( Karoshi = 過労死 )
Ketika gelombang pengangguran melanda Amerika dan Eropa, di Jepang terjadi fenomena yang sebaliknya. Tahun 2002 lalu, di Jepang terjadi rekor kematian akibat kerja berlebihan. Menurut statistik resmi, sedikitnya 300 orang pekerja kantor dan pabrik di Jepang mati karena overdosis kerja. Di negeri Sakura, mati akibat kerja berlebihan disebut Karoshi. Fenomena Karoshi di Jepang bukan sesuatu yang baru. Perdebatan mengenai kematian akibat kerja berlebihan sudah mencuat di Jepang sejak tahun 70-an. Kasus resmi pertama Karoshi dilaporkan tahun 1969, berupa kematian seorang perkeja lelaki berumur 29 tahun akibat stroke.
Sejak saat itu, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, menjadi materi penelitian ilmiah yang menarik. Penelitian selama tiga dekade menunjukan, kematian pekerja akibat kelebihan kerja, terutama disebabkan oleh serangan jantung atau stroke. Pemicunya, stress karena kerja yang berlebihan. Karoshi bukan istilah kedokteran resmi. Akan tetapi media massa sangat sering memanfaatkan istilah tsb, untuk menunjukan kematian tiba-tiba akibat kebanyakan kerja. Dewasa ini, Karoshi merupakan masalah sosial yang amat serius di Jepang. Akan tetapi, mengapa Karoshi selama ini hanya menjadi masalah serius di Jepang? Mengapa di negara industri maju lainnya di Amerika utara atau di Eropa, jarang terdengar masalah serupa? Rupanya budaya kerja orang Jepang memang berbeda dengan budaya kerja di Eropa tengah atau di Amerika utara. Para pekerja Jepang bekerja lebih panjang dibanding rekannya di negara maju lainnya. Statistik menunjukan, setiap tahunnya pekerja Jepang bekerja lebih dari 2.000 jam. Sementara di Amerika Serikat, 1.900 jam kerja dan di Perancis, Inggris serta Jerman rata-rata 1.800 jam kerja pertahun per-pekerja. Selain itu, para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja.
Para pekerja di Jepang secara tradisional maupun struktural memang harus bekerja lebih panjang, dibanding rekannya di Amerika Serikat, Perancis atau Jerman. Para pekerja Jepang selalu didorong untuk meningkatkan pendapatan dengan bekerja lembur. Hubungan kerja industrialnya juga terpusat pada perusahaan. Selain itu gaya manajemen kepegawaian di Jepang juga amat kaku. Perusahaan tidak memaksa pegawai bekerja lebih panjang, akan tetapi pegawai secara sukarela melakukanya demi prestasi. Perusahaan menjadi lebih penting dari keluarga. Penelitian ilmiah menunjukan, kasus Karoshi biasanya dipicu oleh tuntutan kerja yang terlalu tinggi dibarengi dukungan sosial yang rendah. Yang paling terkena oleh gejala Karoshi terutama para dokter, wartawan, para pekerja pabrik dan sopir taksi. Mereka terpaksa atau secara sukarela harus bekerja lebih lama, baik untuk menunjukan prestasi atau meraih pendapatan lebih tinggi. Ironisnya, dalam masa resesi seperti saat ini, para pekerja yang berisiko tinggi terserang Karoshi, harus bekerja lebih keras lagi.
Karyawan pabrik atau perusahaan yang terancam bangkrut, seringkali kerja lembur tanpa dibayar, demi menyelamatkan tempat kerjanya. Warga Jepang sejak berabad-abad memang memiliki tradisi kerja keras. Budaya ini makin diperkuat setelah kekalahannya dalam perang dunia kedua. Setelah perang dunia kedua, Jepang menjadi negara dengan tenaga kerja murah melimpah. Untuk mempertahankan eksitensinya, para buruh atau pegawai harus bekerja lebih keras dan lebih panjang. Untuk menghindarkan konflik perburuhan, para pekerja di Jepang menerima sistem gaji berdasarkan senioritas. Prestasi kerja dan loyalitas diukur dari panjangnya jam kerja. Faktor-faktor inilah yang mendorong buruh bekerja lebih keras dan panjang, yang menyebabkan Karoshi.
Menyadari hal tsb, kementrian tenaga kerja Jepang berkali-kali melakukan penelitian derajat kesehatan para pekerja. Penelitian tahun 1992 misalnya, mencakup 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 rerponden yang dipilih secara acak. Hasilnya amat mencemaskan. 65 persen pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin. 48 persen mengeluhkan kelelahan mental. Sekitar 57 persen responden mengeluh stress berat dan merasa tersisihkan. Penyebab utama stress adalah kondisi yang tidak menyenangkan di tempat kerja, kualitas serta kuantitas kerja. Penelitian lebih lanjut, tidak berhasil mencari kaitan sebab akibat dari kerja berlebihan dengan Karoshi.
Kementrian tenaga kerja Jepang menyatakan, diperlukan penelitian lebih lanjut, untuk menjelaskan kaitannya. Sebagai tindakan pencegahan, jam kerja diusulkan untuk dikurangi. Situasi dan lingkungan kerja harus diperbaiki agar lebih nyaman. Selain itu pemeriksaan kesehatan secara rutin bagi seluruh pekerja terus ditingkatkan. Dengan berbagai tindakan seperti itu, stress di tempat kerja dan Karoshi diharapkan menurun. Menyadari bahaya Karoshi, kini semakin banyak warga Jepang yang menerapkan filsafat hidup lebih santai, atau “suro raifu” dari istilah Inggris slow life. Takuro Morinaga yang sekarang berusia 45 tahun misalnya, merencanakan pensiun dini dari pekerjaannya di insititut penelitian ekonomi terkemuka di Tokyo, dalam waktu 10 tahun mendatang. Selanjutnya ia akan hidup sebagai penulis masalah ekonomi dan petani. Sejumlah pekerja di pabrik mobil terkemuka di Jepang, juga menerima tawaran pensiun dini untuk menikmati kehidupan dengan filsafat “suro raifu”. Namun dalam hiruk pikuk globalisasi, para pekerja di Jepang tetap sulit mengurangi jam kerja serta stress di tempat kerja. Artinya, Karoshi tetap mengancam dimana-mana.
Salaryman = Pekerja Keras Dari Jepang (サラリーマン)
Setiap tahun terdapat jutaan mahasiswa yang bersorak gembira ketika mereka dinyatakan lulus dari universitas. Mereka senang karena jerih payah orang tua tidak sia-sia setelah mereka di wisuda mengenakan toga.
Sayang sekali… mereka tidak sadar kalau mereka baru saja keluar dari “kandang anak kucing” dan masuk ke hutan belantara yang dipenuhi oleh singa, ular berbisa, mawar beracun, dan banyak lagi yang aneh-aneh.
Menurut survey di Tokyo, orang-orang yang baru lulus kuliah cenderung mengalami tingkat stress yang lebih tinggi jika dibandingkan ketika mereka sedang menghadapi ujian terakhir di kampus.
Kenapa mereka lebih stress? Karena mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan!
Makin hari makin banyak darah segar yang bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Dan ketika saingan semakin banyak, banyak pula yang rela di gaji rendah, kerja semakin larut, dan tingkat kesehatan yang semakin menurun.
Berdasarkan data dari pemerintah Jepang, terdapat lebih dari 10 juta orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari standard normalnya Jepang yaitu ¥1.600.000/tahun (atau sekitar 155 juta rupiah per tahun).
Mungkin ini semua adalah akibat dari perusahaan-perusahaan Jepang yang lebih mementingkan keuntungan perusahaan dan memanfaatkan keluguan para pekerja baru (yang jelas-jelas tidak punya pilihan lain).
Terciptalah salaryman. Orang-orang yang hidup dengan gaji rendah, kerja setengah mati, tanpa uang lembur, dan tanpa kepastian peningkatan karir meskipun mereka telah bekerja puluhan tahun. Makanya jangan heran ketika kamu melihat banyak karyawan Jepang yang tertidur pulas di kereta ketika mereka menuju pulang ke rumah.
Kata salaryman sendiri diambil dari bahasa Inggris, yaitu salary (gaji) dan man (orang), jadi salaryman artinya adalah orang yang hidupnya 100% tergantung dari gaji. Mereka kalo sampai dipecat rasanya dunia kiamat. Kalo di Indonesia, ini sama dengan bangsawan / bangsa karyawan.
Saking stressnya, tercipta satu kata baru yang terkenal di dunia pekerja Jepang untuk menggambarkan betapa kerasnya kerja di Jepang, yaitu karoshi.
Selain bekerja keras, para salaryman pun juga tau lho caranya menikmati hidup. Meskipun terus terang aja kalau cara mereka menikmati hidup tidak selalu pantas untuk ditiru. Work hard, play hard. Begitu kira-kira motto mereka.
Salaryman memang terkenal di Jepang. Mereka adalah kaum pekerja kelas menengah ke bawah yang hidupnya serba pas-pasan. Jika ada satu kata yang bisa mencerminkan kerasnya kehidupan seorang salaryman, maka kata itu adalah karoshi.
Karoshi artinya “mati di kerja” atau kematian karena stress pekerjaan. Halusnya berarti “meninggal karena setia dan mengabdi kepada perusahaan”. Kematiannya bisa karena kecelakaan di tempat kerja, kematian karena terlalu lelah (kesehatannya menurun jauh), ataupun karena bunuh diri karena stress kerja.
Saking seriusnya masalah ini, pemerintah Jepang telah mencoba berbagai cara untuk mengatasinya. Mulai dari menyediakan nomor telepon darurat untuk menerima keluh-kesah para salaryman, buku petunjuk untuk mengurangi stress, sampai mensahkan undang-undang yang memberikan sejumlah uang (asuransi) ke para janda dan anak-anak yang ditinggal mati karena karoshi. Menurut data pemerintah, dari 2.207 kasus bunuh diri pada tahun 2007, 672-nya adalah karena pekerjaannya terlalu banyak.
Kasus karoshi yang terkenal adalah kasus kematian Kenichi Uchino pada tahun 2002, seorang manager quality-control berusia 30 tahun yang bekerja di perusahaan otomotif terbesar di dunia, Toyota.
“Kenichi dikabarkan bekerja lembur selama 80 jam setiap bulan selama 6 bulan lamanya tanpa dikasih uang lembur atau bonus tambahan apapun. Dia akhirnya jatuh pingsan di tempat kerjanya dan dilarikan ke rumah sakit, yang kemudian membawanya ke akhirat. McDonald’s Jepang pun terkena masalah ini. Salah seorang manager restorannya jatuh sakit dan meninggal karena bekerja lembur tanpa bayaran apapun.
Mau tidak mau, karena tekanan publik, Toyota dan McDonald’s akhirnya memutuskan akan memberikan uang lembur bagi yang ingin bekerja lembur dan menyediakan fasilitas kesehatan yang lebih baik”
Para salaryman ini sebenarnya niatnya baik, yaitu ingin memajukan perusahaannya. Ditambah lagi dengan kebudayaan Jepang yang selalu menekankan disiplin tinggi, mereka berpikiran bahwa dengan bekerja lebih lama dan lebih keras daripada karyawan lain dan tanpa meminta bayaran apapun, boss mereka bisa memberikan posisi yang lebih baik. Tapi kenyataannya tidak.
CARA PARA SAlARIMAN MENGHILANGKAN KEPENATAN
Sudah menjadi kebudayaan para pekerja di Jepang untuk menghilangkan stress dengan cara – apalagi kalau bukan – nomikai, pesta minum minuman alkohol!
Malam minggu bukan jadi patokan kalau mau mengadakan pesta usai jam kantor. Mereka bisa mengadakan nomikai kapan saja. Ada yang rame-rame, ada juga yang cuma beberapa orang saja.
Biasanya nomikai diadakan setelah perusahaan memenangkan proyek, merayakan ulang tahun boss, merayakan promosi teman kantor, atau bisa juga cuma untuk menghilangkan stress. Dimana sih pesta minum-minumnya? Di izakaya.
Izakaya adalah semacam pub, bar, atau cafe yang fungsi utamanya untuk melayani pesta nomikai. Izakaya identik dengan lentera yang digantung di depan pintu masuk. Jadi kalau kamu mau sedikit mabok-mabokan, cari aja tempet yang ada lenteranya.
Menunya mencakup sake, bir, dan anggur. Tentu ada juga menu makanannya seperti yakitori, kushiyaki, dan sashimi. Makanannya sengaja disajikan untuk dimakan rame-rame, jadi bukan satu piring untuk satu orang lho.
Sudah menjadi kebudayaan kalau para junior diwajibkan untuk menuangkan minuman untuk para senior, lalu dilanjutkan dengan sedikit sambutan dari orang yang jabatannya paling tinggi. Ini menandakan bahwa acara nomikai-nya sudah dimulai.
Izakaya Nomikai = 飲み会
Pada saat pesta pun, para senior atau boss harus pulang terlebih dahulu. Jadi kalau para senior atau boss masih ingin minum-minum sake, maka tidak ada satu orang pun yang boleh pulang. Jangan heran juga kalau setiap hari ada saja orang-orang yang mabok berat di tengah jalan. Terkesan orangnya pengangguran dan gak punya masa depan, padahal dia baru aja pulang dari pesta nomikai yang diselenggarakan bossnya.
Bagaimana sih kehidupan seorang salaryman sehari-hari?
06:30 = bangun dari tempat tidur
07:30 = berangkat ke kantor (jalan kaki / naik sepeda / subway)
08:50 = harus tiba di kantor
09:00 = meeting pagi dengan supervisor
09:10 = mulai kerja
12:00 = makan siang (bento / kantin / restoran terdekat)
13:00 = mulai kerja lagi
17:00 = lembur dimulai (biasanya tanpa uang lembur)
20:30 = pesta nomikai (kalau ada)
21:30 = pulang ke rumah (jalan kaki / naik sepeda / subway)
22:30 = sampe rumah, nonton TV, baca koran
23:00 = tidur
Ulangi terus dari Senin-Jumat. Sabtu biasanya pulang lebih awal (kalau ada lembur, kerja seperti biasa). Minggu libur (kalau ada lembur, kerja seperti biasa).
Peraturan di kantor:
#1. Kalau atasan bilang bumi berbentuk kotak, maka bumi bentuknya kotak.
#2. Kalau dia berubah pikiran, maka bumi juga bentuknya berubah.
#3. Lupakan apa kata pelanggan. Boss adalah raja.
#4. Karyawan baru? Boss adalah Tuhan.
#5. Membungkuk. Membungkuk. Membungkuk.
HARA-KIRI adalah bunuh diri ala Jepang yang sudah dikenal luas oleh banyak orang di dunia. Tindakan itu biasanya dipilih jika orang Jepang merasa bersalah atau tak sanggup menanggung malu. Caranya dengan menusuk sebilah pedang ke lambung lalu merobeknya secara horisontal. Menjelang kekalahan dalam PD II, tentara Jepang terutama para perwiranya banyak yang memilih melakukan hara-kiri daripada harus menanggung kekalahan atau menyerah kepada tentara Amerika Serikat.
Namun pelaku hara-kiri dewasa ini sudah jarang dijumpai di Jepang. Sebagai gantinya muncul Karoshi alias “bunuh diri” dalam bentuk lain atau kematian yang diakibatkan oleh kerja yang berlebihan. Berbeda dengan hara-kiri, ahli waris dari “pelaku” Karoshi bisa mendapat santunan dari pemerintah dan perusahaan tempatnya bekerja. Mereka, para ahli waris itu, bahkan bisa menerima ganti rugi US$ 20 ribu per tahun dari pemerintah dan kadang-kadang ada perusahaan yang sanggup membayar hingga US$ 1 juta.
Mungkin karena adanya santunan ganti rugi itu, sejak awal 1980-an kasus kematian akibat Karoshi yang diklaim kepada pemerintah terus meningkat sehingga sebagian terpaksa ditolak oleh pengadilan. Pada 1988 klaim yang dibayar oleh pemerintah kepada ahli waris Karoshi mencapai 4 persen. Angka itu kemudian meningkat menjadi 40 persen pada 2005 (lihat “Jobs for life”, The Economist, 19 Desember 2007).
Kini banyak perusahaan Jepang yang kewalahan oleh Karoshi. Akhir November lalu, permohonan klaim Karoshi dari Kenichi, istri mendiang Uchino yang bekerja di Toyota dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Nagoya. Uchino ditemukan telah meninggal pada pukul 4 pagi pada suatu hari di tahun 2002 dalam usia 30 tahun. Dia meninggalkan dua orang anak berusia tiga tahun dan satu tahun. Sejak enam bulan sebelum tewas, Uchino telah menghabiskan lebih dari 80 jam untuk kerja lembur setiap bulan. “Satu hal yang membuatku bahagia adalah ketika aku dapat tidur,” kata Uchino kepada istrinya, seminggu sebelum tewas.
Sebagai manajer pengendali mutu, tanggung jawab Uchino memang tidak kecil. Dia antara lain bertanggungjawab untuk memberikan pelatihan kepada pekerja, menghadiri pertemuan-pertemuan dan menulis laporan bagian produksi. Namun perusahaan Toyota memperlakukan semua waktu secara fakultatif dan tidak ada uang lembur bagi karyawan yang bekerja melampaui jam kantor. Kerja lembur yang dilakukan Uchino karena itu dianggap sebagian bagian dari pekerjaan yang harus dilakukannya. Hasilnya pada 14 Desember 2007, pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan banding terhadap keputusan Pengadilan Negeri Nagoya.
Kasus “free overtime” di Jepang memang sebuah ironi. Para pekerja dituntut untuk bekerja keras agar mendapatkan penilaian prestasi kerja termasuk dengan bekerja di luar jam kantor tapi mereka sama sekali tidak mendapatkan upah lembur. Hal semacam itu, tentu saja akan menimbulkan pertanyaan kepada perusahaan-perusahaan di Jepang: berapa lama mereka akan bertahan dengan cara mereka?
Seorang pejabat pemerintah menyebutkan, orang Jepang menghabiskan waktu sekitar 1.780 jam dalam setahun untuk bekerja. Angka itu lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata jam kerja dari orang Amerika yang mencapai 1.800 jam setahun namun di atas dari jumlah rata-rata jam kerja orang Jerman (1.400). Tapi angka statistik tersebut bisa salah terutama karena tidak melibatkan jam lembur yang tidak dibayar, yang banyak dilakukan oleh oleh pekerja Jepang.
Diperkirakan, satu dari tiga pekerja laki-laki yang berusia 30-40 tahun telah menghabiskan waktu hingga 60 jam dalam seminggu. Separuh dari jumlah pekerja itu, tidak mendapatkan uang lembur alias tidak dibayar. Nasib pekerja pabrik lebih parah. Mereka datang ke tempat kerja lebih awal dan pulang paling akhir. Juga tanpa upah tambahan atau ganti rugi, termasuk ketika mereka harus mengikuti pelatihan pada akhir pekan.
Banyak perusahaan di Jepang selama 20 tahun terakhir telah menerapkan sebuah sistem kerja baru dengan menempatkan pekerja paruh waktu untuk menggantikan pekerja tetap. Atau para staf regular itu tetap dipertahankan dengan kewajiban bekerja lembur sembari secara perlahan posisi mereka dibuat temporer. Faktor budaya menguatkan kecenderungan ini: kerja keras merupakan perilaku yang terhormat di Jepang dan pengorbanan untuk orang banyak dianggap lebih berharga daripada pengorbanan untuk pribadi.
Toyota yang kini menjadi pesaing General Motor di pasar otomotif global, sering dipuji karena efisien dan fleksibel menggunakan tenaga kerja. Namun Nyonya Uchino, punya pandangan yang berbeda. Menurut dia, sudah sangat banyak pekerja di Toyota yang tidak mendapat uang lembur sehingga perusahaan itu meraup keuntungan.
“Aku berharap sebagian dari keuntungan itu dapat digunakan untuk membantu karyawan dan keluarga mereka. Hal itulah yang akan menempatkan Toyota sebagai produsen otomotif terkemuka di dunia,” kata Kenichi. Toyota berjanji untuk mencegah karoshi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kelas-mikrokontrol.com
Anda anggap bermanfaat bagikan :