NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK SEBAGAI MEMORI KOLEKTIF DAN ALAT REKONSILIASI BANGSA

Posted: 27 Februari 2009 in KRONIK BUDAYA, Sasra
Tag:,

The 1965 revolt in Indonesia led to the deaths of hundreds of thousands of people accused of communist associations. Tohari asks why there are so few Indonesian writers who address this tragedy? “The Moral Responsibility of Indonesian Writers in Dealing with the Human Tragedy in PKI 1965 Revolt” ( http://www.ideaandsociety.acr.edu/pdfs/tohari.pdf/ )

1. Pengantar

Uraian mengenai memori kolektif termasuk dalam bidang kajian yang cukup luas, yang kini banyak menarik perhatian para pakar sosial politik, sejarah, psikologi kognitif, dan kebudayaan. Di bidang ilmu sastra, topik pembicaraan ini bukanlah hal baru. Konsep yang erat pautannya dengan memori kolektif adalah “engaged literature” (French: littérature engagée), yang berarti sastra yang bertanggungjawab (literature of commitment). Konsep ini sudah dipopulerkan sejak berakhirnya Perang Dunia II oleh para eksistensialis, khususnya Jean-Paul Sastre (Encyclopedia Britanica, 2003). Menurut Sartre, seniman serius harus memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat. “Seseorang hanya dapat dikatakan ada jika dia memiliki kesadaran untuk terlibat dalam masalah masyarakatnya,” demikian Sartre.

Keterlibatan seniman dalam berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya memiliki nilai istimewa. Menurut Lucien Goldman, sastrawan besar tidak sekedar menyampaikan pikirannya sebagai seorang idividu. Dia merepresentasikan pandangan dunia (world view, weltanschauung) bahkan semangat jaman (spirit of time) sebuah kelompok masyarakat (Damono, 1977). Dengan demikian, apa yang dikemukakan sang seniman ‘serius’ dapat dikategorikan sebagai memori kolektif sebuah komunitas bangsa.

Contoh karya sastra mutakhir yang paling menonjol sebagai sebuah memori kolektif adalah karya pengarang termasyur dari Jerman, Guenter Grass, yang juga penerima Hadiah Nobel 1999 untuk bidang sastra. Grass yang dipandang sebagai penyair dan pengarang Jerman terpenting sejak pertengahan kedua abad-20—bahkan dijuluki sebagai poeta politicus (seniman politik). Karya-karyanya seperti Im Krebsgang (Gerak Kepiting), Die Blechtrommel (Genderang Kaleng) dan lainnya bertujuan mengusik ingatan dan hati nurani bangsa Jerman tentang pengaruh dan akibat buruk rezim Nazi. Karyanya selalu membawa pesan “Gegen das Vergessen”, artinya “jangan lupa (apa yang telah terjadi supaya tidak terulang)” (Korah-Go dan Hesdanina Damly, 2000).

Konsekuensi dari konsep engaged literature adalah keterlibatan seniman dalam ikut menyelesaikan masalah bangsa. Grass, misalnya, menyatakan bahwa tidak diungkapnya penderitaan fisik dan luka batin bangsa Jerman yang diakibatkan oleh Perang Dunia II adalah salah satu sebab timbulnya paham Ekstrim-Kanan dan mengganasnya gerakan kaum Neo-Nazi, terutama di bagian timur Jerman. Karya-karya sastranya muncul sebagai sinyal Gegen das Vergessen untuk mengatasi masalah urgen yang dihadapi bangsa Jerman.

Salah satu masalah urgen bangsa kita adalah rekonsiliasi nasional (lihat Santikarma, 2003). Masalah rekonsiliasi nasional pada awal tergulingnya regim Orde Baru sangat marak dihembuskan oleh para aktivis HAM. Rekonsiliasi nasional terutama berisi sebuah tekanan untuk memulihkan hak dan martabat para korban pembantaian komunis 1965 beserta keluarganya. Rekonsiliasi sejati hanya dapat dilaksanakan bila kita mau merevisi pikiran kita dalam hubungannya dengan sejarah, diri kita sendiri, dan dengan sesama kita. Jalan rekonsiliasi tidak saja melewati forum politik sebagai satu-satunya pilihan. Bagi saya, ada banyak jalan lain menuju rekonsiliasi nasional itu, seperti forum sosial-historis dan forum sosial-kultural.

Dalam tulisan ini, akan dibahas hubungan antara memori kolektif yang dibangun Ahmad Tohari melalui Ronggeng Dukuh Paruk dan proses menuju rekonsiliasi bangsa.

Sumber : www.endonesa.net

Komentar ditutup.