada orang di Jerman di lingkungan kebudayaan lain. Penelitian-penelitian para ahli pun tidak banyak membantu. Clifford dan Hildred Geertz mengadakan penelitian di sebelah timur Kediri, Koentjaraningrat di daerah Kebumen, Niels Mulder di Yogyakarta, Soetrisno menulis apa yang diharapkan agar dikagumi pada orang Jawa, dan Ben Anderson membaca kepustakaan Jawa; dan seterusnya dan seterusnya.

Oleh karena itu berikut ini saya tidak mencoba untuk mengumpulkan semua data moral masyarakat Jawa dan menyusun suatu sistem etika yang mau dianggap nyata-nyata berlaku di antara semua atau kebanyakan orang Jawa. Sistem homogen semacam itu tidak ada, sebagaimana juga si “orang Jawa” tidak ada. Maka dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk merumuskan suatu saringan deduktif dari paham-paham dan sikap-sikap moral dalam masyarakat Jawa dewasa ini, atau 30 tahuh yang lalu, atau di Jawa “pra-modern”, untuk kemudian menamakannya “etika Jawa”. Saya sama sekali tidak akan mengatakan sesuatu mengenai eksistensi suatu etika Jawa sekarang, atau di salah satu zaman lampau. Melainkan saya memakai cara lain. Dari data yang saya temukan di pelbagai sumber – yang mempunyai bobot dan jangkauan bicara yang cukup berbeda-beda – serta berdasarkan gambaran intuitif saya sendiri, saya mengkonstruksi- kan suatu pula “orang Jawa” dan “masyarakat Jawa” merupakan konstruksi teoretis penulis.

  • Apa Itu “Etika”?

Sesudah dijelaskan apa yang dimaksud dengan “orang Jawa”, maka perlu sekadar dijelaskan apa yang dimaksud dengan “etika” dan bagaimana metode analisis kami. Kata “etika” dalam arti yang sebenarnya berarti “filsafat mengenai bidang moral”. Jadi etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.

 Namun dalam buku ini kata etika saya pergunakan dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai “keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya”; jadi di mana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, sikap-sikap, dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia berhasil? Kami dengan sengaja tidak menentukan dengan lebih tepat apa yang dimaksud dengan “berhasil”: kenikmatan sebanyak-banyaknya, pengakuan oleh masyarakat, pemenuhan kehendak Tuhan, kebahagia- an, kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kewajiban mutlak, dan sebagainya, atau apa saja.

Maka kepustakaan mengenai masyarakat Jawa saya teliti untuk mencari “fakta-fakta moral”. Dalam “fakta moral” termasuk semua sebuah masyarakat yang memuat jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana hidup manusia dapat berhasil, fakta-fakta yang menyajikan petunjuk-petunjuk paling dasariah kepada individu, atau kelompok- kelompok mengenai bagaimana mereka hendaknya mewujudkan kehidupan mereka.

Dalam data-data itu, saya berusaha untuk mencari rasionalitasnya, untuk menemukan sebuah struktur. Saya susun atau saya konstruksi- kan data-data itu sedemikian rupa, sehingga tanpa dipaksa-paksa, menunjukkan keteraturannya. Dengan demikian fakta-fakta moral itu dapat dipahami. Kita tidak hanya tahu bahwa begitulah paham-paham “etika Jawa”, kita juga mengetahui mengapa paham-paham begitu rupanya. Dari satu pihak, saya berusaha untuk mengemukakan kaitan-kaitan logis-normatif yang terdapat di antara pendapat- pendapat moral supaya anggapan-anggapan moral yang paling fundamental dapat tercapa

i.

B. Pengantar ke dalam Masyarakat Jawa

  1. Pulau Jawa

Bersama dengan Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, Jawa termasuk apa yang sering disebut Kepulauan Sunda Besar yang merupakan sebagian dari kepulauan Indonesia. Arsipel Indonesia merupakan kompleks kepulauan terbesar di dunia. Arsipel itu terdiri atas lebih dari 13.000 pulau yang mengisi ruang antara dataran Asia Tenggara, Filipina, dan Australia serta menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia. Bagaikan sabuk, pulau-pulau itu mengelilingi khatulistiwa. Secara politik Pulau Jawa termasuk Republik Indonesia. Republik Indonesia terbentang dari ujung barat laut Pulau Sumatra sampai ke selatan Irian Jaya sepanjang kurang lebih 5.400 kilometer, sedangkan lebar utara-selatan kurang lebih 1.900 kilometer. Bahasa nasionalnya, bahasa Indonesia, merupakan perkembangan dari bahasa Melayu dan sebagai bahasa ibu di daerah hanya dipergunakan oleh satu-dua juta orang Indonesia. Semua orang Indonesia lain memakai salah satu dari lebih dari 250 bahasa daerah yang berbeda-beda sebagai bahasa ibu. Kebanyakan bahasa itu termasuk keluarga besar bahasa-bahasa Austronesia. ‘

Pulau Jawa kurang lebih sepanjang 1.100 kilometer dan rata-rata selebar 120 kilometer dan terletak antara derajat garis lintang selatan ke-5 dan ke-8. Dengan 132.187 kilometer persegi (termasuk Madura), Jawa memuat kurang dari tujuh persen dari tanah seluruh Indonesia. Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah yang agak kering khususnya di sebelah selatan pulau, dan cukup banyak gunung berapi yang masih aktif, lima belas di antaranya mencapai ketinggian lebih dari 3.000 meter. Iklim Pulau Jawa adalah tropis. Di dataran rendah suhu rata-rata berkisar antara 26 dan 27 derajat Celcius dan perbedaan antara suhu rata-rata bulanan tertinggi dan terendah itu kurang dari satu derajat. Pada umumnya termometer tidak naik di atas 33 derajat pada siang hari, dan tidak turun di bawah 22 derajat pada malam hari. Kelembaban udara rata-rata bergeser antara 85 persen dalam bulan yang paling basah, dan 73 persen dalam bulan yang paling kering. Makin tinggi makin cepat iklim menjadi moderat dan sangat nyaman.

  • Masyarakat Jawa

Semula Jawa dipergunakan empat bahasa yang berbeda. Penduduk-penduduk asli Ibukota Jakarta (sekarang hanya kurang lebih sepuluh persen dari seluruh penduduk Jakarta yang lebih dari enam setengah juta orang itu) bicara dalam suatu dialek bahasa Melayu yang disebut Melayu-Betawi. Di bagian tengah dan selatan Jawa Barat dipakai bahasa Sunda, sedangkan Jawa Timur bagian utara dan timur sudah lama dihuni oleh imigran-imigran dari Madura yang tetap mempertahankan bahasa mereka. Di bagian Jawa lainnya orang bicara dalam bahasa Jawa. Namun bahasa Jawa yang dipergunakan di dataran-dataran rendah pesisir utara Jawa Barat, dari Banten Barat sampai ke Cirebon, cukup berbeda dari bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang disebut orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa. Di zaman sekarang banyak orang Jawa hidup di pulau-pulau lain sebagai pegawai, anggota ABRI, ahli teknik, guru, tetapi juga sebagai transmigran; untuk sebagian besar mereka tetap mempertahankan bahasa dan adat-istiadat mereka. Zaman sekarang kira-kira terdapat 68 juta orang Jawa.”

            Dalam wilayah kebudayaan Jawa sendiri dibedakan lagi antara para penduduk pesisir utara di mana hubungan perdagangan, pekerjaan nelayan, dan pengaruh Islam lebih kuat menghasilkan bentuk kebudayaan Jawa yang khas, yaitu kebudayaan pesisir, daerah-daerah Jawa pedalaman, sering juga disebut “kejawen”, yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dan di samping dua karesidenan ini juga termasuk Karesidenan Banyumas, Kedu, Madiun, Kediri, dan Malang.

Orang Jawa dibedakan dari kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia oleh latar belakang sejarah yang berbeda, oleh bahasa, dan kebudayaan mereka.

Kebanyakan orang Jawa hidup sebagai petani daerah dataran rendah mereka bercocok tanam padi, di daerah pegunungan mereka menanam ketela dan palawija. Sebagian besar Pulau Jawa bersifat agraris, penduduknya masih hidup di desa-desa. Di desa kebanyakan keluarga mempunyai rumah gedeg atau kayu sendiri terdiri atas beberapa kamar, dengan lumbung padi kecil dan kandang, di mana barangkali terdapat seekor kerbau, beberapa ekor kambing, dan ayam. Rumah itu dikelilingi oleh semacam kebun yang biasanya tidak begitu terawat, di mana pohon kelapa dan berbagai tumbuhan sayuran tumbuh bercampur-aduk hasil-hasilnya melengkapi menu makanan sebagian besar terdiri dari nasi atau ketela.

Kecuali dua kota pelabuhan, Surabaya dan Semarang, yang semakin menjadi pusat perdagangan dan industri, perkembangan kota-kota sebagian besar terbatas pada pusat-pusat pemerintahan dan administra- tif, tempat administrasi propinsi, kabupaten, dan kecamatan. Di kota-kota inilah dulu tinggal sebagian besar dari elite administratif lama, pedagang-pedagang, dan profesi-profesi baru yang berkembang sesudah Perang Dunia II. Yogyakarta dan Surakarta disebut kota kerajaan karena merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan dan pada zaman sekarang tetap menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa.

  • Ringkasan Sejarah Jawa
  • Zaman Pra sejarah

Prasejarah Kiranya kurang lebih tiga ribu tahun sebelum Masehi gelombang pertama imigran Melayu yang berasal dari Cina Selatan mulai membanjiri Asia Tenggara, disusul oleh beberapa gelombang lagi selama dua ribu tahun berikut. Orang Jawa dianggap keturunan dari orang-orang Melayu gelombang berikut itu. Orang Melayu itu hidup dari pertanian, mereka sudah kenal persawahan. Dengan demikian bentuk organisasi desa mereka sudah relatif tinggi. Garis-garis besar organisasi sosial itu dapat direkonstruksikan dan bertahan sampai sekarang. sekelompok rumah, kadang-kadang ada kandang ternak, dan 39 Desa diketuai oleh kepala desa. Suatu desa terdiri dari dikelilingi oleh sawah, ladang, dan empang-empang, akhirnya oleh hutan dan tanah yang tidak ditanami. Tanah garapan semula merupakan milik desa. Apabila anggota desa membuka tanah melalui pekerjaannya sendiri, ia pribadi berhak atas penghasilannya, tetapi tidak bisa menguasai tanah tanpa izin seluruh desa. Semua warga desa bersama-sama bertanggung jawab atas kesejahteraan bersama: di masa paceklik orang berkewajiban untuk saling membantu; suatu kejahatan yang dilakukan di wilayah desa menjadi tanggung jawab seluruh desa apabila pelaku tidak bisa diketemukan (bahkan penguasa Belanda tidak berhasil untuk menggantikan paham itu dengan prinsip tanggung jawab individual). Sampai sekarang pemerintah tidak berdaya terhadap desa tanpa kerja sama kepala desa.

Keagamaan orang-orang desa ditentukan oleh kepercayaan bahwa apa saja yang ada berhayat dan berjiwa, bahwa kekuatan-kekuatan alam merupakan ungkapan kekuatan-kekuatan rohani; lagi pula oleh kepercayaan terhadap eksistensi jiwa pribadi manusia yang sesudah kematiannya tetap tinggal di dekat desa dan tetap memperhatikan kehidupannya. Penghormatan terhadap nenek moyang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan desa.” Sumber-sumber sejarah dalam arti yang sebenarnya mengenai Indonesia Purba terdiri dari beberapa potongan tulisan pada batu dan logam (prasasti), dari abad V Masehi, begitu pula dari laporan-laporan Cina mulai dari abad VII, namun data-data geografisnya tidak mudah dapat diartikan.

  • Kerajaan kerajan jawa tengah pertama

Pada abad ke VIII terlihat perubahan-perubahan besar dalam struktur politik Kepulauan Indonesia yang mungkin sekali di rangsang oleh hubungan-hubungan religius dan perdagangan dengan daerah Benggala. * Di antara pangeran-pangeran lokal muncul raja-raja yang lebih kuat yang dapat memperluas kekuasaan mereka atas wilayah yang lebih luas. Sanjaya, raja Mataram di wilayah Yogyakarta sekarang, memperluas kedaulatannya ke seluruh Jawa Tengah dan barangkali juga sebagian Sumatra dan Bali. Dari zaman itulah berasal monumen-monumen bangunan Jawa Tengah besar yang pertama,” yaitu candi-candi Siwais di dataran tinggi Dieng. Tidak lama kemudian Jawa Tengah jatuh ke bawah kekuasaan Dinasti Syailendra dari Sumatra yang menganut agama Budha yang sebenarnya tidak perlu kita sebut di sini kecuali karena selama kekuasaan mereka yang hanya berlangsung selama kira-kira enam puluh tahun di sebelah barat Yogyakarta sekarang didirikan stupa Budha terbesar di dunia, yaitu candi Borobudur.

            Candi borobudur dibangun mneurut tradisi jawa Kuno sebagai candi yang berteras dan melambangkan alam raya. Teras-teras paling bawah dihiasi dengan ukiran-ukiran dari alam kepercayaan Budhisme Mahayana. Si peziarah yang sambil merenung-renung naik dari teras ke teras, akhirnya di teras-teras tertinggi memasuki wilayah tanpa gambar yang melambangkan pencapaian terang batin dan kebudhaan. “Dengan demikian Borobudur merupakan mandala raksasa dalam batu, suatu lingkaran mistik yang di samping fungsi simbolisnya, sekaligus memiliki kekuatan nyata yang dapat menghasilkan bagi kaum beriman apa yang dilambangkan itu”.” Mungkin juga bahwa candi Borobudur sekaligus masih mempunyai maksud lain, yaitu menjadi makam monumental bagi Raja Syailendra yang berkuasa. Kalau begitu maka candi Borobudur merupakan kesaksian pertama bagi kemampuan kebudayaan Jawa yang mengambil alih agama-agama asing untuk diabdikan dari dalam bagi kepentingan-kepentingannya sendiri, artinya untuk menjawakannya. Tendensi jawanisasi juga nampak dalam penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa kuno dan dalam perkembangan huruf-huruf Jawa yang mulai pada waktu itu.”

Dalam abad IX, Jawa Tengah kembali menganut agama Siwa. Penguasa-penguasanya menamakan diri Raja Mataram. Bangunan terbesar dari zaman itu ialah kompleks candi Larajonggrang di Prambanan dekat Yogyakarta yang terdiri dari tiga candi utama yang diperuntukkan bagi dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu yang berhadapan dengan tiga candi yang lebih kecil; keseluruhannya dikelilingi oleh . candi kecil. Ukiran-ukiran candi Siwa diambil dari kisah Ramayana. Juga candi Larajonggrang sekaligus dimaksud sebagai candi pemakaman bagi raja-raja Mataram. Kecuali itu mungkin juga bahwa kompleks candi-candi itu memenuhi fungsi suatu candi kerajaan. Kedua kemungkinan itu akan merupakan tanda khas tentang ciri Jawa Hinduisme pada waktu itu.

Dalam abad X, Jawa Tengah secara mendadak hilang dari peta politik. Titik berat politik Pulau Jawa berpindah ke Timur, ke lembah Sungai Brantas. Apa yang menjadi alasan bagi perpindahan mendadak itu tidak kita ketahui. Yang pasti ialah bahwa Sindok, raja Jawa Timur yang pertama, tetap memakai gelar Raja Mataram.

  • Kerajaan-kerajaan Jawa Timur

Pertama Sesudah tahun seribu, seluruh Jawa Timur dipersatukan dalam suatu kerajaan oleh Raja Airlangga (1019-1049). Pusat kerajaannya ialah kota Kediri, Jawa Timur, yang kemudian dalam sejarah Jawa selalu memainkan lawan terhadap kekuasaan yang ada. Tentang Airlangga diceritakan bahwa sebelum mencapai kekuasaan, ia bertahun-tahun lamanya mengembara di hutan untuk mencapai ke- saktian. Maka tidak mengherankan bahwa pada zaman pemerintah- annya diciptakan Arjuna Wiwaha Kakawin, saduran Jawa dari suatu ceritera dari Mahabarata India di mana Arjuna harus bertapa di hutan bertahun-tahun lamanya untuk mencapai kekuatan batin. Paralelisme antara Arjuna dan Airlangga menyolok. Seni sastra di kraton-kraton Jawa bukan suatu peristiwa literaris saja, melainkan merupakan kegiatan penuh kekuatan gaib: dengan tindakan penulisan apa yang ditulis itu menjadi realitas. Dalam si penyair menceriterakan tindakan-tindakan besar Arjuna, Raja Airlangga bertambah kesaktiannya.

Mulai zaman itu Jawa Timur diolah secara intensif dan semakin padat penduduknya. Sebagai kekuatan dagang, Jawa Timur berhasil mengungguli Sriwijaya di Sumatra dalam persaingan dagang. Tuban dan kota-kota lain di pantai Utara Jawa berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang semakin jaya, yang mempunyai hubungan dengan seluruh Kepulauan Indonesia. Ternate di daerah Maluku mengakui kekuasaan Kediri, begitu juga Bali.

Di antara raja-raja Kediri yang termasyur adalah Jayabaya yang memerintah antara tahun 1135 sampai 1157. Di bawah beliau pujangga kraton, Mpu Sedah, menerjemahkan sebagian dari Epos India Mahabarata ke dalam bahasa Jawa dengan nama Baratayuda. Karya ini sampai sekarang merupakan sumber utama bagi wayang Jawa. Jauh kemudian, dalam abad XVIII, Raja Jayabaya dipergunakan sebagai pemaklum ramalan-ramalan Ratu Adil yang meramalkan bahwa Pulau Jawa akan mengalami masa kekacauan, tetapi akhirnya akan dibawa ke kebesaran baru oleh Sang Ratu Adil Herucakra. Ramalan-ramalan ini dalam abad XIX mempunyai pengaruh besar atas kesadaran politik di Jawa dan berulang-ulang terjadi pemberontakan-pemberontakan kecil di bawah pemimpin-pemimpin yang menganggap diri sebagai Ratu Adil. Juga pemberontakan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta yang melibatkan pihak Belanda dalam suatu perang dari 1825-1830 yang hanya dengan susah payah dan melalui tipu-muslihat dapat mereka akhiri, didorong oleh harapan-harapan akan Ratu Adil.

Suatu usaha raja Kediri yang terakhir pada tahun 1222 untuk menempatkan para pendeta ke bawah kontrol langsung dari raja, gagal; ia jatuh dan diganti oleh suatu dinasti Jawa Timur baru yang berkedudukan di Singasari dekat Malang. Raja terbesar dinasti itu adalah raja yang terakhir, Pangeran Kertanagara yang berkuasa dari tahun 1268-1292. Ia dipandang sebagai penuh kekuatan-kekuatan gaib yang luar biasa. Dikatakan, bahwa untuk menambah kesaktiannya berhadapan dengan ancaman pemimpin Mongol, Kublai Khan, maka pada umur 21 tahun ia menjalani suatu upacara pentahbisan gaib. Dikatakan juga, bahwa ia dapat memperluas kekuasaannya sampai daratan Asia, suatu anggapan yang oleh kebanyakan ahli sejarah dipandang dengan skeptis. Yang pasti ialah bahwa ia memperlakukan para utusan Kublai Khan yang menuntut agar ia tunduk pada Kublai Khan, dengan cara menghina.

  • Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit, kerajaan yang paling berkuasa dalam sejarah Jawa, lahir dalam lindungan angin serangan tentara Mongol. Pangeran Wijaya-anak mantu Kertanagara-berhasil memperoleh bantuan Mongol untuk melawan Kediri. Sesudah tentara Mongol merusakkan kota Kediri, Pangeran Wijaya menjauhkan diri dari mereka, dan melibatkan mereka dalam suatu perang gerilya sehingga mereka untuk selamanya meninggalkan Tanah Jawa. Sebagai pembebas dari kaum Mongol, Pangeran Wijaya mendirikan dinasti Majapahit pada tahun 1293. Wijaya memulai kembali politik ekspansi Kertanagara. Walaupun beberapa pangeran yang telah tunduk pada Singasari berontak terhadap Majapahit, namun Wijaya berhasil untuk terus memperluas wilayahnya. Di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Gajah Mada yang dari tahun menjadi patih kerajaan, Majapahit mencapai peluasannya yang paling besar walaupun para ahli tidak sependapat mengenai luas wilayah yang nyata-nyata dikuasai Majapahit; namun pada umumnya diterima bahwa Majapahit menguasai seluruh Tanah Jawa dan Bali, begitu pula kekuasaannya diakui oleh kerajaan-kerajaan, pesisir terpenting di Kepulauan Indonesia.

Sementara itu, situasi keagamaan di Jawa berkembang terus. Perbedaan antara Budhisme dan Siwaisme praktis hilang. Agama resmi merupakan suatu bentuk sinkretisme tantrik, agama Siwa-Budha. Semua jalan ke arah penebusan pada prinsipnya dianggap sama.” Juga bentuk-bentuk ibadat Siwaisme dan Budhisme berjalan secara berdampingan, “orang bijaksana memahami bahwa (Siwaisme dan Budhisme) hanya merupakan ungkapan sama, yang pada hakikatnya identik.

Sekaligus ide-ide Jawa asli semakin kuat muncul kembali, tetapi bukan dengan melawan melainkan dengan melalui bentuk-bentuk India. Suatu contoh khas adalah ceritera tentang kakak-beradik Gagang Aking (“jerami kering”) dan Bubuksyah (“pemakan banyak”) yang sekarang pun, katanya, masih diketahui orang. mencari ilmu tertinggi, kedua-duanya menarik diri ke pegunungan. “Yang satu mengikuti aturan agama Siwa: ia bertapa dan bersemadi, tidak makan daging dan makanan najis lainnya. Yang satunya adalah penganut agama Budha. Baginya tidak ada larangan-larangan: ia makan dan minum sampai jauh malam; ia menangkap dan membunuh binatang. Dewa tertinggi mengutus seekor harimau putih untuk menguji mereka dan untuk meneliti kemajuan mereka dalam usaha mencapai kesempurnaan. Sang harimau minta makanan dari kakak-beradik itu, tetapi hanya mau menerima daging manusia. Gagang Aking berusaha mengelak dengan menunjuk pada kekurusannya; menurut dia, kakaknya jauh lebih cocok untuk menjadi makanan. Adiknya, penganut agama Budha, bersedia untuk itu. Sesudah kesediaannya dicoba secukupnya, harimau membawa Bubuksyah di atas punggungnya ke surga yang tertinggi. Gagang Aking memang boleh ikut dengan berpegang pada buntut harimau, tetapi di surga harus puas dengan tempat yang jauh lebih rendah”.59 Dalam kisah tentang kesatuan kedua kutub Siwaisme dan Budhisme itu, barangkali muncul kembali suatu mitos suku Indonesia Kuno. Menurut mitos itu suku terbelah dalam dua bagian. Kedua bagian saling bersaing, tetapi sekaligus bersatu secara tak terpisahkan. Menurut artian dimana kisah yang berat sebelah ke arah Budhisme itu, Siwais terpahat dalam ukiran batu (pada salah satu candi kompleks Penataran dari abad XIV) sebenarnya merupakan punden suku, “suatu pusat kebudayaan yang mewakili seluruh masyarakat dan dengan demikian merangkum kedua belah bagiannya”. Bahwa di zaman Majapahit unsur-unsur Indonesia Kuno.semakin muncul kelihatan juga dalam arsitektur candi-candi dan dalam ukiran-ukiran batu, dan nampak juga karena banyak patung dewa zaman Singasari dan Majapahit merupakan apa yang disebut patung.

C.Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup

Dalam pasal-pasal sebelumnya kami telah berusaha untuk menggaris- kan struktur etika Jawa. Dalam pasal ini pelbagai segi etika itu mau diutarakan secara khusus dengan tujuan untuk menangkap ciri khas teoretis etika Jawa dengan lebih tajam. Untuk itu hasil-hasil penelitian sampai sekarang kami tempatkan dalam kerangka suatu analisis filosofis.

Mari kita mulai dengan merangkum sekali lagi hasil penelitian kita sampai sekarang. Kita bertolak dari pengandaian bahwa orang Jawa secara prinsipil diharapkan untuk menjaga keselarasan sosial. Itu dilakukannya dengan mencegah timbulnya konflik-konflik dan dengan menghormati kedudukan dan pangkat semua pihak dalam masyarakat. Tuntutan itu dapat dimengerti pada latar belakang suatu anggapan bahwa keselarasan dalam masyarakat berhubungan erat dengan keselarasan kosmis: kedua-duanya saling mengandaikan. Dari keselarasan kosmos tergantung keselamatanku sendiri. Maka untuk menjamin keselamatannya manusia harus melakukan apa yang bisa dilakukan dan itu berarti, ia tidak mengganggu gugat keselarasan masyarakat. Namun keselarasan itu baru sempurna apabila diimbangi dan ditunjang oleh keselarasan batin. Demi tujuan itu manusia harus mengontrol hawa napsunya dan dalam batinnya mengembangkan sikap sepi ing pamrih. Berdasarkan sikap itu manusia dapat dengan tenang dan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya oleh pangkat dan nasibnya (ramé ing gawé). Dengan sikap itu manusia mencapai suatu keadaan psikis yang disebut slamet, yaitu ketenangan batin, ketenteraman dan rasa aman. Dengan demikian keselarasan dalam alam luar sesuai dengan keadaan slamet dalam batin manusia.

Oleh karena itu pusat etika Jawa adalah usaha untuk memelihara keselarasan dalam masyarakat dan alam raya dan keselarasan itu menjamin keadaan selamat yang dirasakan sebagai nilai pada dirinya sendiri. Namun keselarasan kosmis hanya dapat dipelihara apabila semua unsur dalam kosmos menempati tempatnya yang tepat. Maka kategori-meta etika Jawa yang terpenting adalah kategori tempat: sepi ing pamrih berarti menerima tempatnya sendiri, dan memenuhi kewajiban berarti melakukan apa yang harus dilakukan manusia masing-masing menurut tempatnya dalam kosmos. Maka tuntutan moral kongkret secara hakiki bersifat relatif karena ditentukan oleh tempat masing-masing individu. Setiap individu harus melakukan kewajiban-kewajiban khas yang ditentukan baginya oleh kedudukan- nya dalam masyarakat dan oleh nasibnya.

Akan tetapi supaya individu dapat bersikap sesuai dengan tempat kosmisnya, diandaikan bahwa ia mengetahui kewajiban-kewajiban yang mengalir daripadanya. Pengetahuan itu pertama-tama diperoleh- nya dari empat sumber lahiriah, yaitu tuntutan adat-istiadat, tata krama, hirarki dan kerukunan. Namun itu tidak cukup. Bahwa manusia memahami ia memang harus hidup sesuai dengan kewajiban-kewajiban itu, jadi agar ia, begitu dapat kita katakan, harus bersikap moral, hanya dapat diketahuinya dari batinnya sendiri. Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam råså. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin bersatu ia dengan kekuatan- kekuatan İlahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya.

  1. Etika dan Pengertian

Rasa adalah kategori pengertian. Rasa pertama-tama berkembang dalam suasana keluarga inti yang secara ideal bebas dari tekanan dan paksaan, dalam lingkungan keluarga luas dan di antara para tetangga. Di sini orang Jawa mengembangkan kepercayaan dasar ke dalam kelompoknya, di sini berkembang padanya kepekaannya untuk reaksi-reaksi sesamanya, di sini ia mulai mengenal rasa takut terhadap dunia luar yang berbahaya, di sini tumbuhlah di dalamnya sikap-sikap moral dasar seperti kejujuran, kesediaan untuk menolong dan rasa keadilan, di sini ia membatinkan perintah dasar untuk mencegah konflik-konflik sebagai sesuatu yang positif dan belajar untuk memahami struktur hirarkis masyarakat. Dalam proses pertumbuhan ini sikap hidupnya sejak semula distrukturasikan menurut kategori tempat: ia mengalami perbedaan antara dalam (kepercayaan, kehangatan, keakraban, keamanan) dan luar (rasa hormat, malu, sungkan, jarak, bahaya-bahaya); ia belajar untuk membedakan kedudukan-kedudukan dan pangkat-pangkat yang berbeda dalam masyarakat dan bahwa individu ditentukan oleh kedudukan dan pangkat itu. Ia belajar untuk membedakan kewajiban-kewajiban menurut kedudukan masing-masing dalam masyarakat. Di sini ia menginternalisasikan tuntutan-tuntutan tata krama dan adat istiadat. Dengan demikian berkembanglah rasa-nya. Melalui rasa-nya ia tahu bagaimana ia harus membawa diri dan kelakuan yang seşuai menjadi kebiasaannya.

Di sini kelihatan ciri pertama ețika Jawa: di dalamnya unsur pengertian sangat ditekankan. Segala-galanya tergantung dari apakah orang mengetahui tempat sosial dan dengan demikian tempat kosmisnya. Siapa yang mengetahuinya akan juga bertindak dengan betul, dan siapa yang bertindak salah rupa-rupanya tidak mengetahui tempatnya atau situasi kosmisnya. Tekanan pada unsur pengertian juga nampak, seperti telah kita lihat, dalam paham orang Jawa tentang kelakuan yang salah sebagai kekurangan pengertian (durung ngerti). Yang di sini menyolok bukanlah fakta itu sendiri bahwa dalam etika Jawa pengertian memainkan Di terdapat etika, tentu juga terdapat peraturan-peraturan, dan hanya orang yang mengetahui- nya bisa memenuhi tuntutan-tuntutannya. Yang khusus dalam etika Jawa ialah eksklusivitas yang dimiliki oleh unsur pengertian di dalamnya. Bukan hanya bahwa kelakuan yang betul mengandaikan pengetahuan tentang norma-norma moral, melainkan pengertian yang betul sudah menjamin tindakan yang betul juga. Siapa yang mengikuti hawa napsunya atau hanya meêngejar kepentingan egoisnya sendiri, berbuat demikian bukan karena ia tidak mau, melainkan karena ia belum mencapai pengetahuan yang betul. Kehendak sebagai kemampuan yang berbeda dari pengertian oleh orang Jawa tidak banyak diperhatikan. Kita misalnya melihat bagaimana anak Jawa sedapat-dapatnya dijauhkan dari pengalaman-pengalaman frustrasi selama anak itu belum dapat mempergunakan akal budinya, di mana yang terakhir itu diukur pada kemampuan anak untuk memahami hubungannya terhadap dunia luar. Begitu pula penguasaan diri di bidang seksual dianggap di luar kemampuan individu biasa sehingga pengawasan sosial harus semakin ketat. Etika Jawa adalah etika pengertian karena kelakuan yang tepat dianggap sudah terjamin oleh pengertian yang betul sedangkan di samping itu kehendak tidak diberi perhatian.

  • Bukan Masalah aksi

Bahwa dalam pandangan Jawa sikap dasar moral, atau benar, dengan sendirinya menjamin kelakuan yang tepat, sedangkan etika-etika Barat sangat mementingkan latihan kehendak untuk melaksanakan apa yang dipahami sebagai kewajiban moral oleh akal budi, nampak juga dari ciri khas kedua etika Jawa: tujuan terakhir etika ini bukanlah suatu aksi. Sebagaimana telah kita lihat, etika Jawa memang menuntut agar setiap orang memenuhi kewajiban-kewajiban pangkat dan kedudukan- nya. Setiap orang harus melakukan apa yang ditugaskan kepadanya oleh kedudukan sosialnya dan oleh nasib pribadinya dalam dunia. Etika Jawa bukan suatu etika kemalasan. Tetapi tindakan yang dituntut itu bukanlah suatu aksi, bukan suatu gerakan ke luar dari diri sendiri, dan tujuannya bukanlah suatu perubahan kategoris terhadap dunia. Etika Jawa tidak bermaksud untuk mengubah dunia yang ada menjadi dunia lain yang lebih baik.

Sebagaimana telah diutarakan, perubahan semacam itu menurut pandangan dunia Jawa tidak berada dalam jangkauan kekuatan manusia, bahkan sama sekali tidak berada dalam perspektifnya. Dunia adalah suatu keadaan, walaupun suatu keadaan dinamis. Kekuatan-kekuatan yang sebenarnya bergiat di dalamnya bersifat gaib dan tidak kelihatan dan kadang-kadang dipersonifikasikan sebagai roh-roh, tetapi akhirnya hanya merupakan ungkapan dari energi kosmis yang satu itu yang mengerjakan segalanya dalam segalanya. Berkat energi kosmis itu setiap unsur dalam dunia mempunyai gerakan-gerakan tertentu, dan dengan melakukan gerakan-gerakan itu keseluruhannya tetap tenang dan tetap sama. Jadi gerakan-gerakan itu tidak mengubah relasi-relasi antara dunia, melainkan justru mempertahankannya. Paham itu dapat kita bandingkan dengan gerakan bintang-bintang di langit: konstelasi mereka tetap dalam keselarasan total justru karena setiap badan di langit mempertahankan jalurnya, jadi bergerak. Dalam arti ini melaksanakan keutamaan-keutamaan masing-masing tidak berarti lain daripada mengikuti garis dunia yang sudah digariskan bagi siapa saja, mirip dengan kapal angkasa yang sesudah ditembakkan ke dalam ruang angkasa dan mesin roket-roket dimatikan mempertahankan gerakan dan arahnya, tanpa suara dan dalam keselarasan sempurna dengan semua kekuatan alam raya.

Oleh karena itu pemenuhan kewajiban tidak boleh dipahami sebagai aksi dalam arti bahwa lingkungan mau diubah secara definitif, melainkan berarti kecocokan sempurna dalam keselarasan keseluruhan, bagaikan sebatang pohon yang mengambang di atas sebuah sungai. Apabila pun tindakan dalam dunia menghasilkan suatu perubahan positif maka perubahan itu sebenarnya tidak mengubah sesuatu melainkan mengembalikan keselarasan. Dan sebaliknya, orang yang tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, entah karena ia bertindak salah, entah karena ia tidak berbuat apa-apa, merupakan gangguan terhadap keselarasan sosial dan kosmis.

  • Kedudukan Keutamaan-keutamaan Moral

Etika Jawa memperlihatkan diri sebagai etika pengertian. hubungan ini timbul pertanyaan mengenai kedudukan keutamaan- keutamaan moral dalam etika ini. Dengan keutamaan moral saya maksud di sini sikap-sikap kehendak yang tetap untuk bertindak secara moral, artinya menurut norma-norma moral dasar. Kita bertolak dari problematika yang telah muncul dalam hubungan dengan prinsip-prinsip keselarasan sosial. Sebagaimana kita lihat, tuntutan untuk mencegah konflik dan untuk selalu menunjukkan sikap hormat yang tepat amat penting dalam pengaturan tata pergaulan masyarakat Jawa. Masyarakat sangat mengharapkan agar keselarasan dalam masyarakat dipertahankan, dan untuk itu perlu dipelihara suasana rukun serta diakui tempat setiap pihak di dalamnya.

Mengapa keselarasan sedemikian dijunjung tinggi dapat dipahami latar belakang pandangan dunia Jawa tradisional. Menurut pandangan itu kekuatan-kekuatan yang sebenarnya bersifat gaib. Semua unsur dalam dunia mengikuti jalur-jalur yang telah ditentukan dan suatu usaha untuk mengubah jalan dunia adalah sia-sia. Maka mengubah dunia sekehendak manusia tidak terletak dalam kemam- puannya. Dunia harus diterima scadanya. Manusia hanya dapat menjaga keselarasan dan keseimbangan dan dengan demikian ia menyumbang terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu suatu idealisme moral yang mempunyai cita-cita tinggi untuk memperbaiki masyarakat dan dunia serta merasa bertanggung jawab untuk mengambil pelbagai sikap yang bertentangan dengan keselarasan tidak masuk akal dan hanya akan menimbulkan gangguan, juga bagi mereka yang mau dibantu atau dimajukan dengan cita-cita tinggi itu. Tak mungkin saya mengubah dunia menurut cita-cita saya seenaknya. Saya hanya dapat menyumbang pada keadaan yang lebih tenteram, adil dan sejahtera dengan memenuhi kewajiban yang ditentukan bagi saya menurut aturan masyarakat, jadi dengan mempertahankan kerukunan dan mengakui kedudukan semua pihak dalam tatanan sosial. Hanya dengan menjaga keselarasan saya dapat memajukan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu norma-norma moral, juga yang tertinggi, tidak pernah berlaku kategoris. Satu pun jangan dilebih-lebihkan, jangan dipaksakan mati-matian, atas nama norma dasar apa pun tidak dibenarkan untuk melibatkan diri seratus persen, untuk kehilangan dan pandangan bagi keseluruhan.

Usaha bersemangat demi untuk mewujudkan cita-cita luhur yang dimutlakkan dan melebihi ukuran yang ditentukan oleh kewajiban-kewajiban sosial yang terkena pada kedudukan seseorang, bagi orang Jawa merupakan percobaan yang kurang estetis dan terutama bodoh untuk melampaui batas-batasnya sendiri, suatu usaha yang hanya dapat menyebabkan ketidaktenangan dan perasaan kaget yang tidak diinginkan. Atas nama keutamaan- keutamaan atau demi tanggung jawab terhadap sesama pun tidak dibenarkan untuk memutlakkan tindakannya sendiri karena bagaimana pun juga tidak mungkin untuk membantu satu sama lain melebihi kemungkinan-kemungkinan yang selalu sudah ditentukan oleh keseluruhan

 SUMBER      : Franz Magnis,   ETIKA JAWA,  – Suseno SJ Etika Jawa PT. Gramedia, Jakarta Jakarta 1984

.

Agama Sunda

Posted: 17 Oktober 2017 in BUDAYA DUNIA, BUDAYA NUSANTARA, SUKU SUNDA

Pajajaran,hiji karajaan anu kantos eksis di tatar Sunda,dipikawanoh ku khalayak minangka karajaan Hindu. Lamun ngarujuk dina buku-buku palajaran Sajarah anu dipake di sakola atawa instansi atikan umumna,mangka Pajajaran bade ditendeun dina kategori karajaan Hindu-Budha anu kantos berjaya di bumi nusantara. Manawi henteu kapikir ku urang yen sajarah resmi anu diyakini ku mainstream balarea kasebat saleresna barobah kaayaan keneh perdebatan dugi kiwari.

Sapalih balarea Sunda anu ngagem ageman Sunda Wiwitan (ageman awit Sunda) malahan ngayakinan yen ageman anu dianut ku balarea Sunda Pajajaran atawa Galuh (karajaan anu aya sateuacan Pajajaran wedal) nyaeta ageman Sunda Wiwitan,sanes ageman Hindu. Sababaraha sejarawan sarta budayawan Sunda oge boga pamadegan sami,nyaeta aya kalepatan interpretasi sajarah kalawan nyebutkeun Pajajaran minangka karajaan Hindu. Pamadegan anu tinangtu dibarung argumentasi rasional sarta tiasa dipertanggung jawabkan.

Pajajaran sarta Ageman Sunda
A
Asal-asal sajarah anu nu nulis terang saleresna nembongkeun kitu kaayaanana kapercayaan awit Sunda anu atos mapan dina kahirupan balarea Sunda pra atawa pasca Pajajaran kabentuk.[1] Naskah Carita Parahyangan,contona,mendeskripsikeun kitu kaayaanana kaum pendeta Sunda anu ngagem ageman awit Sunda (nu ngawakan Jati Sunda). Maranehanana oge disebut ngagaduhan sarupaning tempat suci anu namina kabuyutan parahyangan,hiji perkawis anu henteu dipikawanoh dina ageman Hindu.

Naskah Carita Parahyangan oge nyaritakeun ngeunaan kapercayaan umum raja-raja Sunda-Galuh nyaeta sewabakti ring batara upati sarta berorientasi ka kapercayaan awit Sunda.[2] Jabi naskah Carita Parahyangan,ayana ageman awit Sunda dina mangsa kapungkur oge diperkuat ku karya sastra Pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng episodeu “Curug Si Dina Weruh.” Dina pantun kasebat diwartakeun begini:

“Saacan urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh,karuhun urang mah geus baroga ageman,anu disarebut ageman Sunda tea..”

Hartina : “Sebelum jalmi Hindi (Hindu-India) bertahta di Kadu Hejo oge,karuhun urang atos ngabogaan ageman,nyaeta anu disebut ageman Sunda.”

Anu dimaksud kalawan “urang Hindi” dina pantun kasebat nyaeta jalmi Hindu ti India anu saterusna bertahta di taneuh Sunda (Kadu Hejo). Lamun urang mapay-mapay sajarah Sunda dugi mangsa ratusan warsih sateuacan Karajaan Sunda-Galuh ataupun Pajajaran tangtung,mangka bade ditepungan Karajaan kahiji di tatar Sunda anu namina Salakanagara. Karajaan ieu pisan anu dimaksud kalawan Kadu Hejo dina pantun Bogor kasebat. Naskah Wangsakerta nyatet karajaan ieu minangka dayeuh pang kolotna di Pulo Jawa,sumawonten di Nusantara.

Konon,dayeuh anu saterusna ngembang barobah kaayaan pusat karajaan ieu tempatna wewengkon Pandeglang,Banten. Karajaan Salakanagara anu pusat pamarentahan na tempatna Rajatapura atos aya saprak abad 2 Masehi. Aki Tirem mangrupa pangawasa kahiji wewengkon ieu. Pangawasa Salakanagara saterusna nyaeta Dewawarman,imigran sakaligus padagang ti India anu saterusna barobah kaayaan minantu Aki Tirem.[3] Dewawarman ieu pisan anu dimaksud minangka “urang Hindi” ku Pantun Aki Buyut Baju Rambeng. Janten tiasa ditumbukeun yen sateuacan kadatangan Dewawarman sarta rombongannya ka Salakanagara,nu nyicingan Rajatapura atos ngabogaan ageman sorangan,nyaeta ageman Sunda. Dewawarman sorangan bertahta di Salakanagara ti warsih 130-168 M. Sedengkeun dinastinya angger ngawasa dugi ahirna pusat kakawasaan dipindahkeun ka Tarumanagara dina warsih 362 M ku Jayasingawarman,turunan ka-10 Dewawarman.[4] nurutkeun keneh naskah Pustaka Wangsakerta,ageman Sunda dina mangsa Sunda kuna ngabogaan kitab suci anu barobah kaayaan padoman umat na,yaktos Sambawa,Sambada sarta Winasa. Perkawis pangpentingna anu peryogi diinget nyaeta yen katilu kitab suci kasebat anyar ditulis dina mangsa pamarentahan Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu,anu ngawasa di tatar Sunda dina periode 1175-1297 M.[5] Metot kanggo diregepkeun,yen ageman Sunda anu atos tos yuswaan kira-kira 1000 warsih atawa 1 Milenium,anyar ngagaduhan kitab suci ditulis dina mangsa pamarentahan Prabu Sanghyang Wisnu. Nu nulis berasumsi,manawi salila era sateuacan Prabu Sanghyang Wisnu ngawasa,kahirupan ngagem agama di taneuh Sunda tacan mendapat perhatian anu serius ti pangawasa karajaan. Sanggeus mangsa Prabu Sanghyang Wisnu pulalah ageman Sunda barobah kaayaan ageman resmi karajaan.

Sababaraha buktos sajarah eta nembongkeun ayana ageman Sunda awit atawa Sunda Wiwitan minangka hiji ageman anu dianut ku balarea atawa pangawasa Sunda kuna nyaeta fakta tak terbantahkan. Kaliwat bagaimanakah kalungguhan ageman Hindu di era Sunda kuna atawa Sunda Pajajaran? Lainna cikal bakal karajaan Sunda kuna asalna ti jalmi-jalmi India anu notabene ngagem agama Hindu? Kumaha deui beda ngadasar antawis ageman Hindu sarta ageman Sunda Wiwitan?

 

Beda Hindu sarta Sunda Wiwitan

Konsepsi teologis Sunda Wiwitan berbasiskan dina faham Monoteisme atawa percanten bade kitu kaayaanana hiji Pangeran anu dipikawanoh minangka Sanghyang Keresa atawa dawam oge disebut Batara Tunggal. Dina ngajalankeun “tugasnya” mengatur semesta alam,Sanghyang Keresa dibantuan ku para Sang Hyang lianna sepertos Sanghyang Guru Bumi,Sanghyang Basa,Sanghyang Ambu Jati,Sunan Ambu,sarta lianna.

Ageman Sunda Wiwitan oge mikawanoh klasifikasi semesta alam barobah kaayaan tilu haturan,nyaeta Buana Nyungcung (tempat bersemayamnya Sanghyang Keresa),Buana Panca Keur (tempat hirup jalmi sarta mahluk hirupna) sarta Buana Cegah (naraka). sajaba ti eta,dina pituduh Sunda Wiwitan oge dipikawanoh kitu kaayaanana proses kahirupan jalmi anu kedah ngaliwatan salapan mandala di dunya fana sarta alam baka. Kesembilan mandala anu kedah diliwatan jalmi kasebat nyaeta (sacara vertikal): Mandala Kasungka,Mandala Parmana,Mandala Karna,Mandala Rasa,Mandala Seba,Mandala Suda,Jati Mandala,Mandala Samar sarta Mandala Agung.

Lamun urang ngarujuk dina pituduh Hindu,bade kapanggih beda ngadasar kalawan pituduh ageman Sunda utamana ngait konsep teologis. Hindu mangrupa ageman anu ngabogaan karakteristik Politeisme atawa ngayakinan kitu kaayaanana langkung ti hiji Pangeran atawa Dewa. Dina ageman Hindu dipikawanoh seueur dewa , di antarana tilu dewa anu nu mawi utami (Trimurti) nyaeta dewa Wisnu (nu ngajaga),Brahma (panyipta) sarta Siwa (perusak). Henteu dipikawanoh istilah Sanghyang Keresa dina pituduh Hindu.

Beda lianna nyaeta ngeunaan sarana peribadatan ti kadua ageman. Dina era Sunda Pajajaran,ageman Sunda Wiwitan mikawanoh sababaraha tempat suci anu oge dijadikeun sarana peribadatan sepertos Balay Pamunjungan,Babalayan Pamujan sarta Saung Sajen. Ampir sadaya tempat ibadah kasebat ngawangun punden berundak anu diwangun ti kumpulan batu-batu ageung sarta arca.[6] Samentara dina mangsa kejayaan Karajaan-karajaan Hindu-Budha di Jawa Keur sarta Jawa Wetan,sarana peribadatan anu seueur didirikeun malahan candi anu dugi kiwari tiasa keneh urang temui patilasan na. Sumawonten candi oge patali jeung simbol kakawasaan pangawasa nu tangtu.

Sedengkeun budaya keberagamaan balarea Sunda anu ngagem Sunda Wiwitan dina mangsa Sunda kuna benten pisan. Maranehanana henteu ngadegkeun candi kanggo beribadah,kalah memusatkeun kagiatan kaagamaan na dina sababaraha punden berundak anu dipikawanoh minangka kabuyutan. Di punden berundak ieu pisan ritual atawa prosesi kaagamaan has Sunda Wiwitan dipigawe ku balarea Sunda. Sababaraha patilasan tempat ibadah era Pajajaran anu tiasa keneh urang manggihan kiwari nyaeta kabuyutan Sindang Barang (kiwari barobah kaayaan lembur budaya Sindang Barang,Bogor) sarta Mandala Parakan Mandala Parakan Jati di suku Gunung Salak.

Perkawis ieu pisan anu oge tiasa ngawalon patarosan sapalih jalmi ngeunaan “kelangkaan” candi di tatar Sunda. Fakta sajarah nempokeun yen balarea panganut Sunda Wiwitan saleresna henteu merlukeun candi minangka sarana peribadatan,kalah kabuyutan anu kentel keneh talari megalitiknya . Janten saeutikna candi di taneuh Sunda sanes margi “kemiskinan” peradaban Sunda di mangsa kapungkur,kalah kaayaan sosio-religiusnya anu benten kalawan balarea Jawa-Hindu.

Buktos lianna anu oge nembongkeun kelemahan klaim sajarah anu nyambung kalawan ka-Hindu-an karajaan Sunda Pajajaran nyaeta henteu kapanggihna stratifikasi sosial has balarea Hindu atawa kasta dina balarea Sunda Kuna. Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian sarta asal-asal sajarah lianna henteu nembongkeun kitu kaayaanana strata sosial anu didalamnya aya kasta Waisya,brahmana atawa Sudra sakumaha balarea Hindu di Jawa sarta Bali. Disamping eta,henteu kapanggih deui konsep raja nyaeta titisan Pangeran atawa Dewa (God-King) dina sistem pamarentahan Sunda Pajajaran atawa Galuh sakumaha ditepungan dina sistem karajaan Hindu-Budha di Jawa Keur sarta Wetan.

Henteu katutup jigana saleresna,lumangsung akulturasi antawis ageman Sunda Wiwitan kalawan ageman Hindu,ngemut karuhun kulawargi karajaan Sunda kuna sapalih asalna ti India. Nanging akulturasi kasebat henteu lumangsung dina aspek sistem peunteun. Lamun ngarujuk dina konsep kabudayaan nurutkeun Koentjaraningrat,aya tilu rupi budaya dina hiji unsur kabudayaan,nyaeta sistem peunteun,laku-lampah sarta kebendaan (artefak). Akulturasi dina perkawis ieu ngan lumangsung dina aspek kebendaan sarta laku-lampah,itupun henteu sakumna na. Perkawis ieu tiasa katembong ti wasta-wasta raja sarta sababaraha istilah dina ageman Sunda Wiwitan sepertos Batara sarta Resi. Nanging kanggo substansi pituduh,henteu kasampak kitu kaayaanana akulturasi anu menjurus dina sinkretisme.

 

 

Sunda Wiwitan di Mangsa Kiwari

Atos jelaslah kiwari lamun kategorisasi karajaan Sunda Pajajaran ataupun Galuh minangka karajaan Hindu merupakah perkawis anu peryogi dibenerkeun. Buktos-buktos sajarah malahan nembongkeun yen balarea Sunda kuna atos ngagem hiji ageman lokal anu mapan sarta relatif teuneung ti pangaruh teologis Hindu-Budha,nyaeta ageman Sunda Wiwitan.

Dina mangsa kiwari,Sunda Wiwitan dianut keneh ku sapalih etnis Sunda utamana golongan suku Baduy di desa Kanekes,Banten. Jabi eta,panganut Sunda Wiwitan oge aya di Ciparay Bandung (kakoncara kalawan wasta aliran Lalampahan Budi Tanagi),Cigugur Kuningan (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang),sarta lembur adat Cireundeu Cimahi. Sewang-sewang komunitas ngabogaan penjabaran sarta karakteristik pituduh na sorangan nanging angger berbasiskan inti pituduh ageman anu sami,Sunda Wiwitan.

Nanging nasib maranehanana henteu seberuntung panganut ageman lianna di nagari ieu,margi ageman Sunda Wiwitan lain ageman anu sacara resmi diaku di mana ayana ku nagara.[7] Balukarna sagala rupa perlakuan diskriminatif ti aparatur nagara sering maranehanana tampi,hususna anu patali jeung pemenuhan hak-hak sipil maranehanana minangka wargi nagara. Alangkah lucu na nagari ieu,sabot kakawasaan pulitik ngabogaan hak nangtukeun manten anu kaasup kriteria ageman sarta manten anu sanes. Anu tangtos diskriminasi ka panganut Sunda Wiwitan teras keneh langgeng dugi detik ieu. Ulah-ulah,penulisan buku sajarah resmi anu ngasupkeun keneh Pajajaran minangka karajaan Hindu oge bernuansa diskriminatif,anu orientasinya hoyong menghapukeun tapak kabudayaan Sunda Wiwitan dina sajarah? Wallahualam

Asal Artikel: http://www.berdikarionline.com/benarkah-sunda-pajajaran-nyaeta-karajaan-hindu/#ixzz3vb0DZIXt
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Tembang cianjuran kawitna mah salasa hiji seni mamaos. dinagarana tembang sunda cianjuran ti taun 1930-an terus dikukuhkeun taun 1962 dina musyawarah tembang sunda sa-pasundan di bandung. seni mamaos teh minangka seni vokal sunda anu diirig ku alat kacapi indung, kacapi rincik suling jeung rebab.

Sekar

Sekar mangrupa seni sora ti vokal manusa (janaswara).Sekar dibagi jadi dua golongan utama anu jadi dua tihangna seni sora sunda. Sakumna perbendaharaan seni sora kaasup kadina dua golongan ieu. Kadua golongan badag éta téh Sekar tandak sarta Sekar Wirahma merdika. SEKAR minangka seni sora tina vokal manusa (janaswara)

Sekar tandak mangrupa jenis lagu anu ngabogaan wirahma atawa ritme anu tetep (tandak hartina tetep) dina istilah art kulon disebut rhythmical song. Sekar tandak dina istilah popular disebut kawih. Tembang Cianjuran kaasup kadina golongan kulawarga lagu sekar tandak alatan pola kawihna ngabogaan wirahma (Wirahma) atawa ketukan anu tetep. Sekar tandak dawam dibawakan sacara anggana (solo vokal) sarta sacara rampak sekar (vokal grup). Conto penyajian sekar tandak contona dina Tembang Cianjuran, gending karesmen, panambih dina pupuh, sindhenan sarta jenis kakawihan séjénna.

Sekar wirahma merdika nyaéta golongan lagu anu henteu ngabogaan ketukan, berirama leupas tapi aya aturan panjang-pendek nu tangtu anu henteu bisa dituliskeun kalawan sistem titilaras atawa sacara pakem dina karawitan sunda. Penentuan panjang-pendeknya hiji nada ngan bisa diajarkan sacara lisan verbal atawa oral ti saurang guru ka murid. Ieu pisan anu dina dunya seni sora sunda disebut tembang sarta di jawa disebut macapat (Natapradja:2003).

Dina kanyataanana sanajan disebut Tembang Cianjuran tapi lain kaasup kadina jenis sekar wirahma merdika. Tembang Cianjuran mangrupa golongan sekar tandakatau dawam disebut kawih. Penamaan “tembang” saukur sawajarnana jelema sunda nyebutkeun jeniskawih ieu. Jadi, ulah terjebak kalawan penamaan “tembang” dina Tembang Cianjuran.

Historis Tembang Cianjuran

Kasenian Tembang Cianjuran geus aya saprak jaman kolonialisme anu datang ka nusantara. Di tempat kalahiranana Cianjur,sebenarnya ngaran kasenian ieu téh mamaos. Dingaranan tembang Sunda Cianjuran saprak warsih 1930-an sarta dikukuhkan warsih 1962 sabot diayakeun Musyawarah Tembang Sunda sa-pasundan di Bandung. Seni mamaos mangrupa seni vokal Sunda kalawan pakakas musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, sarta atawa rebab. Mamaosterbentuk dina mangsa pamaréntahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati Kusumaningrat dina nyieun lagu mindeng bertempat di hiji wangunan ngaranna Pancaniti. Ku alatan éta pisan manéhna kaceluk kalawan ngaran Kangjeng Pancaniti. Dina mulanya mamaosdinyanyikan ku kaum lalaki. Anyar dina perempat kahiji abad ke-20 mamaos bisa dipelajari ku kaum wanoja. Hal ituterbukti kalawan mecenghulna para juru mamaos wanoja, kawas Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’baruk, Ibu Resna, sarta Nyi Mas Saodah (kurnia:2003)

Bahan mamaos asalna ti sagala rupa seni sora Sunda, kawas pantun, beluk (mamaca), degung, sarta tembang macapat Jawa, nyaéta pupuh. Lagu-lagu mamaos anu dicokot ti vokal seni pantun dingaranan lagu pantun atawa papantunan, atawa disebut ogé lagu Pajajaran, dicokot ti ngaran keraton Sunda dina mangsa lampau. Sedengkeun lagu-lagu anu asalna ti bahan pupuh disebut tembang. Duanana menunjukan ka aturan rumpaka (teks). Sedengkeun téknik vokal duanana ngagunakeun bahan-bahan olahan vokal Sunda. Tapi kitu dina pamustunganana kadua téknik pembuatan rumpaka ieu aya anu digabungkan. Lagu-lagupapantunan ogé loba anu dijieun kalawan aturan pupuh.

Dina mangsa mimiti panyiptaanana, Cianjuran mangrupa revitalisasi ti seni Pantun. Kacapi sarta téknik memainkannya écés kénéh ti seni Pantun. Kitu ogé lagu-lagunya ampir kabéhanana ti sajian seni Pantun. Rumpaka kawihna ogé nyokot ti carita Pantun Mundinglaya Dikusumah.

Dina mangsa pamaréntahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864-1910) kasenian mamaosmulai menyebar ka wewengkon séjén. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) nyaéta di antara tokohmamaos anu berperan dina sumebarna ieu. Manéhna mindeng diondang pikeun ngajarkeun mamaoske kabupatén-kabupatén di Parahiangan, di antarana ku bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) sarta RAA. Wiranatakoesoemah (1920-1921 & 1935-1942). Sabot mamaosmenyebar ka wewengkon séjén sarta lagu-lagu anu ngagunakeun pola pupuh geus loba, mangka masarakat di luar Cianjur (sarta sawatara perkumpulan di Cianjur) nyebutkeun mamaos kalawan ngaran tembang Sunda atawa Cianjuran, alatan kasenian ieu has sarta asalna ti Cianjur. Kitu ogé sabot radio NIROM Bandung warsih 1930-an menyiarkan kasenian ieu nyebutkeun manéhna jeung Tembang Cianjuran (kurnia:2003).

Pamaén kasenian anu disebut minangka Tembang Cianjuran diwangun luhur: saurang pamaén kacapi indung anu pancénna nyaéta mikeun pasieup, narangtang, pangkat lagu, sarta memngiri lagu boh mamaos mamupun panambih; hiji boh dua urang pamaén kacapi rincik anu ngabogaan tugas nyieun hiasan dina iringan kacapi indung sabot penembang membawakan panambih; samentara anu hijina deui ngabogaan tugas minangka anggeran wilatan (mikeun watesan-watesan ketukan); saurang pamaén suling anu ngabogaan tugas nyieun hiasan-hiasan lagu di antara-antara kekosongan sekaran (vokal) sarta mikeun lelemah soré (dasar nada); sarta penembang anu membawakan sagala rupa jenis lagu mamaos cianjuran. Minangka catetan, lagu panambih ngan dilantunkan ku penembang wanoja. Sedengkeun busana anu dikenakan ku pamaén lalaki nyaéta baju taqwa, sinjang (dodot), kalawan benggol minangka aksesorisnya. Sedengkeun, pakéan anu dikenakan ku para pamaén wanojana nyaéta: kabaya, sinjang, sarta karémbong (Galba:2007).

Fungsi kasenian anu disebut minangka Tembang Cianjuran nyaéta minangka hiburan. Sedengkeun, peunteun anu kaeusi di jerona henteu ngan saukur estetika sapanon, tapi ogé gawé babarengan sarta kreativitas. Peunteun gawé babarengan tercermin dina hiji pementasan. Dina hal ieu lamun penembang lalaki beristirahat, mangka penembang awéwé tampil ngeusian manéhna. Ku kituna, kaayaan henteu vakum tapi sinambungan. Peunteun kreativitas henteu ngan tercermin ti keterampilan para pamaénna dina sisindiran, tapi ogé dina pengadopsian jenis-jenis kasenian séjén (degung) tanpa ngaleungitkeun rohnya (jatidiri kasenian mamaos cianjuran).

Tapi dewasa ieu kehebatan sarta keindahan ti seni Tembang Cianjuran geus mimiti melemah tergerus arus globalisasi. Hal éta tercermin ti kurangna nara asal, tingkat apresiasi masarakat anu beuki kurang sarta horéamna generasi ngora pikeun mempelajarinya alatan dianggap minangka kuna atawa kampungan. Maranéhanana leuwih mikaresep jenis-jenis kasenian kontemporer.

PEUNTEUN-PEUNTEUN DINA RUMPAKA TEMBANG CIANJURAN

Nasihat sarta Doa

Rumpaka dina istilah Indonésia mangrupa teks ti lagu, atawa syair-syair dina lagu. Dina rumpaka Tembang Cianjuran beuneur peunteun-peunteun kawas nasihat sarta doa. Nasihat sarta doa inidilihat ti sudut komunikasi ngabogaan kemiripan yakniadanya tujuan pengungkapan anu ditepikeun dina pendengar. Nasihat nyaéta harapansupaya eusi talatah rumpaka nepi ka ka pencengar sarta doa, harepan anu dipohonkan ka  

Pangéran.

Rumpakadigubah ku saurang penggubah, saterusna ditembangkan ku sejumlahpenembang/ juru mamaos/juru tembang. Dina hal ieu juru tembang sapuk kalawan eusi rumpakakemudian hayang nepikeun manéhna balik ka pendengar, kaasup ogé rumpaka anu beuneur doa.

Penembang umumna milih ogé eusi kandungan ti rumpaka. Lamun nasihat ditempo ti sagi silih menasihati antar-manusia sarta permohonan doa ditepikeun ka Pangéran, duanana aya dina wewengkon religius. Nasihat mangrupa Hablum Minanas sarta Doa mangrupa Hablum Minallah. Amanat anu ditepikeun ngaliwatan lantunan tembang karasaeun leuwih hidmat boh dirasakeun ku penembang boh didéngé ku

Ditempo ti sagi historis, unsur nasihat sarta doa anu aya dina wewengkon religius ieu ngabogaan kalungguhan penting dina Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis mimiti Tembang Cianjuran nyaéta Dalem Pancaniti, saurang taat ngagem agama, komo aya anu nganggap ”Alima al-alamah (ajengan pandai), ngahontal Waliyullah ((Su’eb, 1997: 36). Pernyataan kasebut saluyu kalawan katerangan anu ditepikeun ku Dadan Sukandar yén saméméh warsih enampuluhan Tembang Cianjuran mengusung ngeunaan hal keteladanan. Bukti-bukti éta tersirat ogé dina hiji dina pupuh Sinom Liwung anu ditarima ku R. Bakang Abu bakar ti guruna dina warsih 1949 minangka katut:

Sinom pamekaring rasa

Rasa Suci kang diwincik

racikan ungkara basa

basa pamekaring budi

budi daya nastiti

nutur galuring luluhur

babaran kaelingan

digending dirakit dangding

komaraning daya sastra Kasundaan

(Ischak, 1988: 63)

Kira-kira rumpaka ieu geus aya laér saméméh warsih 1949. Dina pupuh ieu aya tanda anu kuat nyaéta Rasa Suci, Rasa Suci ngarujuk ka Inti Kedirian manusa anu dianugrahkan Pangéran nyaéta Nurullah atawa disebut ogé Awak Rohani (Tempo dina Wawacan Jaka Ula Jaka Uli). Kecap kadua nyaéta babaran kaelingan ’pembahasan ngeunaan keimanan’. Pengertian eling ’iman’ dina naskah-naskah ajaran Teosofi Tasawuf nyaéta Manunggaling kaula-gusti. Menghadirkan Alloh di jero Awak Rohani’ Pupuh ieu berceritera ngeunaan ajaran keimanan anu menuntun manusa ka arah kabagjaan lahir sarta batin. Tapi lamun disambungkeun kalawan judul lagu nyaéta Liwung, henteu luyu. Ku kituna kira-kira aya lagu pamaké rumpaka ieu luyu eusi. Ditempo ti rumpaka di luhur, jelaslah kakuatan ti kesusastraan Sunda dina hiji mangsa, ditempo ti sagi bobot eusina (kalsum:2007) rumpaka-rumpaka séjén Tembang Cianjuran anu dicokot ti rumpaka pupuh anu beuneur nasihat sarta mengarah dina kebajikan antara séjén:

 

Pucung Degung

Lamun urang boga maksud kudu junun

kahayang jeung prakna

mun sakadar dina hate

eta mubah moal rek aya buktina. (Sobirin, 1987: 46)

Naratas jalan

Geura bral geura mariang

geura prak naratas jalan

teangan kasugemaan

enggoning keur kumelendang

kumelendang séwang yakin

dibarengan kaimanan

yakin kana pamadegan

tangtungan wanda sorangan

tapi poma 2x séjén laku kaangkuhan.

Kaangkuhan anu mawa

kana jalan kaambrukan

hirup téh séjén sorangan

loba pisan nu marengan

keur urang silih tulungan

séjén eukeur pacengkadan

nu taya hartina pisan

nimbulkeun pondok harepan

ilang uteuk keur ngudag-udagan urang

(Sobirin, 1987: 85)

Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kadua pada mangrupa kahijian anu ngarojong dina judul Naratas Jalan ’Muka Jalan’. Lamun dikaitkeun kalawan pamakéan pupuh,”muka jalan” dina konteks ieu, ngabogaan harti nyieun pijakan hirup dina néangan kabagjaan pikeun diteladani ku jalma-jalma saterusna. TeksNaratas Jalan ditempo ti sudut harti minangka hiji runtuyan informasi, ngeunaan ngajalanan kahirupan.Rumpaka ieu mengemukakan yén hirup kalawan sasama pikeun silih tolong-menolongbukan pikeun berselisih. Teks hipogram dina pupuh Pucung kawas katut: Utamana jalmakudu rea batur, keur silih tulungan, silih asih silih bere, budi uteuk lantaran ti dina jalma. ’Anu pangutamana jelema kudu ngabogaan kawan loba, pikeun silih nulungan, silih mikeun, budi sarta uteuk ngaliwatan sasama manusa.’(Kalsum:2007).

Rumpaka-rumpaka diluhur mangrupa sawaréh leutik conto ti Tembang Cianjuran anu sok ngabogaan intisari kebajiakan, nasihat, doa, sarta ngajak manusa pikeun ngahontal kemuliaan. Sajaba diluhur aya ogé cirebonan ‘bermakna manusa kudu tapis dina ngalakonan kebaikan’, ceurik abdi’nyaritakeun yén di dunya kabéh hal sok berpasangan’, sinom bungur’ngingetkeun dina manusa dina berkehidupan henteu bisa sewenang-wenang sarta egois’,pangrawit’ dina berkehidupan manusa kudu weruh mana anu bener sarta anu salah sarta sok ngajaga diri’ sarta masih loba rumpaka pupuh séjénna.

Geus bisa dipastikeun yén Tembang Cianjuran pohara mengarah sarta ngajarkeun manusa minangka mahkluk anu bermoral. Membimbing ka kebaikan, silih mendoakan antar sasama, ngajaga kelestarian alam, sarta permohonan ka sang panyipta. Hal ieu tinangtu arang sakali kapanggih dina teks lagu populer jaman ayeuna. Teks dina gubahan lagu populer lolobana nyaritakeun ngeunaan realita percintaan anak rumaja, pegat asih, perselingkuhan, pengorbanan asih, pacaran, sarta sagala hiji hal anu pohara deukeut kalawan kahirupan rumaja jaman ayeuna.

Pintonan

Sabenerna yayaya istilah mamaos ngan némbongkeun dina lagu-lagu anu berpolakan pupuh(tembang), alatan istilah mamaos mangrupa penghalusan ti kecap mamaca, nyaéta seni maca buku carita wawacan ku cara dinyanyikan. Buku wawacan anu ngagunakeun aturan pupuh ieu aya anu dilagukan kalawan téknik nyanyian rancag sarta téknik beluk. Lagu-lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, sarta mandalungan. Dumasar bahan asal sarta sipat kawihna mamaos dikelompokkan dina sawatara wanda, nyaéta: papantunan, jejemplangan,dedegungan, sarta rarancagan. Ayeuna ditambahkeun ogé jenis kakawen sarta panambih minangka wanda pangsoranganna. Lagu-lagu mamaos ti jenis tembang loba ngagunakeun pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, sarta Dangdanggula, sarta aya di antarana lagu ti pupuh séjénna.

Lagu-lagu dina wanda papantunan di antarana Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup,Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan, Rajah, Pinggel Gading, Candrawulan, dsb. Samentara dina wanda jejemplangan di antarana diwangun darijemplang Panganten, Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, dsb.

Wanda dedegungan di antarana Sinom Degung, Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung sarta sajabana. Wanda rarancagan di antarana; Manangis, Bayubud, Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria, Kulu-kulu Kulon, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan, Porbalinggo, Erang Barong sarta sajabana. Wanda kakawen di antarana: Sebrakan Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kai Agung, sarta sajabana. Wanda panambih di antarana: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede, Panyileukan, Selabintana, Soropongan, dsb.

Dina kawitna  mamaos boga fungsi minangka musik hiburan pakakas silaturahmi di antara kaum menak. Tapi mamaos ayeuna, di gigireun /sabeulah masih kawas fungsi mimitina, ogé geus jadi seni hiburan anu boga sipat profit ku para senimannya kawas kasenian.

Mamaos ayeuna mindeng dipaké dina hiburan hajatan perkawinan, khitanan, sarta sagala rupa kaperluan hiburan atawa acara adat.

sumber :

Diropea tina sumber aslina : http://uheababil.blogspot.com/2013/12/sejarah-tembang-sunda-cianjuran.html#ixzz2tBE0l5Eq

 

Oleh : Sutamat Arybowo*

Pada suatu hari di rumah elite desa sedang berduka karena putra tertuanya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal dunia. Warga desa kumpul melayat dan mempersiapkan upacara pemakaman jenazah. Beberapa warga desa hilir-mudik dan sebagian duduk berjejer di tempat yang sudah disediakan di halaman rumah.
Dalam keadaan mulai sunyi, di tengah kerumunan jenazah, datanglah seorang laki-laki tua, usianya lebih kurang 75 tahun, mengenakan baju kurung lengan panjang warna hitam, dengan celana selutut berwarna hitam pula. Sarungnya diselempangkan di bahu sebelah kiri dan capingnya yang terbuat dari daun lontar dibuka lalu ditempelkan di dada kiri, dan di atas kepala mengenakan udeng (ikat kepala) motif batik warna hitam kecoklatan.Dengan percaya diri ia masuk ke rumah menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, ia seolah tak kenal siapa pun para tamu yang duduk di situ.Setelah tiba di depan jenazah, ia membuka tutup bagian atas sembari menatap wajahnya. Lalu ia mengatakan, “Sedulur, asalmu ora ono/Terus dadi ono/Saiki ora ono maneh/Yo wis, tak dongak-ke slamet.” (Saudara, asalmu tidak ada/Lalu menjadi ada/Sekarang tidak ada lagi/Ya sudah, saya doa kan selamat.)Kemudian tutup jenazah dikembalikan seperti semula, lalu ia mundur pelan-pelan sampai ke pintu rumah dengan membalikkan arah dan menuju ke halaman rumah. Setelah itu ia ikut duduk bersama-sama tamu yang lain. Ia memilih duduk di pinggir dekat pintu masuk menuju rumah sehingga beberapa warga banyak yang kenal. Pada saat ketemu orang lain yang menyapanya, ia selalu mengatakan sedulur, yang maknanya sama-sama saudara.
Perilaku kultural seperti itu dikategorikan sebagai orang apa? Bagaimana ia menghayati hubungan individu dirinya dengan sesama, dengan alam semesta, dan dengan Sang Pencipta?
Sudah banyak tulisan tentang masyarakat Samin, bahkan ada yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dari zaman kolonial Belanda hingga saat ini. Beberapa informasi mengatakan bahwa Saminisme sebagai sebuah sejarah perlawanan terhadap kekuasaan telah diubah menjadi deskripsi kebudayaan.
Jujur dan pemurah
Sejak dikenal umum dari zaman kolonial Belanda, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu.
Orang Samin memiliki rasa religi yang kuat sehingga sering kali membuat para pendatang (tamu) merasa risi dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap para tamu. Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan berapa harganya.
Masyarakat Samin memiliki jiwa yang polos dan terbuka. Mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi dan bercampur bahasa Jawa ngoko dan sering kedengaran kasar.
Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin, orang Samin selalu beranjak pada eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu Ono niro mergo ningsun, ono ningsun mergo niro. (Adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya.)Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri).
Semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik, begitulah ringkasnya. Bagi orang lain yang tidak memahami eksistensi orang Samin, mereka bisa jadi menyebutnya sebagai Wong Sikep, yang artinya orang yang selalu waspada. Atau disebut juga Wong Kalang karena orang lain akan menganggap ketidakrasionalan pikiran, keeksentrikan perilaku, dan ketidaknormalan bahasa. Tetapi, bagi sesama orang Samin selalu menyebut kepada orang lain Sedulur Tuwo.
Ini pun tampak di dalam ia merenung dan berdoa kepada “Adam”, selalu minta keselamatan untuk dirinya, sesama makhluk alam semesta, dan juga Sang Pencipta sendiri. Ungkapan Sedulur Tuwo tak pernah ditinggalkan.Doa orang Samin juga selalu berhubungan dengan keadaan ekologi dan ekosistem di mana mereka berdomisili. Orang Samin yang tinggal di daerah Desa Klopo Duwur, Kecamatan Randu Blatung, Kabupaten Blora, misalnya, menunjukkan secara siklus hubungan antarmanusia sebagai pribadi, antarsesama manusia, antara manusia dan alam lingkungan.Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat dijumpai dalam ucapannya, seperti: Banyu podo ngombe/Lemah podo duwe/Godong podo gawe. (Air sama-sama diminum/Tanah sama-sama punya/Daun sama-sama memanfaatkan.)
Ucapan itu oleh pengikut Samin ditafsirkan secara bijak, maksudnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dijaga. Tidak berarti sama rasa, sama rata, seperti tuduhan orang lain di luar komunitas Samin.Dalam praktiknya, mereka justru ikut menjaga pelestarian kayu jati di daerah Blora. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan masak-memasak. Hal itu sudah berjalan sejak leluhur mereka masa lalu dan mereka tidak mau merusak hutan. Berdasarkan pandangan seperti itu, tampaknya orang lain sering kali menerjemahkan kata “Samin” sama dengan Sami-sami Amin.
Sejak masa kolonial
Pada mulanya ajaran orang Samin ini berasal dari seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tidak mau ikut kerja paksa.
Seperti tokoh perintis kemerdekaan Indonesia yang lain, ia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat tahun 1914. Namun, ajarannya masih dianut oleh pengikutnya hingga sekarang di beberapa daerah yang disebutkan di atas.Beberapa catatan kolonial Belanda menyebut bahwa Kiai Samin Surosentiko dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, selalu melawan pemerintah. Oleh karena itu, ajarannya tidak boleh disebarluaskan dan oleh mainstream
agama pada saat itu dianggap sesat, lalu mau tidak mau ia harus diasingkan dari pengikutnya.
Dalam kaitannya dengan deskripsi singkat ini, maka nilai tradisi yang dapat dipetik adalah bagaimana strategi ajaran orang Samin dalam mengimplementasikan kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka antikekerasan, jujur, terbuka, dan tidak mau menyakiti orang lain.
Orang Samin mengejawantahkan kehidupan dengan solidaritas sosial. Juga pada zaman Orde Baru, ketika mereka menggunakan kiat atau strategi ngumumi; tidak melawan pemerintah, tetapi mengkritisi secara pasif.Mereka memang tidak mau ikut program KB karena sudah punya cara sendiri. Mereka juga tidak ikut program Bimas-Inmas dan tidak mau terima kredit dari BRI supaya tidak ngemplang. Orang Samin bikin pupuk sendiri, bikin irigasi sendiri.
Pendeknya, dalam hidup, mereka tidak bergantung kepada teknologi maju. Orang Samin benar-benar sebuah contoh kasus komunitas yang benar-benar memiliki kemandirian. Oleh karena itu, masyarakat Samin tidak mengenal krisis ekonomi dan moneter.
*Peneliti LIPI dan Anggota Asosiasi Tradisi Lisan
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/10/humaniora/3522042.htm

Pancakaki merupakan suatu sitem yang menggambarkan silsilah keluarga. Dalam pemahaman orang Sunda, pancakaki mengandung dua makna. Pertama, hubungan seseorang dengan orang lain yang sekeluarga atau yang masih bersaudara. Makna kedua merupakan makna tambahan dengan menelusuri hubungan kekerabatan.

  • Ka handap:
  1. anak: turunan kahiji(turunan pertama)
  2. incu: turunan kadua, anak ti anak (cucu, turunan kedua, anak dari anak)
  3. buyut: turunan katilu, anak ti incu (cicit, turunan ketiga, anak dari cucu)
  4. bao: turunan kaopat, anak ti buyut (turunan keempat, anak dari buyut)
  • Ka luhur:
  1. bapa: ayah
  2. indung: ibu
  3. aki: kakek, ayah dari ayah/ibu
  4. nini: nenek, ibu dari ayah/ibu
  5. uyut: ayah/ibu dari kakek/nenek
  6. bao: ayah/ibu daru uyut
  7. janggawaréng: ayah/ibu dari bao
  8. udeg-udeg: ayah/ibu dari janggawaréng
  9. kakait siwur: ayah/ibu dari udeg-udeg
  10. karuhun: silsilah ke atas yang sudah meninggal
  11. sesepuh: silsilah ke atas yang masih hidup
  • Ka gigir:
  1. lanceuk: abang/kakak, saudara laki-laki/perempuan yang lebih tua
  2. adi: adik, saudara laki-laki/perempuan yang lebih muda
  3. uwa: saudara laki-laki/perempuan yang lebih tua (abang/kakak) dari ayah/ibu
  4. paman/emang: saudara laki-laki yang lebih muda (adik) dari ayah/ibu
  5. bibi: adina bapa/indung (awéwé)
  6. alo: keponakan, anak dari abang/kakak
  7. suan: keponakan, anak dari adik
  8. aki ti gigir: kakek, saudara kandung laki-laki (abang/adik) dari kakek/nenek
  9. nini ti gigir: nenek, saudara kandung perempuan (kakak/adik) dari kakek/nenek
  10. kapilanceuk: sepupu, anak abang/kakak dari ayah/ibu
  11. kapiadi: sepupu, anak adik dari ayah/ibu
  12. incu ti gigir: incuna adi
  13. emang ti gigir: anakna adi aki/nini (lalaki)
  14. bibi ti gigir: anakna adi aki/nini (awéwé)
  • Perkawinan:
  1. salaki: suami
  2. pamajikan: istri
  3. mitoha: mertua
  4. minantu: menantu
  5. lanceuk beuteung: abang/kakak ipar, abang/kakak kandung dari suami/istri
  6. adi beuteung: adik ipar, adik kandung dari suami/istri
  • Anak:
  1. tunggal: anak tunggal
  2. cikal: anak sulung, anak yang lahir pertama
  3. panengah: anak tengah, anak yang lahir tengah-tengah (biasanya untuk jumlah anak ganjil)
  4. pangais bungsi: abang/kakak dari anak bungsu, urutan kedua dari bawah
  5. bungsu: anak bungsu, anak yang lahir terakhir
  • Istilah Séjén:
  1. lanceuk sabrayna: abang/kakak sepupu yang masih satu turunan dari kakek/nenek
  2. adi sabrayna: adik sepupu yang masih satu turunan dari kakek/nenek
  3. dulur pet ku hinis: saudara kandung, saudara satu ibu dan satu bapak
  4. dulur sabaraya:dulur pisan, anakna emang/bibi jeung ua
  5. dulur teges: dulur enya saindung sabapa
  6. indung téré: pamajikan Bapa lain anu ngalahirkeun urang
  7. bapa téré: salaki indung lain anu ngalantarankeun urang lahir
  8. anak téré : anak sampakan ti lalaki/pamajikan
  9. dulur patétéréan: anak indung/bapa téré
  10. baraya laér: baraya anu nurutkeun pancakaki geus jauh
  11. teu hir teu walahir: teu baraya saeutik-eutik acan
  12. bau-bau sinduk: baraya kénéh sanajan geus laér
  13. baraya: sakur anu aya pancakakina
  14. bésan: indung/bapana minantu
  15. dahuan: salaki atawa pamajikanna lanceuk

Semoga bermanfaat

Sumber : http://herdissuryatna.wordpress.com/

Adat istiadat perkawinan suatu daerah, selain memuat aturan- aturan dengan siapa seseorang boleh melakukan perkawinan, berisi tata cara dan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh pasang,an pengantin dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya se¬hingga peikawinan ini mendapat pengabsahan di masyarakat, tata cara, rangkaian adat istiadat perkawinan itu terangkai dalam suatu rentetan kegiatan upacara perkawinan.
Upacara itu sendiri diartikan sebagai tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia. Oleh sebab itu dalam setiap upacara perkawinan, kedua mempelai ditampilkan secara istimewa, dilengkapi dengan tatarias wajah, tatarias sanggul, serta tatarias busana yang lengkap dengan berbagai adapt istiadat sebelum perkawinan da sesudahnya.

Berikut ini akan diuraikan gambaran adat istiadat dan upacara perkawinan pada masyarakat Betawi.

Tujuan Perkawinan
Pada masyarakat dan budaya Betawi, beranggapan bahwa per¬kawinan mempunyai tujuan mulia yang wajib dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang sudah dewasa dan memenuhi syarat untuk itu. Orang Betawi yang mayoritasnya memeluk agama Islam, yakin bahwa perkawinan adalah salah satu sunnah (petun¬juk lewat perbuatan dan perkataan) Nabi Muhammad SAW bagi umatnya, sehingga dapat dipandang sebagai suatu perintah agama untuk melengkapi norma-norma kehidupan manusia sebagai mahluk sosial dan ciptaan Tuhan yang mulia.

Alasan keagamaan yang mereka kemukakan di atas, menye¬babkan orang Betawi beranggapan bahwa proses perkawinan harus dilakukan sebaik mungkin menurut ketentuan-ketentuan adat perkawinan yang sudah dilembagakan. Ketentuan-ketentuan adat perkawinan tersebut diberi nilai tradisi yang disakralkan, sehingga harus dipenuhi dengan sepenuh hati oleh warga masyarakat dari generasi ke generasi.

Ketentuan-ketentuan adat setempat memang masih cukup kuat pengaruhnya terhadap pola-pola kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga pergaulan muda-mudi pun berorientasi kepada norma-norma adat dan agama. Karena itu tidak heran kalau peranan orang tua masih cukup besar dalam menentukan pemilihan jodoh dan perkawinan bagi anak-anak mereka.

Di bawah ini akan digambarkan secara ringkas bagaimana nilai-nilai budaya diaktifkan dalam berbagai gejala kehidupan sosial budaya masyarakat Betawi, terutama dalam masalah perkawinan dan hubungan kawin.

Perkenalan
Perkenalan adalah suatu saat di mana kedua remaja itu saling tertarik satu dengan yang lainnya. Begitu seorang anak tumbuh menjadi seorang pemuda atau gadis remaja, orang tua mereka su¬dah bersiap-siap mencarikan jodoh yang sesuai dengan kedudukan dan martabat keluarga mereka. Dahulu, perkenalan biasanya melalui perantaraan seorang kerabat atau yang dituakan; pada masa sekarang perkenalan dengan usaha sendiri hanyak dilakukan. Setiap muda mudi boleh dikatakan mencari jodohnya sendiri, orang tua hanya memberi putusan terakhir atas pilihan teman hidup anak-anak mereka.

Jika ternyata kedua remaja itu memang sudah saling men¬cintai, maka dapat dilanjutkan dengan acara pertunangan. Sebelum proses menuju pertunangan, kedua remaja segera memberitahukan kepada orang tua mereka masing-masing. Masa perkenalan sampai saat-saat sebelum pertunangan atau perkawinan dikenal dengan istilah “masa besukaan” atau “masa demenan”.. Ada juga yang menyebut dengan istilah, “ngelancong”. Cara ngelancong yang baik adalah membawakan sekedar buah tangan, teman minum kopi untuk orang tua si gadis.

Persetujuan kedua belah pihak si gadis dan si pemuda secara resmi diikrarkan dalam sebuah ikatan pertunangan. Pertunangan secara resmi ditandai dengan pemberian sesuatu (bisa dalam ben¬tuk uang atau barang), sebagai pengikat dan bukti kesungguhan kedua belah pihak. Upacara pertunangan ini hanya dihadiri oleh kedua belah pihak, beberapa wakil dan keluarga, satu atau dua tokoh informal dalam masyarakat.

Ikatan pertunangan ini, biasa ditandai dengan memakai cincin di jari manis sebelah kiri kedua belah pihak si gadis dan si pemu¬da. Semenjak itu, maka si gadis dan si pemuda tidak diijinkan lagi menjalin hubungan dengan pemuda/gadis lain. Jika si gadis akan bepergian ke tempat lain, maka ia harus meminta persetujuan dari pemuda tunangannya, begitu pula sebaliknya.

Peranan orang tua kedua belah pihak menjadi penting sekali dalam menjaga masa pertunangan yang dianggap kritis ini. Keselamatan mereka harus tetap dijaga sebaik mungkin sampai selamat ke gerbang perkawinan. Soal waktu pertunangan sampai saat per¬kawinan tidak tentu, adakalanya enam bulan atau lebih singkat biasanya tidak lebih dan dua tahun.

Syarat- Syarat Perkawinan
Perkawinan sebagai salah satu pranata sosial meliputi sejum¬lah norma yang mengatur perkawinan itu, termasuk syarat-syarat untuk kawin menurut adat. Yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan menurut adat, adalah usaha-usaha tertentu yang harus diPenuhi oleh kedua helah pihak, agar ikatan perkawinan sah dan diakui masyarakat_ Selama syarat-syarat ini belum dipenuhi, per¬kawinan Itu dianggap tidak sah dan tidak diakui oleh masyarakat. Jadi, betapapun berat syarat-syaratnya, kedua belah pihak akan tetap memenuhinya sebagaimana yang akan diadatkan.

Umur Perkawinan
Pada setiap perkawinan secara adat, umur calon pengantin ti¬dak menjadi syarat perkawinan yang harus dipenuhi. Adat perka¬winan tidak menetapkan ketentuan umur berapa sebaiknya sese¬orang dapat melangsungkan perkawinan. Dalam menentukan umur, seorang wanita sudah boleh menikah jika si gadis telah mendapat haid. walaupun tingkah lakunya masih kanak-kanakan. Demikian juga bagi seorang laki-laki, apabila perkembangan fisiknya telah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia adalah seorang laki-laki dewasa atau perjaka, maka pemuda tersebut telah dianggap matang dan siap untuk kawin. Jadi, pada masyarakat Betawi, perkawinan dalam usia demikian itu dianggap wajar dan baik.

Pada masa sekarang, anggapan-anggapan tentang umur perka¬winan seperti yang telah dijelaskan di atas, umur perkawinan yang demikian dianggap sebagai perkawinan muda dan dianggap kurang baik. Dan beberapa keterangan yang diperoleh menyatakan bahwa perkawinan yang diharapkan pada seorang anak perempuan adalah antara 17-20 tahun, dan untuk laki-laki sebaiknya berumur antara 22-25 tahun,. Umur demikian dianggap sudah matang dan siap untuk berumah tangga.

Mas kawin dan Serahan
Penyerahan mas kawin, biasa dilakukan sebelum upacara akad nikah dilaksanakan, dibawa oleh pihak laki-laki, biasanya berupa uang tunai, perhiasan emas, atau seperangkat alat sembahyang dengan kitab suci Al Quran, disimpan di atas sebuah nampan.

Acara serahan, biasa dilaksanakan beberapa hari sebelum pesta perkawinan, yaitu mengatur sejumlah harta benda, diserahkan oleh pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada pihak keluarga calon mempelai perempuan yang biasanya berupa perhiasan, uang, dan peralatan rumah tangga seperti: tempat tidur, lemari, peralat¬an dapur, dan sebagainya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya. Jumlah mas kawin dan serahan ti¬dak ditentukan jumlahnya, tetapi semakin besar jumlah mas ka¬winnya, derajat pihak keluarga calon mempelai laki-laki pun makin tinggi.

Ngelamar
Gadis Betawi yang sederhana biasanya akan menikah pada usia sekitar 16-17 tahun. Sedangkan pemuda Betawi pada usia sekitar 22-24 tahun. Ikatan batin antara sepasang muda-mudi yang telah erat terjalin dalam proses “demenan” atau “ngelancong”, akan berlanjut, di mana sang pemuda memberitahukan kepada pihak orang tuanya agar pergi melamar gadis idamannya. Jadi, lamaran atau pinangan pada masyarakat Betawi dilakukan oleh pihak laki¬-laki kepada pihak perempuan.

Pelaksanaan peminangan ini dilakukan berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Biasanya dilakukan pada siang hari. Pihak keluarga wanita biasa menyiapkan jamuan makan dan minum un¬tuk menyambut kadatangan keluarga yang akan bermaksud mela¬mar anak gadisnya.

Memastikan seorang gadis sebagai calon mempelai ditandai de¬ngan upacara “nentuin”, yaitu orang tua calon mempelai laki-¬laki bersama teman-teman dan keluarganya yang berjumlah 10 hingga 15 orang, datang ke tempat orang tua calon mempelai wanita. Mereka datang membawa makanan seperti gula, kopi, dodol, uli, wajik, pisang nanas, dan lain-lain. Pada saat itu, orang tua pihak calon mempelai laki-laki sudah memastikan calon gadis yang akan dilamar.

Acara dilanjutkan dengan acara “adat melamar” yang disertai acara “nyerahi duit”. Sebelumnya pihak calon mempelai laki-laki sudah harus mengetahui apakah pihak tuan rumah akan bicara sendiri atau diwakilkan kepada seorang wakil dalam upacara lamaran ini. Hal ini perlu diketahui sebelumnya, karena bila pihak calon mempelai wanita menggunakan wakil, maka pihak pria akan menggunakan wakil pula. Dengan atau tanpa wakil uang yang di¬berikan oleh pihak laki-laki akan diterima oleh calon mempelai wanita.

Pada kesempatan ini dijelaskan kalau terjadi perceraian, sementara kesalahan ada di pihak wanita, maka ia harus mengembalikan jumlah uang tersebut sebanyak dua kali lipat. Sedangkan bila ke¬salahan ada pada pihak laki-laki, ia hanya menerima salah saja.

Dalam acara ini juga dilaksanakan acara ”kudangan”, yaitu orang tua si gadis yang ditujukan bagi anak gadisnya. Permintaan ini biasanya menyangkut suatu keinginan anak gadis, misalnya keinginan untuk memakai perhiasan. Dalam hal ini ayah si gadis biasanya akan berkata,

“Nanti kalo udah besar, baek bicara lu, ada jodoh lu, gue kudangin kalung emas”.

Berat ringannya kudangan selalu dipenuhi dan merupakan tang¬gungan laki-laki, dan pihak laki-laki akan berusaha keras untuk memenuhi kudangan tersebut. Kudangan harus dipenuhi, karena sebenarnya kudangan adalah keinginan istri yang akan mengan¬dung dan melahirkan anak.. Dengan demikian, sudah seharusnya kalau kudangan ini dipenuhi.

Setelah tanda lamaran diterima, tahap ini biasanya ditandai dengan saling mengantarkan makanan oleh kedua belah pihak.

Pelaksanaan Upacara Perkawinan Upacara Serahan
Upacara Serahan biasa dilaksanakan di rumah kediaman pihak mempelai wanita. Waktunya ditentukan pada waktu acara mela¬mar. Acara serahan dilaksanakan sehari sebelum hari perkawinan, waktunya pagi hari, kadangkala dilaksanakan juga sore hari. Pada acara serahan ini, pihak mempelai laki-laki datang membawa barang-barang tertentu dan sejumlah uang, istilahnya “bantu hajatan”.

Pada acara serahan ini, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita mengundang para kerabatnya. Pihak wanita yang mene¬rima serahan tersebut terdiri dari kedua orang tuanya, nenek atau kakeknya dan kerabat dekat lainnya. Barang serahan terdiri dari : uang (tidak ditentukan jumlahnya, tergantung pada kemampuan), peralatan rumah tangga, tempat tidur, lemari, peralatan dapur, dan juga beberapa macam kue-kue yang dihias dan diletakkan di atas nampan.

Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon mempelai laki-¬laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat melihatnya dan mengetahui barang-barang apa saja yang dibawa¬nya, semakin banyak barang bawaannya, maka pihak calon mem¬pelai laki-laki akan semakin meningkat pula deraiatnya di mata masyarakatnya.

Dalam kesempatan ini secara tidak resmi juga pihak mempelai laki-laki membantu siempunya hajat dengan mengantar bahan-bahan yang diperlukan untuk kepentingan pesta, seperti misalnya: beras, ayam, daging, sayuran, bumbu, dan lain-lain.

Sementara itu pihak mempelai wanita mengurus pelaksanaannya. Kerabat mempelai wanita datang untuk membantu memasak, bahkan mereka yang tinggal jauh di tempat lain, dalam kesempatan seperti ini biasanya akan datang dan menginap untuk memBantu.

Kedatangan rombongan pihak mempelai laki-laki pada acara serahan ini disambut dengan ramah tamah oleh pihak keluarga mempelai wanita. Setelah barang-barang bawaan diserahkan, dilanjutkan dengan acara pengajian oleh sekelompok ibu-ibu pengajian yang terdiri dari 10 sampai 15 orang. Setelah selesai acara ini, tamu-tamu disuguhi makanan dan kue-kue. Tamu dari pihak laki-laki kembali ke rumah masing-masing, dan bersiap¬siap untuk keesokan harinya guna menghadiri upacara akad nikah.

Pesta Perkawinan
Pesta perkawinan dilaksanakan setelah selesai upacara “akad nikah”. Upacara akad nikah ini biasanya dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Waktu pelaksanaan akad nikah biasanya diten¬tukan dengan perhitungan orang-orang tua, dengan maksud supaya selamat, agar segalanya berjalan dengan lancar, dan baik. Upacara ini biasa dilakukan pada pagi hari. Ada juga yang melaksanakan akad nikah di masjid.

Pada waktu yang telah ditentukan, mempelai laki-laki dibawa dalam sebuah prosesi adat ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan upacara akad nikah. Dalam prosesi itu mempelai laki-laki diiringkan oleh para kerabat dekatnya, teman-teman, kedua orang tuanya, para tokoh adat, dan lain-lain. Untuk mengawal mempelai wanita disiapkan pula dua orang pengiring gadis-gadis cilik.

Di belakang pengantin laki-laki berjalan para pengiring yang diiringi dengan musik terompet atau “rebana ketimpring”. Pengantin laki-laki membawa seikat kembang yang akan diserahkan nanti kepada pengantin wanita. Pengantin laki-laki ini berjalan sambil dipayungi oleh seorang anak muda. Para pengiringnya membawa bendera yang terbuat dari kertas warna-warni.

Pengantin laki-laki mengenakan busana adat pengantin Betawi, yaitu berupa “pakaian haji” dan “alpiah” (peci), lengkap dengan perhiasannya yang diatur oleh juru rias. Pengantin wanita memakai busana adat Betawi, berupa baju kurung yang mengkilap dan memakai perhiasan lengkap dengan hiasan mahkota yang berjum¬bai.

Sebelum rombongan pengantin laki-laki berangkat menuju rumah pengantin wanita, biasa diadakan jamuan alakadarnya kepada semua yang akan ikut mengantarkan pengantin. Dengan diawali ucapan “Bismillaahirrakhmaanirrakhim”, maka berangkat¬lah rombongan menuju rumah calon mempelai wanita, dengan diawali juga dengan bunyi mercon. Mercon ini dibunyikan lagi tatkala rombongan ini tiba di rumah mempelai wanita.

Setibanya di rumah mempelai wanita, dan para tamu telah duduk di tempat yang telah disediakan, maka seseorang yang ber¬tindak sebagai wakil rombongan pengantin laki-laki memberikan salam dengan ucapan “Assalaamualaikum”. Salam disambut oleh pihak pengantin wanita dengan ucapan “Waalaikumsallam”. Selesai bersalaman, pengantin laki-laki duduk di atas “taman”, (puade) di mana telah duduk pengantin wanita, dan mereka duduk bersanding.

Tempat duduk pengantin dan perlengkapannya dikenal dengan nama “taman”. Dalam pelaksanaan akad nikah ini, pengantin pria didampingi oleh kedua orang tuanya. Demikian pula pengantin wanita di¬dampingi oleh kedua orang tuanya yang sekaligus bertindak sebagai wali yang mensahkan perkawinan

Upacara akad nikah dipimpin oleh seorang penghulu, dan di¬awali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran. Kemudian di¬sampaikan pidato sambutan dari penghulu yang menjelaskan tentang maksud-maksud upacara. Pidato ini biasanya di sertai juga dengan pemberian nasihat dan petunjuk-petunjuk mengenai hidup bersuami istri yang patut ditiru oleh kedua mempelai.

Selanjutnya dilakanakan upacara sesuai dengan ketentuan akad nikah menurut ajaran Islam. Jika akad nikah sudah selesai dibacakan oleh pengantin pria, maka dibacakanlah doa selamat oleh penghulu diikuti bersama-sama oleh para tamu dan kerabat yang hadir. Mas kawin biasa berupa uang tunai atau seperangkat alat sembahyang lengkap dengan kitab suci Al Quran diserahkan setelah selesai upacara akad nikah. Pada kesempatan ini pihak mempelai wanita mengajukan wakilnya untuk menjelaskan kepada para tamu yang hadir, bahwa mas kawin dan uang serta barang serahan telah diterima, dengan demikian menantu pun diterima.

Acara selanjutnya, pengantin laki-laki bersujud kepada kedua mertuanya serta kedua orang tuanya. Kemudian diikuti oleh pengantin wanita yang juga bersujud kepada mertua dan kedua orang tuanya. Dalam acara ini biasanya diiringi dengan tangis kedua pengantin maupun kedua orang tuanya. Tangisan ini biasa¬nya merupakan tangis haru, di mana masa remaja telah dilalui dan mulai dengan menempuh hidup baru.

Sebelum acara pemberian selamat kepada kedua mempelai dan menikmati hidangan, biasanya terlebih dahulu dibunyikan mercon, pertanda acara yang dianggap sakral telah selesai. Sampai di sini, tugas penghulu dianggap telah selesai, dan ia pun biasanya segera meninggalkan tempat upacara.

Kedua mempelai duduk bersanding di atas “taman” atau “puade”, didampingi oleh gadis cilik sebagai pendamping dalam busana adat, serta orang tua kedua belah pihak. Kemudian kedua mempelai menerima ucapan selamat dari para tamu. Para tamu yang terdiri dari para kerabat, teman dan handai taulan berdatangan memberikan selamat dengan cara menjabat tangan kedua mempelai serta kedua orang tuanya. Setelah itu mereka menikmati hidangan yang telah disediakan.

Dalam pesta perkawinan ini, ada hal yang menarik, di mana mempelai wanita sering kelihatan duduk di atas “taman” ditemani oleh para teman wanitanya yang sebaya. Sebaliknya, pengantin Iaki-laki tampaknya lebih bebas bergerak, kadangkala ia berada di tengah-tengah para undangan bersama kawan-kawannya, di muka panggung, atau bergabung dengan para tamu.

Pada malam harinya biasa dimeriahkan dengan kesenian, seporn lenong, topeng, tanjidor, gambang kromong, cokek, wayang kulit, dan sebagainya.

Adat Menetap Setelah Menikah
Yang dimaksud dengan adapt menetap sesudah menikah adalah pola menetap di lingkungan mana pengantin baru bertempat tinggal. Ada yang menetapkan bahwa pengantin baru harus mene¬tap di lingkungan pihak wanita atau harus menetap di pihak laki-laki. Bahkan norma-norma adat memberi kebebasan memilih di lingkungan mana pengantin baru hendak menetap. Ada ber¬macam-macam bentuk adat menetap sesudah menikah yang di¬kenal oleh masyarakat dan kebudayaan di dunia (Koentjaraning¬rat, 1967 : 97-98). Dalam masyarakat dan kebudayaan tertentu, adat menetap sesudah menikah dianggap sangat penting sebab adat menetap sesudah menikah biasanya berhubungan erat dengan prinsip garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, sehingga pengantin baru serta keturunannya dapat dipengaruhi oleh lingkungan mereka bertempat tinggal.

Dalam masyarakat dan kebudayaan Betawi, adat tidak me¬nentukan di lingkungan mana pengantin baru itu harus tinggal menetap. Pengantin baru diberi kebebasan memilih di mana mereka akan tinggal menetap. Dalam hal ini pengantin baru boleh memilih apakah mereka akan menetap di lingkungan suami atau di lingkungan keluarga istri. Pola menetap sesudah menikah seperti ini dikenal sebagai adat menetap yang ambilokal atau kadang-¬kadang disebut juga utrolokal. Ada juga pengantin baru yang lebih suka tinggal di tempat lain yang tak ada hubungannya dengan lingkungan keluarga masing-masing pihak. Pola menetap seperti ini dikenal sebagai adat neolokal (Koentjaraningrat,1967 : 97-98).

Walaupun pada masyarakat dan kebudayaan Betawi berlaku Pola menetap yang ambilokal/utrolokal, tetapi ada kecenderung¬an pada pola menetap yang matrilokal/unorilokal. Artinya, pe¬ngantin baru cenderung untuk tinggal menetap di sekitar ling¬kungan keluarga istri.

Sangatlah ideal bagi pengantin baru bila mereka dapat segera menetap di tempat kediaman mereka yang baru. Akan tetapi mengingat biaya, hal ini hampir tidak mungkin dijalankan. Untuk itu pasangan pengantin baru biasanya tinggal di rumah orang tua salah satu pihak yang mampu dan mau menerima mereka. Meski¬pun demikian, orang lebih suka kalau pengantin baru tinggal di rumah orang tua laki-laki, untuk kemudian biasanya setelah lahir anak pertama, dengan bantuan orang tua mereka, mereka pindah ke rumah sendiri.

Sumber :
Yunus ahmad H., 1993, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya

Foto : http://www.denieksukarya.com

Fungsi yang demikian sarat, telah menjadikan Jakarta sebagai melting-pot. Tempat bertemu aneka suku bangsa, agama  dan budaya. Ini nampak sangat nyata pada pertumbuhan dan perkembangan profil masyarakat Betawi. Dan setidaknya,  sebuah karikatur yang menggambarkan sopir dan penumpang bajaj, menyajikan kenyataan itu.

“Pan udah gua bilang, kalo mau ilangin stres, kudu sering naar boven,” kata si sopir bajaj. “Oke deh, ane reken isi dompet  dulu. Bangsa goban sih ada,” jawab si penumpang.

Nampak jelas dalam dialog itu. Ada unsur Bali (akhiran -in), Arab (ane – saya), Belanda (naar boven dan reken), Tionghoa  (goban – lima puluh ribu), Jawa (kudu -harus), dan Inggris (stress). Namun secara gramatikal, dialek Batawi adalah salah  satu logat dari bahasa Melayu, suatu bahasa di mana bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dikembangkan. Dalam  pada itu, seorang anggota Dewan Pakar Lembaga Kebudayaan Betawi, Ridwan Saidi, sambil mengutip pendapat Bern Nothover (1995), mencatat bahwa, apa yang dikenal kini sebagai Bahasa Betawi adalah bahasa Melayu dialek Nusa Kalapa (bersama Pakuan merupakan dua kota penting pada jaman kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Siliwangi yang kemudian namanya berganti menjadi Jakarta) yang telah dipergunakan di Jakarta paling sedikit sejak abad 10 (Babad Tanah Betawi, 2002). Penduduk Nusa Kalapa sendiri sebelum abad 10, sebagaimana halnya seluruh penduduk Nusa
Jawa, besar kemungkinan berbahasa Kawi atau Jawi. Memang, tidak semua kosa kata Betawi lama berasal dari bahasa  Kawi/Jawi, karena juga terdapat campuran bahwa Melayu Polinesia, dan kemudian pada abad 16 mendapat pengaruh Portugis, di samping juga pengaruh bahasan Sunda pada abad 14, ketika kekuasaan Sunda memfungsikan pelabuhan Kalapa, dan bahasa-bahasa lain pada masa-masa berikutnya.

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil  perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan  asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku  dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di  semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.

Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan  dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang  terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten  bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini  mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan  kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman,  antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan  bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum
sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan  menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit  sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai.
Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali  menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat  Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab,  sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang  bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka. Di dalam kota, orang bukan  Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri
Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk  dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang  Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa. Sepanjang abad ke-18, kelompok  terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga  dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai  diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja
Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun ribuan orang Tionghoa dibunuh pada tahun 1740 di  dalam dan di luar kota.

Di luar kota pada tahun 1673 hidup kurang lebih lima ribu orang Indonesia dan kurang lebih enam ratus Indo-Belanda. Orang-orang Indonesia bebas datang ke Batavia, terutama dari luar Jawa, semisal Sulawesi Selatan, Banda, Ambon dan Bali. Di antara orang Indonesia itu beberapa diantaranya mencapai posisi cukup baik, misalnya para kapten yang sering memperoleh tanah luas, orang Bali yang mengimpor budak, pemilik kapal Bugis dan Melayu serta para mandor dari Jawa  (pemahaman masa itu tentang orang Jawa sering mencakup orang dari Banten sampai Jawa Timur serta bahkan dari  Kampung Jawa di Palembang) yang mendatangkan kuli-kuli untuk perkebunan tebu, bengkel kayu serta galangan kapal.
Beberapa nyai termasuk juga kelompok orang berada. Nyanya Rokya misalnya, pada tahun 1816 memiliki dua puluh dua budak belian. Adapun tentang apa yang disebut dengan “orang” atau “Suku Betawi” sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.

Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.

Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang  Melayu. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul dalam data  sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut  diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Mohammad Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Simpul terakhr yang berpijak pada berita resmi
Kolonial itu ditolak keras Ridwan Saidi. Alasan tokoh Betawi ini dilandaskan pada teori Bern Nothofer, jauh sebelum Belanda tiba di wilayah ini, antara abad 8-10, demi mempertahankan kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya atas tanah Nusa Kalapa telah menghadirkan migran Suku Melayu yang berasal dari Kalimantan Barat, yang juga sekaligus menjadi awal penyebaran secara meluas bahsa Melayu yang kemudian menjadi lingua franca di Kalapa menggeser kedudukan bahasa Sunda Kawi.

Selain itu, sejak masa Salakanagara, diduga muncul pada tahun 130 M, orang Nusa Kalapa sudah mulai mengenal masyarakat internasional melalui kedatangan para pelancong dari India, Cina dan Arab. Pengenalan meluas ketika pelabuhan Kapala menjadi pelabuhan samudra pada abad ke-14. Dan, pada abad ke-16 orang Betawimengenal orang Portugis, kemudian pada abad ke-17 mengenal orang Belanda dan pada permulaan abad ke-19 orang Betawi mengenal orang Perancis dan Inggris, serta sejak pertengahan abad ke-19 secara pro-aktif orang Betawi engenal masyarakat internasional melalui pelayanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Terlepas dari semua itu, sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta pada umumnya, dan Jakarta Pusat pada khususnya dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi – dalam arti apapun juga – tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ‘suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Adapun di Jakarta Pusat, menurut Sensus tahun 2000, populasi penduduk dengan etnis Betawi ini masih cukup tinggi, mencapai 31,16 persen, tersebar di semua Kecamatan di Jakarta Pusat, dengan dominasi utama di Kecamatan Kemayoran dan Tanah Abang. Memang, sebagian dari ereka semakin telah terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Namun sebetulnya, ‘suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ‘suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

sumber: http://www.bapekojakartapusat.go.id/node/14

Oleh : Sutamat Arybowo*

Pada suatu hari di rumah elite desa sedang berduka karena putra tertuanya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal dunia. Warga desa kumpul melayat dan mempersiapkan upacara pemakaman jenazah. Beberapa warga desa hilir-mudik dan sebagian duduk berjejer di tempat yang sudah disediakan di halaman rumah.

Dalam keadaan mulai sunyi, di tengah kerumunan jenazah, datanglah seorang laki-laki tua, usianya lebih kurang 75 tahun, mengenakan baju kurung lengan panjang warna hitam, dengan celana selutut berwarna hitam pula. Sarungnya diselempangkan di bahu sebelah kiri dan capingnya yang terbuat dari daun lontar dibuka lalu ditempelkan di dada kiri, dan di atas kepala mengenakan udeng (ikat kepala) motif batik warna hitam kecoklatan.Dengan percaya diri ia masuk ke rumah menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, ia seolah tak kenal siapa pun para tamu yang duduk di situ.Setelah tiba di depan jenazah, ia membuka tutup bagian atas sembari menatap wajahnya. Lalu ia mengatakan, “Sedulur, asalmu ora ono/Terus dadi ono/Saiki ora ono maneh/Yo wis, tak dongak-ke slamet.” (Saudara, asalmu tidak ada/Lalu menjadi ada/Sekarang tidak ada lagi/Ya sudah, saya doa kan selamat.)Kemudian tutup jenazah dikembalikan seperti semula, lalu ia mundur pelan-pelan sampai ke pintu rumah dengan membalikkan arah dan menuju ke halaman rumah. Setelah itu ia ikut duduk bersama-sama tamu yang lain. Ia memilih duduk di pinggir dekat pintu masuk menuju rumah sehingga beberapa warga banyak yang kenal. Pada saat ketemu orang lain yang menyapanya, ia selalu mengatakan sedulur, yang maknanya sama-sama saudara.

Perilaku kultural seperti itu dikategorikan sebagai orang apa? Bagaimana ia menghayati hubungan individu dirinya dengan sesama, dengan alam semesta, dan dengan Sang Pencipta?

Sudah banyak tulisan tentang masyarakat Samin, bahkan ada yang menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dari zaman kolonial Belanda hingga saat ini. Beberapa informasi mengatakan bahwa Saminisme sebagai sebuah sejarah perlawanan terhadap kekuasaan telah diubah menjadi deskripsi kebudayaan.
Jujur dan pemurah

Sejak dikenal umum dari zaman kolonial Belanda, orang Samin tinggal menyebar di daerah Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang, Grobogan, Pati, dan Kudus. Mereka berdomisili tidak menggerombol, melainkan terpencar-pencar, misalnya, tiap desa terdapat 5-6 keluarga, tetapi solidaritas sosialnya menyatu.

Orang Samin memiliki rasa religi yang kuat sehingga sering kali membuat para pendatang (tamu) merasa risi dan malu karena mereka sangat jujur, serta pemurah terhadap para tamu. Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah memikirkan berapa harganya.

Masyarakat Samin memiliki jiwa yang polos dan terbuka. Mereka berbicara menggunakan bahasa Kawi dan bercampur bahasa Jawa ngoko dan sering kedengaran kasar.

Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan keluarganya, sesama pengikut ajaran, maupun dengan orang lain yang bukan pengikut Samin, orang Samin selalu beranjak pada eksistensi mereka yang sudah turun-temurun dari pendahulunya, yaitu Ono niro mergo ningsun, ono ningsun mergo niro. (Adanya saya karena kamu, adanya kamu karena saya.)Ucapan itu menunjukkan bahwa orang Samin sesungguhnya memiliki solidaritas yang tinggi dan sangat menghargai eksistensi manusia sebagai makhluk individu, sekaligus sebagai makhluk sosial. Karena itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau petil jumput (tidak mau mengambil barang orang lain yang bukan haknya), tetapi juga tidak mau dimalingi (haknya dicuri).

Semua perbuatan mereka berawal dari baik, maka berakhirnya juga harus baik, begitulah ringkasnya. Bagi orang lain yang tidak memahami eksistensi orang Samin, mereka bisa jadi menyebutnya sebagai Wong Sikep, yang artinya orang yang selalu waspada. Atau disebut juga Wong Kalang karena orang lain akan menganggap ketidakrasionalan pikiran, keeksentrikan perilaku, dan ketidaknormalan bahasa. Tetapi, bagi sesama orang Samin selalu menyebut kepada orang lain Sedulur Tuwo.

Ini pun tampak di dalam ia merenung dan berdoa kepada “Adam”, selalu minta keselamatan untuk dirinya, sesama makhluk alam semesta, dan juga Sang Pencipta sendiri. Ungkapan Sedulur Tuwo tak pernah ditinggalkan.Doa orang Samin juga selalu berhubungan dengan keadaan ekologi dan ekosistem di mana mereka berdomisili. Orang Samin yang tinggal di daerah Desa Klopo Duwur, Kecamatan Randu Blatung, Kabupaten Blora, misalnya, menunjukkan secara siklus hubungan antarmanusia sebagai pribadi, antarsesama manusia, antara manusia dan alam lingkungan.Pandangannya terhadap ekologi dan ekosistem tersebut dapat dijumpai dalam ucapannya, seperti: Banyu podo ngombe/Lemah podo duwe/Godong podo gawe. (Air sama-sama diminum/Tanah sama-sama punya/Daun sama-sama memanfaatkan.)

Ucapan itu oleh pengikut Samin ditafsirkan secara bijak, maksudnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya perlu dijaga. Tidak berarti sama rasa, sama rata, seperti tuduhan orang lain di luar komunitas Samin.Dalam praktiknya, mereka justru ikut menjaga pelestarian kayu jati di daerah Blora. Mereka hanya memanfaatkan daunnya untuk keperluan sehari-hari dan rantingnya untuk keperluan masak-memasak. Hal itu sudah berjalan sejak leluhur mereka masa lalu dan mereka tidak mau merusak hutan. Berdasarkan pandangan seperti itu, tampaknya orang lain sering kali menerjemahkan kata “Samin” sama dengan Sami-sami Amin.

Sejak masa kolonial

Pada mulanya ajaran orang Samin ini berasal dari seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tidak mau ikut kerja paksa.

Seperti tokoh perintis kemerdekaan Indonesia yang lain, ia dibuang ke Sawahlunto, Sumatera Barat, hingga wafat tahun 1914. Namun, ajarannya masih dianut oleh pengikutnya hingga sekarang di beberapa daerah yang disebutkan di atas.Beberapa catatan kolonial Belanda menyebut bahwa Kiai Samin Surosentiko dianggap sebagai pembangkang, pemberontak, selalu melawan pemerintah. Oleh karena itu, ajarannya tidak boleh disebarluaskan dan oleh mainstream
agama pada saat itu dianggap sesat, lalu mau tidak mau ia harus diasingkan dari pengikutnya.

Dalam kaitannya dengan deskripsi singkat ini, maka nilai tradisi yang dapat dipetik adalah bagaimana strategi ajaran orang Samin dalam mengimplementasikan kehidupan sehari-hari. Misalnya, mereka antikekerasan, jujur, terbuka, dan tidak mau menyakiti orang lain.

Orang Samin mengejawantahkan kehidupan dengan solidaritas sosial. Juga pada zaman Orde Baru, ketika mereka menggunakan kiat atau strategi ngumumi; tidak melawan pemerintah, tetapi mengkritisi secara pasif.Mereka memang tidak mau ikut program KB karena sudah punya cara sendiri. Mereka juga tidak ikut program Bimas-Inmas dan tidak mau terima kredit dari BRI supaya tidak ngemplang. Orang Samin bikin pupuk sendiri, bikin irigasi sendiri.

Pendeknya, dalam hidup, mereka tidak bergantung kepada teknologi maju. Orang Samin benar-benar sebuah contoh kasus komunitas yang benar-benar memiliki kemandirian. Oleh karena itu, masyarakat Samin tidak mengenal krisis ekonomi dan moneter.

*Peneliti LIPI dan Anggota Asosiasi Tradisi Lisan
Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0705/10/humaniora/3522042.htm

PROFIL SUKU TENGGER

KEADAAN GEOGRAFIS
Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m – 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
WILAYAH ADAT
Wilayah Adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah yaitu Sabrang Kulon (Brang Kulon diwakili oleh Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan )dan Sabrang Wetan ( Brang Wetan diwakili oleh Desa Ngadisari,Wanantara,Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ). Perwakilan oleh Desa T osari dan tiga Desa tersebut mengacu pada Prosesi Pembukaan Upacara Karo yang sekaligus membukla Jhodang Wasiat / Jimat Klontong.
Adapun Desa – Desa yang merupakan Komunitas Suku Tengger adalah Sebagai Berikut:
Desa Ngadas, Wanatara, Jetak, dan Ngadisari ( Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ), Desa Wanakersa, Ledokombo, Pandansari ( Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo ), Desa Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo ( Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan ), Desa Keduwung ( kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadirejo, Ledok Pring ( Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadas ( Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang),dan Desa Ranupani ( Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang).
KEADAAN TANAH DAN TANAM-TANAMAN
Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena, dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon cemara sampai di ketinggian 3000 dpl yaitu lereng Gunung Semeru. Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan yang tinggi, pohon elfin dan pohon cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian terutama adalah kentang, kubis, wortel, jagung,bawang prei(plompong tengger) dsb.
JENIS HEWAN
Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu, kambing, babi dan ayam kampung. Jenis binatang yang hidup secara liar di hutan-hutan adalah babi hutan (sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak muntiacus), dan berkembang pula jenis macam tutul (panthera pardus), terdapat pula species burung-burungan, misalnya burung air.
IKLIM DAN CUACA
Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Mei-Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November-April, dengan persentase 20 hari/lebih hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara berubah-ubah, tergantung ketinggian, antara 3º – 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam hari terasa dingin. Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada musim hujan. Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah perkampungan, kabut mulai menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi hari sebelum fajar menyingsing.
AGAMA SUKU TENGGER
Masyarakat Suku Tengger menganut empat agama dari lima agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Yaitu Agama Hindu , Islam ,Kristen dan Budha.
MATA PENCAHARIAN SUKU TENGGER
Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan distribusi sebagai berikut: petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang (8,16%), karyawan dan ABRI 1.595 orang (1,24%), pedagang 3.009 orang (2,38%), pengrajin/industri kecil 343 orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang (50,05%). Penduduk masyarakat Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit-bukit mendekati lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan tadah hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan tetapi saat ini sudah berubah. Pada musim hujan mereka menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan wortel sebagai tanaman perdagangan. Pada penghujung akhir musim hujan mereka menanam jagung sebagai cadangan makanan pokok.
Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat. Sejarah perkembangan masyarakat Tengger tidak diketahui dengan jelas, kecuali secara samar sebagai hasil penelitian Nancy (1985).
Masyarakat Tengger saat ini sudah ada yang membuka usaha Jasa ( Persewaan Home Stay dan Jeep Hard Top sebagai transportasi ke Bromo ),hal ini di lakukan semenjak Bromo di buka sebagai obyek wisata.
PEMIMPIN SUKU TENGGER
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal dualisme kepemimpinan ,walaupun ada yang namanya Dukun adat. Tetapi secara formal pemerintahan dan adat , Suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa ( Petinggi ) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan sebagai pemimpin Ritual / Upacara Adat.
Proses pemilihan seorang Petinggi ,dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat , melalui proses pemilihan petinggi.
Sedang untuk pemilihan Dukun ,dilakukan melalui beberapa tahapan – tahapan ( menyangkut diri pribadi calon Dukun ).yang pada akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen ( ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus ataupun lupa ) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada bertempat di Poten Gunung Bromo.
KESENIAN
TARI SODOR DAN TARI UJUNG,PERALATAN MUSIK:GAMELAN ,MUSIK KETEPUNG & TEROMPET
MAKANAN KHAS
Nasi ARON ( nasi yang terbuat dar jagung tengger dengan masa tanam kurang lebih 8 bulan ).dan sambal Krangean bahannya terbuat dari bahan sambal terasi seperti biasanya,hanya saja di tambah buah Krangean ( hanya tumbuh di Tengger) bentuknya kecil seperti buah merica dan baunya harum seperti daun kemangi,wananya hijau masih segar (baru petik) dan hitam (klau sudah layu atau kering).
SISTIM KALENDER SUKU TENGGER
Suku Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem kalender sendiri yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa., jumlah usia kalender suku tengger berjumlah 30 hari (masing-masing bulan dibulatkan),tetapi ada perbedaan penyebutan usia hari yaitu antara tanggal 1 sampai dengan 15 disebut tanggal hari,dan 15 sampai 30 disebut Panglong Hari (penyebutannya adalah Panglong siji,panglong loro dan seterusnya) . Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat tanggal yang digabungkan yaitu tumbuknya dua tanggal. Pada tanggal
Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1 (sepisan) sasih kedhasa (bulan ke sepuluh), yaitu sehari setelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam Tahun Masehi (Supriyono, 1992). Cara menghitungnya dengan rumus : tiap bulan berlangsung 30 hari, sehingga dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk wuku dan hari pasaran tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus disatukan dan akan terjadi pengurangan jumlah hari pada tiap tahunnya. Untuk melengkapi atau menyempurnakannya diadakan perhitungan kembali setiap lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada waktu itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-unan, yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya, yaitu bulan Dhesta atau bulan ke-sebelas.
MECAK (Perhitungan Kalender Tengger ),istilah mecak biasanya digunakan untuk menghitung atau mencari tanggal yang tepat untuk melaksankan Upacara-upacara besar seperti Karo,Kasada maupun Upacara Unan-unan.
Setiap Dukun Sepuh telah mempunyai persiapan atau catatan tanggal hasil Mecak untuk tiap – tiap Upacara yang akan dilaksanakan sampai lima tahun ke depan.
NAMA – NAMA HARI SUKU TENGGER.
  1. DHITE : MINGGU
    2. SHOMA : SENIN
    3. ANGGARA : SELASA
    4. BUDHA : R A B U
    5. RESPATI : KAMIS
    6. SUKRA : JUM’AT
    7. TUMPEK : SABTU
NAMA – NAMA BULAN SUKU TENGGER
1. KARTIKA : KASA
2. PUSA : KARO
3. MANGGASTRI : KATIGA
4. SITRA : KAPAT
5. MANGGAKALA : KALIMA
6. NAYA : KANEM
7. PALGUNO : KAPITU
8. WISAKA : KAWOLU
9. JITO : KASANGA
10. SERAWANA : KASEPOLOH
11. PANDRAWANA : DESTHA
12. ASUJI : KASADA
ADAPUN TAHUN YANG DIGUNAKAN ADALAH TAHUN SAKA ( CAKA ).
SIFAT DAN SIKAP SUKU TENGGER
Konsep tentang Manusia Menurut Falsafah Tengger
Sifat Umum
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh Petinggi ( Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
Bahasa Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan sama.
Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk
Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini.
h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa,
d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,
p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,
m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: “Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa ‘menuju alam bebas angkasa’)”.
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah Tengger
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.
Hubungan Antar-manusia Menurut Falsafah Tengger
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:
i. setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;
ii. setya wacana artinya setia pada ucapan;
iii. setya semàya artinya setia padajanji;
iv. setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
v. setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab. umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
Sikap dan Pandangan Hidup
Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
i. prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
ii. prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;
iii. pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
iv. prasetya berarti setya;
v. prayitna berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan orangtuanya.
Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan;
2. usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk
membangun rumah dan mandiri;
3. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di bawah umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa senang kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, ‘papan’ tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih).
Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.

Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.

Tata Rumah
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh dan gangguan angiñ. Rumah-rumah letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan berbagaf jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit atau gak lebar antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang disebut Jcrajan biasa-nya terletak di tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain.
Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila bangunan telah selesai diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang sedang dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger biasanya luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada kebiasaan bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama mertuanya.
Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dan seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4 dari panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek terbuat dari kayu (dingklik bhs jawa) yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan. Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan duduk di tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya yang memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu terdapat pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen mendatang.
PUSAKA YANG DI MILIKI OLEH SUKU TENGGER
Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat Klonthong / Jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang pertama disimpan oleh masyarakat Suku Tengger Brang Wetan tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo.bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di wilayah brang wetan yaitu berbentuk bumbung terbuat dari kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Roro Anteng ) berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri.
Lontar (keropak)
Di Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa lama, yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya.
Pusaka TRISULA yaitu berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
PERALATAN UPACARA
Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan,Udeng dan kain Selempang berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai warisan dari nenek moyang Suku Tengger.
Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka: 1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit.
Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
LAIN – LAIN
Msyarakat Suku Tengger tidak mengenal nama Marga ( keluarga ) karena di dalam Suku Tengger tidak mengenal Kasta,namun biasanya cara memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan ,mereka memanggil nama yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.

BANDUNG – Pusat Kajian Mainan Rakyat mencatat, setidaknya ada 168 alat dan jenis permainan di Jabar. Jumlahnya terus menyusut dan saat ini hanya 30% saja yang tersisa. 

Sebagian besar mainan yang sarat filosofi tersebut mulai menghilang seiring dengan masuknya mainan modern.

Pendiri Komunitas Hong yang menjadi Pusat Kajian Mainan Rakyat Jabar M. Zaini Alif mengatakan, sebanyak 168 alat dan jenis permainan itu merupakan mainan yang berasal dari kawasan Jabar Tengah dan Selatan seperti Tasik, Sukabumi dan Indramayu. Menurutnya, masih banyak jenis permainan lagi di daerah Jabar lainya.

Ia menjelaskan, ada perbedaan karakteristik di kalangan masyarakat Jabar. Masyarakat dengan budaya Sunda cenderung bekerja di ladang sedangkan masyarakat Sunda-Jawa di sawah. Berbeda dengan suasana kerja di ladang, pekerjaan di sawah membutuhkan kerjasama antar warga.

Karena sering mengahabiskan waktu bersama, yang berkembang di masyarakat Jawa itu*** jenis permainan.

Beberapa di antaranya yakni Hong-hongan dan Adu Lesung.** Sementara masyarakat Sunda yang cenderung bekerja seorang diri banyak mengembangkan alat permainan seperti beubeuleutokan, congklak, ceuleumpung, dan gangsing.

”Tapi sayangnya, jumlah alat dan jenis permainan terus menurun hingga bersisa 30% saja. Sekitar 70% telah hilang. Padahal mainan tradisional itu kaya makna dan penuh filosofi yang gampang terserap ke kalangan anak-anak. Tidak jauh berbeda dari mainan Motenssori yang harganya ratusan ribu itu,” cerita Zaini, Sabtu (8/12/2007)

Zaini menambahkan, ada tiga upaya untuk mempertahankan keberadaan mainan tradisional. Ia dan 150 rekannya yang tergabung dalam Komunitas Hong masih dapat melakukan tahapan pengumpulan melalui penelitian dan pengajaran kepada anak-anak.

”Masih ada satu tahapan lagi yakni pengembangan dan ini membutuhkan kerjasama pelaku pendidikan. Semestinya, ada ada satu tempat untuk pembelajaran mainan tradisional di dalam kurikulum,” tambahnya.

Jenis-jenis Permainan di Masyarakat Sunda Lama
Berikut adalah beberapa jenis permainan yang berkembang di tatar Sunda:

  1. *Bebeletokan
  2. *Suling
  3. *Ketepel
  4. *Anjang-anjangan
  5. *Encrak
  6. *Panggal-gasing
  7. *Sasapian
  8. *Angsretan
  9. *Bedil Sorolok
  10. *Tok-tokan
  11. *Celempung
  12. *Karinding
  13. *Jajangkungan
  14. *Kukudaan
  15. *Sesengekan
  16. *Kelom batok
  17. *Kokoprak
  18. *Empet-empetan
  19. *Bangbara ngapung
  20. *Ker-keran
  21. *Sumpit
  22. *Bedil jepret
  23. *Rorodaan
  24. *Gogolekan
  25. *Keprak
  26. *Ewod
  27. *Kekerisan
  28. *Simeut cudang
  29. *Sisimeutan
  30. *Posong
  31. *Pamikatan
  32. *Nok-nok
  33. *Dog-dog
  34. *Hatong
  35. *Toleot
  36. *Hahayaman jukut
  37. *Dodombaan
  38. *Kakalungan
  39. *Golek kembang
  40. *Kolecer
  41. *Sanari

SUMBER :http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2007/12/09/1/66884